Saturday, 1 October 2016

Uzumaki Family (Chapter 6)

Sat sat sat…
Bayang bayang hitam yang berlompatan dari pohon ke pohon tampak seperti sekilas bayangan biasa saja. Tapi jika di lihat lebih jelas, maka itu adalah para ninja yang sedang melewati jalur hutan dengan cara normal bagi seorang shinobi.
Terlihat dua pria yang berlompatan dengan mata fokus menatap kearah depan. Satu pria berlompatan sembari mengendong seorang anak kecil yang tak henti menatap wajahnya dengan tersenyum manis. "Paman Kucing."
Satu panggilan yang keluar dari mulut anak kecil itu membuat pria yang menggendongnya menoleh dan menatapnya datar namun dengan sorot heran. Memilih tetap diam, pria itu kembali fokus pada jalannya.
.
Uzumaki Family
[U. Naruto x H. Hinata] U. Bolt.; U. Himawari
Note : OOC, Typo, Canon, OC, GaaHima slight NaruHina
.
"Ibu, di mana Paman Kucing?"
"Paman Kucing?"
"Uhm, yang ini. Hima sudah bertemu dengan yang lain tapi Hima belum pernah melihat Paman Kucing." Sorang gadil kecil usia 4 tahun bertanya dengan raut wajah polos dan penasaran sembari menunjuk sebuah foto yang ada dalam album di atas pangkuannya.
Foto seorang pria berambut merah yang sedang berdiri sembari mengendong dua kucing.
Sang Ibu yang di tanya tersenyum kecil mendengar perkataan sang buah hatinya. "Itu namanya Paman Gaara. Paman Gaara adalah seorang Kazakage Suna, jadi dia tinggal di Suna."
"Suna? Jauhkah?" sang Ibu mengangguk, "Jadi Hima tidak bisa bertemu dengan Paman Kucing?"
"Hm, mungkin bisa. Tapi tidak sekarang. Tapi kenapa Hima ingin bertemu dengan Paman Gaara?"
Sang gadis kecil itu menggeleng, "Tidak tahu. Tapi Hima ingin sekali bertemu dengan Paman Kucing."
.
Pertanyaan Himawari kepada Ibunya hari itu hanya sedikit bentuk dari rasa penasaran gadis kecil itu. Tapi dia tidak pernah menduga jika akan bertemu dengan orang yang dia tanya kepada sang Ibu dalam waktu secepat ini.
Hanya berselang dua minggu dia bertanya, dan sekarang, dia tersenyum mendapati dirinya berada dalam gendongan seorang pria yang di panggilnya 'Paman Kucing' hanya karena lantaran di dalam foto yang dilihatnya, pria tersebut sedang menggendong kucing.
Tap tap tap
Himawari tahu jika mereka sudah semakin dekat dengan desa karena sudah melewati hutan. Dia merasakan jika tubuhnya tidak lagi terguncang karena lompatan orang yang menggendongnya, melainkan sedikit berayun karena orang yang menggendongnya berjalan kaki biasa.
Mata birunya tidak pernah lepas dari wajah pria di dekatnya, sangat dekat. Dia tidak pernah bertemu atau mengenal pria itu sebelumnya, tapi dia tidak takut sedikitpun, bahkan dia justru merasa senang.
"Tidakkah kau risih dengan tatapannya, Gaara?"
"Tidak."
Kankurou hanya menggeleng pelan saat Gaara dengan santai dan singkat menjawab pertanyaannya seolah adiknya itu benar-benar tidak risih akan apapun yang justru membuatnya risih. Sebenarnya dia hanya merasa heran saat anak kecil yang mereka temukan di hutan itu terus menatap adiknya dengan sorot mata riang dan senang. Tapi kenapa adiknya terlihat biasa saja?
"Demi Tuhan, Gaara, dia bahkan mungkin tidak berkedip."
Gaara menoleh kearah anak dalam gendongannya. Tapi yang dia temukan anak itu malah mengedipkan matanya beberapa kali dengan polos dan tersenyum manis kearahnya. Dia kembali menatap lurus jalannya. "Dia berkedip, Kankurou." Ujarnya kemudian.
Kankurou hampir terjungkal ke belakang. Sejak kapan adiknya bahkan mau memastikan hal sepele begitu?
"Paman Kucing."
Lagi penggilan itu keluar. Membuat kernyitan di kening Kankurou makin bertambah. "Dan kenapa dia memanggilmu begitu, Gaara? Aku rasa kau lebih mirip panda dari pada kucing."
Gaara lagi-lagi melihat kearah anak dalam gendongannya. "Namamu Himawari, kan?" gadis kecil itu mengangguk. "Umurmu?"
"4 tahun." Jawab Hima cepat.
"Apa yang kau lakukan di hutan tadi?"
"Hm," Hima memiringkan kepalanya, "Main sama Boruto-nii, terus Hima lihat kupu-kupu cantik."
"Dari ku lihat kau sedang bermain pasir."
"Uhm," Hima mengangguk kuat membuat rambut indigonya bergerak-gerak, "Istana pasir." Dia mengeluarkan sebuah foto dari saku bajunya dan menunjukkan itu pada Gaara. "Hima mau buat istana pasir. Tapi tidak bisa."
Gaara meraih foto itu dan menatapnya sebentar, foto Himawari yang berdiri di depan sebuah istana pasir pinggir pantai.
"Anoo… Paman.. Paman Kucing." Ucapnya dengan nada sangat senang dan segera memeluk erat leher Gaara. Membuat Kankurou hampir menganga sementara Gaara hanya bersikap biasa dengan sedikit senyum tipis yang bahkan tak di sadari oleh Kankurou.
.
.
"Hima!" teriakan Naruto memanggil Himawari memancing tatapan banyak penduduk. Melihat sang pahlawan desa beserta sang istri juga anak pertama mereka berlari menuju dua orang pria yang berjalan di jalanan desa Konoha.
"Himawari."
"Papa.. Mama.."
Seketika Himawari langsung berpindah ke gendongan Naruto saat pria itu sampai di depan Gaara. Di memeluk erat putrinya yang sempat ia kira hilang beberapa waktu lalu. "Maaf,, maafkan Papa.. apa kamu baik-baik saja.. hm?" Naruto melihat anaknya dengan penuh kecemasan.
"Hima tidak apa-apa kok."
"Hima sayang.. sini sama Mama.." kembali Himawari berpindah gendongan ke tangan Ibunya yang memeluknya erat. "Syukurlah kamu baik-baik saja."
"Boruto, lain kali jaga adikmu baik-baik."
"Iya. Maaf." Boruto langsung menunduk saat sang Ayah memarahinya lagi. Sebenarnya itu tidak sepenuhnya kesalahan Boruto. Naruto sedang ada misi hari itu dan Hinata juga sedang ada urusan di rumah sakit Konoha. Sebenarnya Hinata ingin mengajak Himawari tapi Boruto bilang dia bisa menjaga adiknya.
Hinata mempercayai Boruto dan membiarkan Himawari ikut dalam latihan tim Boruto. Tim Boruto berlatih di daerah hutan pinggir desa. Awalnya tidak ada masalah, tapi saat Himawari duduk sendirian sambil melihat kakaknya berlatih, dia tertarik kepada seekor kupu-kupu dan mengikuti kupu-kupu itu.
Nah, di sanalah kesalahan Boruto yang tidak memperhatikan adiknya hingga Himawari melangkah jauh dari tempat latihan Boruto.
Saat Himawari berada di tengah hutan, dia kehilangan kupu-kupu itu dan hampir menangis karena sendirian. Tapi saat dia melihat banyak pasir di satu daerah dalam hutan itu, dia teringat akan foto istana pasir yang selalu ia bawa. Foto yang di ambil saat dia sekeluarga liburan ke pantai tiga bulan yang lalu.
Di sanalah Himawari bermain pasir dan di temukan Gaara saat Kazakage Suna itu melewati hutan untuk menuju Konoha. Merasa tahu jika Himawari adalah anak Naruto, maka mereka membawanya kembali.
Sementara Boruto yang menyadari adiknya hilang menjadi panik dan sudah mencoba mencari tapi nihil. Hingga dia kembali ke desa untuk meminta bantuan dari sang Ibu. Malang baginya ternyata sang Ayah sudah pulang dan jadi marah karena Himawari hilang. Mereka bertiga mencari keseluruh desa untuk sekedar memastikan kalau Himawari mungkin sudah pulang.
Saat mereka tidak menemukan posisi Himawari di desa, mereka memutuskan untuk langsung ke hutan itu. Tapi sebelum mencapai gerbang, Hinata sudah melihat Himawari yang di gendong Gaara memasuki gerbang desa dengan byakugannya.. dari itulah mereka berkumpul di sini sekarang.
"Himawari, maaf kan Nii-san.."
Hinata menghela nafas dan menggosok pelan lengan suaminya. "Sudahlah Naruto-kun. Jangan marah lagi. Boruto tidak sengaja dan Himawari juga baik-baik saja. Tenanglah!"
Naruto menghembus nafas kasar untuk meredam emosinya. Dia tidak sepenuhnya menyalahkan Boruto tapi rasa paniknya yang masih terasa membuatnya sedikit sulit menahan emosi.
"Tidak apa Nii-san.. tadi Hima main sama kupu-kupu cantik." Jawaban Himawari membuat Naruto tersenyum, sepenuhnya melupakan emosinya yang tadi.
"Ehm, Gaara, terima kasih karena sudah membawa Himawari pulang." ucap Naruto setelah sedikit tenang. Hinata hanya tersenyum sebagai tanda terima kasih yang sudah di ucapkan suaminya.
"Ya, bukan apa-apa. kami menemukannya di dalam hutan dan sedang bermain sendirian. Jadi kami pikir lebih baik kalau membawanya pulang." Kankurou menjelaskan dengan singkat. "Syukurlah dia baik-baik saja."
Naruto dan Hinata mengangguk. "Ya sekali lagi terima kasih dan maaf merepotkan."
"Tidak!" kini Gaara yang menjawab dengan nada tenang seperti biasa, "Itu bukan hal yang merepotkan." Di sampingnya Kankurou mendengus kesal.
'kau bahkan terlihat senang menolongnya, Gaara.' Kankurou berbisik dalam hati.
"Kami masih harus laporan ke kantor Hokage."
"Ah iya, tapi malam ini datanglah ke rumah untuk makan malam. Sebagai tanda terima kasih."
"Benar, jika tidak sibuk datanglah."
Naruto dan Hinata menawarkan hal yang sama. Membuat Gaara mengangguk pelan. "Jika ada waktu kami akan datang. Kami tidak lama di sini, hanya ada urusan mendesak dan kami harus pergi lagi."
"Begitukah? Baiklah, tapi kami akan tetap menunggu."
Gaara mengangguk lagi dan berpemitan untuk pergi ke kantor Hokage saat langkahnya terhenti karena sebuah panggilan. "Paman Kucing."
Seketika tatapan yang lain mengarah pada Hima yang tersenyum di gendongan Hinata. Dia melambai tangan dan berseru senang. "Terima kasih ya.. nanti Paman Kucing main lagi ya sama Hima.."
Naruto dan Boruto mengerutkan alis mendengarnya. Siapa yang di maksud Hima dengan 'Paman Kucing?'. Sementara Hinata hanya tersenyum kikuk karena dia tahu kenapa Hima memanggil Gaara seperti itu. dan oh, jangan tanyakan ekspresi Kankurou.
"Hn, nanti kita ketemu lagi." jawab Gaara singkat sebelum benar-benar melangkah pergi.
Setelah kedua pria itu menghilang. Naruto menoleh kepada istrinya. "Kenapa… Gaara dipanggil 'Paman Kucing?'" tanyanya kemudian.
.
.
10 tahun kemudian. Sunagakure.
"Kazekage-sama, tim bantuan dari Konoha datang untuk melapor."
"Hn, suruh masuk."
Pria dengan rambut hitam itu mengangguk mengerti atas perintah Kazekagenya dan kemudian membawa empat orang memasuki ruang kantor Kazekage.
Empat orang. Satu jounin laki-laki, satu chuunin laki-laki, dan dua genin perempuan.
"Kami tim bantuan dari Konoha untuk persiapan sistem pembelajaran di Suna sebelum ujian Chuunin tahun ini. Saya Kurotsi, ini chuunin tahun lalu Nara Shikadai, dan dua genin yang juga dapat membantu apapun yang di perlukan, Yoshida Yukata dan Uzumaki Himawari."
Gaara sang Kazekage mengangguk pelan akan perkenalan itu. Jadenya menatap satu per satu orang yang berdiri di hadapannya hingga orang terakhir membuatnya terdiam beberapa saat sebelum kembali mengalihkan pandangannya pada pimpinan tim itu, Kurotsi.
"Sampaika terima kasihku pada Hokage Konoha atas bantuan yang mereka kirimkan. Seperti yang kalian ketahui. Suna mengikuti sistem pembelajaran Konoha dalam beberapa pelajaran di akademi. Dan sebelum ujian chuunin berikutnya, kami ingin bantuan dari pihak Konoha untuk memberikan bimbingan lain tentang sistem pembelajaran yang ada."
"Kami mengerti Kazekage-sama."
"Kalian akan berada di sini tiga hari. Kalian akan tinggal di tempat yang telah kami persiapkan. Untuk jadwal pembelajaran, bisa kalian tanyakan pada bagian akademi. Juga tentang daerah yang bisa di gunakan untuk berlatih akan di jelaskan sekalian di sana."
"Kami mengerti."
"Baiklah, kalian bisa memulainya sore ini."
"Di mengerti, kami permisi dulu Kazekage-sama."
Gaara hanya mengangguk saat ke empat orang itu berpamitan dan melangkah keluar. Tapi tak bisa dia cegah bola matanya untuk tidak mengikuti langkah seorang gadis genin yang ada di sana.
Saat pintu tertutup dan menyisakannya seorang, dia menyandarkan punggunya dan menghela nafas. "Dia sudah besar dan..." Gaara tidak melanjutkan kata-katanya dan lebih memilih memejamkan matanya. Mengingat kembali gambaran sosok seoran gadis yang baru ia lihat. Seorang gadis berambut indigo sebahu, bermata safir dan tersenyum dengan ceria.
.
.
"Ne Himawari-chan."
"Hm?" Himawari menoleh dan merespon pelan panggilan Yukata.
"Tidakkah kau berpikir kalau kazekage tadi tampan?" Hima hanya mengernyit mendengarnya. "Dia serasa sama dengan Hokage ke tujuh, mereka tampan dan keren walau sudah berusia dewasa. Tapi kalau Hokage ke tujuh sudah punya istri dan anak, nah kudengar, Kazekage belum punya pasangan loh."
Himawari tersenyum saat sudah mulai menyadari ke mana arah pembicaraan temannya itu. "Lalu?"
"Aku tidak keberatan kalau mendapat jodoh seperti itu."
"Kau suka pria dewasa rupanya."
Yukata mengangkat bahu, "Kalau pria-nya tampan dan keren begitu sih aku mau. Memangnya kau tidak mau?"
"Hm," Himawari mengalihkan tatapannya untuk berpikir "Entahlah, tapi mungkin tidak buruk juga." Jawabnya dengan tersenyum.
.
.
Seperti yang di perintahkan kepada mereka tentang misi ini, mereka membantu dalam sistem pembelajaran Suna. Di mulai pagi hari dan berakhir sore hari. Selama tiga hari mereka melakukan semua dengan baik, bahkan mereka bisa berkomunikasi dengan baik dengan warga Negara Suna.
Tanpa terasa, tiga hari itu berlalu dengan cepat. Dan di sinilah Himawari sekarang, melihat matahari yang hampir terbenam bersama teman dari kakaknya.
"Hah,," Himawari menghela nafas lega sambil mereganggkan tangannya, "Akhirnya, setelah tiga hari, besok kita bisa pulang."
"Apa kau tidak suka di sini?"
Himawari menoleh dan tersenyum, "Aku suka, tapi rindu Mama, Papa, dan Boruto-nii."
"Huh, kau itu seorang ninja sekarang. kau akan sering mendapat misi keluar desa dan sering berpisah dengan keluargamu. Bagaimana kau bisa bertahan kalau kau selalu rindu dengan mereka?"
Himawari mengerucutkan bibirnya, "Biar saja. Memangnya Shikadai-nii tidak rindu pada Bibi Temari dan Paman Shikamaru?"
"Ck," Shikadai berdecak bosan sambil menggaruk kepalanya, "Ibu selalu cerewet kalau aku ada di dekatnya, tidak boleh ini tidak boleh itu. Sedangkan Ayah, dia akan lebih sering di kantor Hokage dan akan pulang hanya untuk berdebat denganku."
Himawari terkikik mendengar keluhan Shikadai. Tidak aneh baginya saat Shikadai selalu mengeluh tentang hal-hal yang menurutnya merepotkan.
"Kenapa kau tertawa?"
"Ayah pernah bilang kalau Shikadai-nii itu mirip dengan Paman Shikamaru dulu. Jadi bukankah seharusnya kalian lebih akur kalau bertemu?"
"Entahlah, mungkin dua orang jenius tidak terlalu bagus jika terus bersama. Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk membicarakan tentang satu hal yang menurut mereka menarik."
"Begitukah?" Himawari mengalihkan pandangannya dan menerawang mengingat keinginannya. "Tapi aku rasa orang jenius itu keren. Aku bahkan ingin punya anak jenius nantinya."
O-oh wajah Shikadai sedikit merona entah kenapa. "Kalau begitu kau harus menikah dengan pria jenius."
"Jenius?" Himawari menatapnya dengan penasaran, lalu dia kembali mengalihkan pandangannya berpikir. "Ehm, pria jenius… siapa ya?"
Shikadai hanya tersenyum melihat wajah innocent Himawari yang sedang berpikir.
"Kalian di sini."
Satu pernyataan itu membuat mereka menoleh ke belakang dan mendapati seorang pria yang berdiri di sana dengan baju kebesarannya.
"Ah, Kazekage-sama." Himawari menunduk sebagai hormat.
"Hm, ada apa?" lain dengan Shikadai yang menanggapi dengan santai.
"Shikadai-nii, kau harusnya lebih sopan kepada Kazekage."
"Tidak apa," Gaara menyela, "Ini di luar kantor, panggil aku biasa saja."
"Baiklah Paman Gaara, ada yang bisa di bantu?" Shikadai kembal bersuara dengan lebih santai. Bukan kurang ajar, tapi memang begitulah sikapnya sekalipun itu dengan Gaara. Bahkan Temari sering memarahinya jika dia menyapa Gaara yang berkunjung dengan terlewat santai.
Gaara sendiri tidak ambil pusing. Dia sudah tahu bagaimana kelakuan kakak iparnya yang menurun ke keponakannya itu. Jadi dia tidak keberatan dengan sikap Shikadai. Setidaknya Shikadai masih akan bersikap formal dan hormat jika dalam kondisi serius.
"Tidak ada, aku hanya kebetulan lewat dan melihat kalian di sini." Jadenya bergilir melirik gadis 14 tahun di hadapannya. Dan tentu saja, hal itu tidak luput dari penglihatan seorang Nara Shikadai. Membuat bocah Nara itu mendengus pelan dan tersenyum tipis.
"Ya ampun, di mana Kurotsi?" tanyanya kemudian kepada dirinya sendiri. "Aku pergi dulu ya, ada yang ingin ku katakan kepada Kurotsi. Jaa.." Shikadai melambai dan melangkah pergi tanpa mengindahkan tatapan protes dari Himawari.
"Shikadai-nii…" ucapnya pelan karena merasa di tinggalkan.
"Kenapa?" dia tersentak saat Gaara bertanya. "Kau ingin pergi juga?"
"Tidak!" Himawari menggigit bibirnya yang langsung menjawab cepat tanpa memperhatikan nada bicaranya yang terdengar semangat. "Ma-maksudku, aku masih ingin di sini."
Gaara mengangguk pelan sambil menatap pemandangan langit yang mulai memerah. Angin yang berhembus membuat rambut berbeda warna itu melambai lembut. Membuat Himawari tersenyum karena nyaman dengan suasana Suna yang ternyata tidak terlalu buruk walau di tengah padang pasir.
"Kau mau melihat sesuatu?"
"Hm?" Himawari menoleh saat Gaara kembali bersuara dan menghentikan keheningan antara mereka. "Se-suatu? Apa?"
"Ikut aku." Gadis Uzumaki itu hanya berkedip bigung dan akhirnya mengekor di belakang Gaara.
Mereka berjalan beringingan menuju suatu tempat yang tidak Himawari tahu. Tapi sepertinya itu seperti tempat khusus untuk seorang Kazekage. Tempatnya sama seperti rumah biasa, tapi terkesan cukup mewah dan rapi. Suasananya juga tidak berisik menandakan kalau tidak ada orang disana.
Mereka berjalan menuju sebuah ruang kaca yang Himawari yakin sebagai tempat sesuatu. Dan benar saja, saat Himawari melangkah masuk dia menatap takjub apa yang ada di sana.
Kumpulan pasir yang membentuk sebuah istana besar dan luas. Sangat indah dan Himawari mengakui jika itu adalah istana pasir yang selalu ingin di buatnya. Dia tersenyum lebar sembari terus menatap kagum istana itu. Dia seperti sedang berada di sebuah area permainan sungguhan.
Tapi, dia mengernyit saat menyadari jika pasir-pasir itu kering. Bagaimana bisa pasir itu terbentuk sekian rupa tanpa hancur walau dengan pasir yang kering.
"Itu pasir emas."
Seperti bisa membaca pikiran Himawari, Gaara mulai menjelaskan. "Pasir emas memiliki masa yang lebih berat dan pasir biasa. Tentu saja bagaimana semua terbentuk tidak mungkin hanya buatan biasa. Aku memakai sedikit cakra untuk bisa membuatnya dan selalu mempertahankan bentuknya agar tidak hancur."
Safir biru Himawari terasa berbinar, menatap kagum penjelasan dan apa yang ada di hadapannya. Itu keren. Batinnya menjerit.
"Ini, sangat indah,, Paman Gaara."
Gaara tersenyum melihat pandangan kagum Himawari atas apa yang di buat. Tapi saat gadis itu memanggilnya 'Paman Gaara', entah kenapa dia sedikit kecewa. Dia yakin gadis itu pasti tidak ingat tentang kejadian sepuluh tahun yang lalu di mana gadis itu memanggilnya 'Paman Kucing'.
"Paman," pria itu menatapnya sebagai respon. "Boleh aku berfoto di sini?" tanyanya dengan riang. Himawari adalah seorang gadis yang ceria dan cepat berteman. Dia tidak akan sungkan atau canggung jika bersama dengan orang yang baru di temuinya asalkan orang itu tidak bersikap jahat padanya.
Gaara mengangguk. Dan dia menerima ponsel Himawari saat gadis itu menyodorkannya. Dia tersenyum saat mengambil satu dua gambar Himawari di sana.
"Terima kasih, Paman." Himawari melihat senang hasil-hasil fotonya yang terlihat begitu mengagumkan dengan latar istana pasir nyata di dalam foto itu. "Hm, apa istana pasir ini punya Pama?"
Gaara mengangguk dan melihat istana pasir itu. "Aku membuatnya karena permintaan seseorang. Aku selalu ke sini jika ingin menenangkan diri."
"Wah, apa… Paman membuatnya untuk orang yang sangat berarti bagi Paman?"
Gaara tersenyum tipis namun tidak menjawab. Dia berbalik dan menatap Himawari lembut. Membuat gadis Uzumaki itu sedikit merona karenanya. Gaara memberikan sebuah kotak kecil kepada Hima sebelum dia melangkah pergi meninggalkan Himawari sendiri.
"Kenapa aku di tinggal." Himawari bergumam pelan. Tapi tak lama dia membuka pelan kotak itu dan hanya menemukan satu lembar foto di sana, foto yang membuatnya terkejut. "Kenapa fotoku dengan istana pasir ini ada pada Paman Gaara?"
Ya, itu fotonya saat usia 4 tahun di depan istana pasir yang di buat oleh sang Ibu saat dia sekeluarga berlibur ke pantai. Foto yang pernah dia berikan kepada Gaara sepuluh tahun yang lalu. Tapi… dia lupa.
.
.
"Hima mau buat istana pasir. Tapi tidak bisa."
"Terima kasih ya.. nanti Paman Kucing main lagi ya sama Hima.."
"Hn, nanti kita ketemu lagi."
"Paman Kucing mau pulang?"
"Iya."
"Kapan kita ketemu lagi? nanti buatkan Hima istana pasir ya."
"Baiklah."
"Hima sukaaaa sekali Paman Kucing."
.
.
Himawari terduduk dari tidurnya saat mimpi itu datang. Dia segera meraih selembar foto yang ada di samping kepalanya dan terdiam mengingat kembali masa lalunya. Beberapa saat kemudian, dia tersenyum karenanya. "Paman Kucing." Gumamnya berbisik sembari mengelus fotonya sendiri.
.
.
"Terima kasih atas bantuannya. Sampaikan salamku kepada Hokage."
"Baiklah. Kami permisi untuk pulang dulu hari ini."
Gaara mengangguk dan Kurotsi serta Yukata berjalan keluar dari ruangan itu. tapi tidak dengan Shikadai dan Himawari yang masih berdiri di sana. Membuat Gaara terdiam menatap mereka. "Ada apa?"
"Hm, itu.. aku lupa jika Ibu ingin Paman datang saat ulang tahun adikku minggu depan." Shikadai berkata dengan nada yang tidak terlalu biasa. "Dia tidak bilang, tapi kurasa dia rindu dengan Paman karena sudah lama tidak bertemu. Dia juga tidak menyuruhku mengatakan ini tapi aku hanya ingin mengatakannya saja. Jika ada waktu maka datanglah."
Gaara menunduk setelah menghela nafas, dia memang sudah lama tidak bertemu Temari. Dia tidak menyangka jika kakaknya itu juga merindukannya. Tapi mau bagaimana lagi. Gaara seorang Kazekage hanya akan berkunjung dan keluar desan jika ada hal penting atau adanya pertemuan lima Kage. Dia tidak bisa keluar seenaknya dari desa apalagi dari Negara Suna tanpa alasan yang jelas.
Gaara bahkan sempat berpikir untuk mengundurkan diri sebagai Kazekage. Masa pimpinannya yang sudah lebih dari 20 tahun tidak salah jika membuatnya ingin berganti tempat. Tapi Gaara masih belum menemukan orang yang tepat untuk posisi itu. dia jelas tidak ingin menyerahkan kepemimpinan desa kepada orang yang tidak bertanggung jawab.
"Nanti akan aku usahakan. Sampaikan salamku untuk kedua orang tuamu." Jawaban itulah yang bisa dia ucapkan.
Shikadai mengangguk mengerti, dia menoleh menatap Himawari yang justru menatap Gaara, dari itu dia mengerti kalau dia harus keluar lebih dulu. "Baiklah, itu saja. Aku permisi."
Ceklek.. blam..
Suara pintu yang terbuka dan tertutup menandakan jika sekarang hanya tinggal mereka berdua dalam ruangan itu.
Tidak ada yang bersuara dan mereka hanya saling menatap. Entah apa yang mereka rasakan, tapi sepertinya mereka tidak keberatan berada dalam situasi itu lebih lama.
"Kau tidak pulang?"
Himawari menunduk saat Gaara memutuskan untuk berbicara lebih dulu. Gadis itu menggenggam sesuatu di tangannya dan kembali mendongak dengan tersenyum manis. Membuat Gaara sempat terdiam dan terpaku. Gadis itu berjalan mendekat. Dan menaruh sesuatu di atas meja kerja Gaara.
Selembar kertas bertuliskan nomor telpon.
"I-itu.. no-nomor telponku." Ucapnya dengan tiba-tiba terbata. Wajahnya menimbulkan sedikit rona merah yang tertangkap di jade Gaara. Membuat pria itu tersenyum tipis.
"Baiklah, aku akan menyimpannya."
Himawari tersenyum malu-malu mendengarnya. Dan selanjutnya dia mengangkat tangannya dan menunjukkan tiga jari. Gaara mengernyit tidak mengerti. "Tiga tahun lagi," ucap Himawari pelan. "Tiga tahun lagi."
Gaara berkedip, semakin tidak mengerti dengan apa yang gadis itu katakan. Bahkan sampai saat gadis itu menunduk dan langsung melangkah pergi. Dia masih terdiam tidak mengerti.
Setelah cukup lama dia sendirian di ruangan itu. Dia meraih kertas dari Himawari tadi. Mengerutkan alis saat merasa ada tulisan lain di balik kertas itu. Dia membalik kertas itu dan membacanya. Selanjutnya wajahnya sedikit merona dengan senyum tipis di bibirnya.
"Hm. Tiga tahu lagi ya?" gumamnya sendiri lalu mengangguk menggenggam erat kertas itu. "Aku tunggu janjimu."
.
.
'Tiga tahun lagi aku ingin menikah dengan Paman Kucing. Apa Paman mau?'

0 comments:

Post a Comment