Monday, 17 October 2016

Uzumaki Family (Chapter 8)

Chapter 8
"Tolong, jadikan aku muridmu."
"Kau bisa rasengan?"
"Uhm?"
"Kalau kau tidak bisa rasengan, maka kau tidak bisa menjadi muridku."
Saat itu, Boruto berteriak kencang kalau hal itu akan dia kuasai dengan mudah. Yah, Sasuke mengajukan syarat itu di saat Boruto ingin menjadi muridnya. Setelah bertahun-tahun berlalu, saat Boruto kembali datang padanya untuk melamar Sarada, syarat apa yang di berikan Sasuke?
.
.
Uzumaki Family
The Proposal By Rameen
Disclaimer By Masasi Kishimoto
[U. Naruto x H. Hinata] U. Bolt., U. Himawari
Romance dan Family
Note : OOC, Typo, Gaje, oneshot, BorutoSarada Pair
.
.
BorutoSarada, 16 tahun…
Pesta kembang api yang di adakan di desa Konoha mendapat sambutan meriah dari setiap warga. Tak terkecuali yang masih kecil ataupun yang sudah tua. Bahkan banyak muda-mudi yang juga ikut meramaikan acara itu dengan memanfaatkan keadaan untuk bisa pergi berkencan. Yah, walau kedua muda-mudi ini tidak bisa di sebut kencan.
Kedua muda-mudi yang terlihat tengah asik duduk sambil menatap langit di satu tempat yang lumayan sepi namun juga masih bisa untuk mendengar keramaian suasana pesta. Hanya ada mereka berdua setelah entah bagaimana ceritanya mereka melarikan diri dari YakiniQ dan memisahkan diri dari teman-teman mereka yang lain.
Senyum terlihat di wajah keduanya saat kembang api mulai di luncurkan, memberikan efek yang terang dan meriah di langit malam Konoha.
"Kupikir kau tidak tertarik dengan pesta ini?"
Boruto menoleh sekilas menatap Sarada yang membuka suara, lalu dia mengembalikan tatapannya ke langit dan mengangkat bahu. "Aku juga tidak terpikir jika harus ikut memeriahkan pesta rakyat seperti ini."
Yah, bahkan sampai tadi siang, Boruto tidak berpikir akan bagaimana melewatkan malam pesta ini. Tadi dia hanya kebetulan diajak Inojin untuk makan bersama di YakiniQ atas saran Choucho. Dan entah bagaimana sekarang dia malah hanya berdua dengan gadis Uchiha itu. Saat Sarada bertanya tentang pesta itu bulan lalu, Boruto sempat terpikir untuk mengungsi saja di kediaman Hyuuga dan berlatih. Tapi nyatanya…
"Setiap hal tidak selalu butuh rencana bukan?!" ucapnya kemudian.
Sarada menoleh, menatapnya dengan pandangan yang sama dari mereka kecil. Perlahan, gadis itu mendekat dan menatap lekat sapphire biru Boruto yang terlihat semakin terang dengan pantulan kembang api yang berwarna di langit malam.
Set
"Eh?" Boruto cukup kaget saat mendapati wajahnya dan wajah Sarada sudah sangat dekat. "Apa yang kau lakukan, Sarada?"
"Matamu," ucap Sarada dengan masih menatap lekat sapphire Boruto. "Tidak hanya lebih biru dari mata Hokage Ketujuh, tapi jadi lebih indah saat pantulan kembang api tergambar disana."
Blush
Oh shit! Boruto sedikit merutuk sifat Sarada yang suka sekali memperhatikan matanya. Dia saja sempat berpikir jika akan lebih menyenangkan jika matanya lavender seperti sang Ibu, tapi gadis Uchiha yang sepertinya terobsesi dengan Ayahnya itu terlihat selalu antusias dengan matanya.
Jarak mereka masih sangat dekat seiring waktu, hingga Boruto dapat merasakan nafas gadis itu. Sampai kapan Sarada mau menatapnya? Biasanya dia yang akan langsung menghindar, tapi posisinya sekarang tidak memungkinkan. Dia yang sedang duduk dan sedikit menahan tubuhnya ke belakang karena sikap gadis itu.
Ugh… menjauhlah! Batin Boruto.
Dan saat angin berhembus pelan… cuph ~
Keduanya terdiam saat Boruto mengecup singkat bibir Sarada tanpa sadar. Dan detik selanjutnya, jarak satu meter sudah ada diantara mereka. Dengan pandangan yang saling dialihkan kearah berlawanan, keduanya sama-sama kehilangan kata-kata.
.
.
Sementara di salah satu sudut pohon…
"Aku mendapatkan foto yang bagus." Seorang gadis berambut indigo tersenyum senang dengan kamera di tangannya.
"Hm, aku juga mendapat lukisan yang memuaskan." Jawab seorang pemuda berambut pirang di sampingnya sambil tersenyum.
.
.
5 tahun kemudian…
Waktu yang berlalu bagaikan roda yang tak bisa di hentikan. Terus berjalan dan berganti. Membuat banyak hal yang terjadi dan menciptakan banyak cerita yang akan selalu diingat walau juga akan ada yang terlupakan.
Dan salah satu kejadian yang terus bergulir, menciptakan kondisi yang sekarang tengah di hadapi Boruto. Dia tidak terlalu mengerti kenapa dia bisa begitu nekat berada disini. Dia, Uzumaki Boruto, dengan tanpa sengaja mengajukan lamaran kepada kekasihnya tiga hari yang lalu. Dia tidak berpikir panjang saat itu. Tidak menyangka jika sang kekasih akan menagih janji saat Ayah kekasihnya pulang ke desa.
Dan sekarang, disinilah ia, duduk di kediaman Uchiha dan berhadapan dengan satu-satunya Uchiha tertua yang tersisa.
"Kau bisa Kuchiyose?"
Boruto mengerjap, "Hah?" apa-apaan itu? Dia sadar jika statusnya mungkin masih menjadi murid dari orang di hadapannya ini. Hal yang biasa jika percakapan guru dan murid seputar tentang jutsu dan keahlian. Tapi… bukankah sekarang bukan waktu yang sesuai?
Ayolah, Boruto baru saja menyatakan lamaran untuk mempersunting Sarada, tapi Sasuke malah bertanya tentang jutsu?
Sasuke berdiri dari duduknya dan melangkah perig sambil berkata, "Jika kau tidak bisa Kuchiyose, kau tidak bisa menikahi Sarada."
Uh, oke… bolehkan Boruto sedikit bernostalgia sekarang?
.
.
"Haaahhh…"
Helaan nafas panjang terdengar dari anak Hokage Ketujuh itu. Sama sekali tidak percaya jika syarat yang di ajukan sang calon mertua masih menyangkut tentang jutsu, padahal kali ini urusannya tentang perasaan.
Dan masalahnya…
"Aku tidak pernah tertarik dengan jutsu itu," ucap Boruto pelan. "Kenapa harus Jutsu ITU…" suaranya tertekan diakhir kalimat. "Apa aku harus bertanya pada Ayah tentang perjanjian yang menjadi langkah awal jutsu Kochiyose itu?"
Lama dia terdiam dan berpikir. Dia bisa menanyakannya dengan Konohamaru, tapi mantan gurunya itu sedang menjalankan misi keluar desa sampai bulan depan. Karena tidak merasa ada pilihan lain, pemuda 21 tahun itu akhirnya melangkah pergi menuju satu-satunya tempat yang terpikirkan olehnya.
.
.
Tok tok tok..
"Masuk!"
Cklek
Naruto mendongak dan terdiam saat mendapati sang anak sulung berdiri di ambang pintu saat pintu ruangannya terbuka. Saat tatapan kedua sapphire biru itu bertemu beberapa saat, Naruto tahu jika ada yang ingin di sampaikan putranya itu.
Naruto menghela nafas dan meletakkan pena di tangannya, pandangannya kini seolah menampilkan sorot tanya tanpa suara. Melihat hal itu, Boruto hanya nyengir canggung dan menggaruk kepalanya.
Dulu, Ayahnya memang pernah bermaksud mengajarkan jutsu itu padanya. Tapi dia dengan cepat bilang tidak tertarik dan sama sekali tidak mendengarkan apa yang Ayahnya katakan. Sekarang, dia datang dan minta di ajari jutsu itu?
"Hah," Boruto menghela nafas saat tatapan Naruto tidak juga beralih darinya.
Dia memang selalu kalah jika adu tatap dengan sang Ayah… kan?
.
.
"Kuchiyose No Jutsu!"
"…"
"Kuchiyose No Jutsu!"
"…"
"Kuchiyose No Jutsu!"
Shhuuuuu…
Berulang kali segel dan nama jutsu itu terdengar, tapi hanya suara angin yang membalas. Tidak ada bunyi 'poof' yang mengiringi datangnya seekor hewan yang di panggil. Hanya ada kesunyian lapangan yang menemani.
"Kuchiyose No Jutsu!"
Lagi-lagi tidak ada yang berubah. Hah, Boruto menghela nafas dan terduduk. Awalnya dia memang disana bersama sang Ayah –walau hanya bunshin, tapi itupun tidak lama karena dia merasa percuma walaupun sang Ayah ada disana. Penjelasan Hokage Ketujuh itu terlalu berbelit dan semakin membuatnya bingung.
Dan setelah bunshin Ayahnya menghilang, dia berlatih sendirian seharian ini. Bahkan dia sudah tidak perduli berapa lama waktu yang dia lewati. Padahal baru sehari, tapi kenapa Boruto sudah merasa malas untuk berusaha?
"Apa ini akan berhasil?" tanyanya pada diri sendiri, "Dari awal aku sudah tidak memiliki keyakinan akan hal ini." lanjutnya dengan nada pelan.
"Boruto-niichan!"
Pemuda itu menoleh saat suara sang adik terdengar begitu riang seperti biasanya. Ah, adiknya yang sudah besar tampak semakin cantik dan manis. Semakin mirip dengan kecantikan Ibunya. Rambut indigo sang adik sudah panjang sepunggung dan sedikit bergelombang. Poninya rata sama seperti Ibunya. Dan kunciran sedikit diatas kepalanya semakin membuatnya tambah manis. Pantas saja teman-temannya sering mencari perhatian.
"Himawari, kenapa kau kesini?" tanyanya saat Himawari sudah berdiri di sampingnya. Membuat dia ikut berdiri.
"Apa lagi, Mama sudah tahu Niichan akan lupa waktu jika sudah berlatih." Jawabnya santai sambil mengarahkan telunjuknya keatas. Memberitahu sang kakak jika langit sudah mulai gelap karena waktu yang telah lama bergulir.
"Ah," Boruto mendesah kecil saat melihat warna langit itu. "Sudah hampir malam ya." Dia menatap adiknya dan tersenyum tipis. "Baiklah, ayo kita pulang."
Himawari mengangguk dan mereka berjalan beriringan menuju rumah mereka.
Boruto menoleh saat Himawari meraih tangannya, "Tangan Niichan sangat kotor dan sedikit lecet." Ucap adiknya sambil mengusap telapak tangan itu untuk membersihkan debu disana. Membuat Boruto hanya tersenyum menerima perhatian sang adik.
"Nah, selesai!" Himawari tersenyum lebar setelah merasa tangan Boruto bersih. "Niichan pasti bekerja keras hari ini. Aku sudah tahu tentang syarat itu dan aku yakin kalau Niichan bisa melakukannya dengan baik."
Pemuda pirang itu menatap Hima dalam diam, "Benarkah aku bisa melakukannya? Aku tidak terlalu suka hewan dan lebih suka bertarung dengan kekuatanku sendiri." Boruto menatap jalan, "Makanya aku tidak tertarik dengan jutsu itu, tapi Paman Sasuke… hah."
"Aku yakin Niichan bisa kok. Paman Sasuke pasti ingin Niichan bisa menguasai jurus-jurus yang bagus. Dengan begitu pasti Niichan akan lebih bisa dengan mudah melindungi Sarada-nee. Dan kalau sudah begitu, pasti Paman Sasuke mengijinkan Niichan untuk menikah dengan Sarada-nee."
"Tanpa jurus itu, aku yakin bisa melindungi Sarada dengan baik."
Himawari mencibir saat rasa percaya diri sang kakak tetap setinggi langit seperti biasa. "Terserah saja!" Himawari tidak ingin berdebat lebih. "Oh ya, Papa pernah bilang kalau jutsu Kuchiyose itu memerlukan cakra yang besar loh."
"Aku tahu, dan cakraku tidak sebesar Tousan."
"Siapa bilang. Niichan itu hebat dan kuat kok." Jawab Hima menyemangati, membuat Boruto lagi-lagi tersenyum. "Dan juga, cakra yang besar biasanya akan keluar saat seseorang terdesak. Begitu kata Papa."
Boruto mengerutkan keningnya. "Terdesak?" Himawari mengangguk.
"Seseorang yang terdesak biasanya akan melakukan semua hal sekuat tenaga dan terus berusaha sampai akhir hingga bisa mengeluarkan kekuatan yang besar. Dan saat dia sudah mengetahui satu jurus, dia akan mudah melakukan jurus itu."
"Jadi, aku hanya bisa melakukan Kuchiyose saat sedang bertarung dan kalah sehingga aku terdesak?"
"Errr… mungkin." Jawab Himawari ragu. Membuat Boruto menatapnya tak percaya. "Hehe.." gadis itu hanya nyengir lebar.
"Sudahlah. Aku akan tetap berusaha kok." Boruto berujar yakin. "Oh ya, malam ini Kaasan masak apa?"
"Ramen."
"Ramen lagi? Sepertinya Kaasan hanya sayang pada Tousan." Ujar Boruto lesu, membuat Himawari terkikik geli.
.
.
Hari yang cukup panas tidak membuat Boruto menyerah untuk terus berlatih. Dia terus berusaha sekalipun belum ada perkembangan yang berarti. Pernah sekali ia berhasil, tapi hanya mengeluarkan kecebong yang membuatnya geli sendiri. Setelah itu, dia kembali ketitik nol. Tidak ada hasil.
Bruk..
Boruto menjatuhkan dirinya di rerumputan. Mengistirahatkan tubuhnya sejenak dari latihan yang melelahkan. Tatapannya menyipit kearah langit. "Hah, sudah dua minggu." Ucapnya pelan menghitung waktu yang berlalu sejak pertama kali ia mencoba jurus itu.
Syut..
Boruto mengerjap saat wajah kekasihnya tiba-tiba sudah ada di atas wajahnya. Tersenyum dan menunjukkan bekal di tangannya. "Saatnya makan siang." Sarada berjalan dan duduk disamping Boruto yang masih berbaring. Dengan sedikit kekuatan, dia menarik paksa sang kekasih agar ikut duduk bersamanya. "Kau terlihat seperti Shikadai, suka sekali berbaring dan memandang langit."
"Hah, aku itu sedang beristirahat. Jangan samakan aku dengan dia."
Sarada hanya tersenyum dan menggeleng mendengar gerutuan Boruto. Dia membuka dan menyajikan makanan yang dia bawa. "Makanlah, selain istirahat, kau juga butuh makan untuk asupan tenaga."
Sulung Uzumaki itu tersenyum senang dengan perhatian sang kekasih dan segera memakan bekal itu. "Masakanmu semakin enak." Boruto menahan dirinya untuk tertawa saat ingat bagaimana rasa masakan Sarada dulu. "Tidak seperti masih genin dulu." Ucapnya sedikit tertawa.
Membuat Sarada menekuk wajahnya kesal. "Tidak usah mengingat hal itu." gerutunya semakin membuat Boruto tertawa. Tanpa diingatkanpun, Sarada tetap ingat kok bagaimana masakannya dulu saat masih genin, sampai Boruto dan Mitsuki lebih memilih kelaparan daripada memakan masakannya. Yah, jangan menyalahkannya. Salahkan saja Ibunya yang ternyata payah dalam urusan memasak. Untung saja setelah itu, Hinata mau mengajarinya.
"Ehm, Boruto."
"Hm?"
Boruto menggumam dengan mulut yang masih mengunyah. "Besok aku akan ada misi keluar desa," tatapan mereka bertemu, "Dan mungkin akan pulang tiga hari lagi. Tidak masalahkan?"
Pemuda pirang itu mengangguk mengerti, dia menelan makanannya dan meraih minum baru bicara. "Hati-hati saja." Jawabnya singkat dan meneguk minumannya.
Sarada menatapnya ragu dan menggenggam tangan Boruto, membuat pemuda pirang itu menoleh menatapnya. "Saat aku pulang, kuharap kau sudah ada kemajuan. Jangan menyerah, aku yakin kau bisa melakukannya, Boruto." Ujarnya sambil tersenyum. Senyum yang membuat Boruto ikut tersenyum dan balas menggenggam tangan putih kekasihnya.
"Aku akan berusaha." Jawabnya dan dengan cepat mengecup singkat bibir Sarada.
.
.
Naruto duduk di sofa ruang keluarga dengan Hinata yang bersandar didadanya. Kedua tangan mereka saling bertaut dan memainkan jari-jemari mereka. Layaknya permainan anak kecil namun diisi dengan keromantisan dan kemesraan yang mengiringi. Membuat keduanya tersenyum sambil terus berebut untuk saling menggenggam lebih erat tangan pasangannya.
"Kalian seperti anak kecil," satu ucapan itu membuat keduanya menoleh, mendapati wajah faceplam Boruto dan senyum riang Himawari. "Kalian sedang apa? Bermain adu jari?" ucapnya lagi sambil berjalan dan bergabung dengan kedua orang tuanya.
Naruto hanya menghela nafas dengan sedikit kesal akan tingkah putranya itu. Tanpa repot-repot melepaskan rangkulan tangannya pada sang istri, Naruto menyesap minumannya dari atas meja.
"Lakukan lagi," Himawari justru mendukung pertunjukkan kedua orang tuanya yang sudah jarang ia lihat. "Kalian sangat romantis loh."
Hinata mengusap lembut kepala Hima yang duduk di sampingnya dengan tersenyum.
"Bagaimana latihanmu?" Naruto mengalihkan pembicaraan dan menatap serius pada Boruto.
Putra sulungnya mengangkat bahu dan bersandar malas, "Tidak ada perkembangan." Bukan Boruto yang menjawab, tapi Himawari.
Naruto dan Hinata menatap sendu putra mereka. "Kaasan yakin kau bisa, Boruto." Ucap Hinata menyemangati. "Lakukanlah dengan sungguh-sungguh. Mungkin kau hanya kurang yakin pada dirimu sendiri."
"Aku sudah berusaha, Kaasan."
"Tapi setengah dari dirimu tidak terlalu suka melakukannya karena kau tidak suka dengan jurus itu. Agar dapat menghasilkan hasil yang baik, kau harus melakukannya dengan niat yang bagus dan usaha penuh, tanpa keraguan."
Boruto menatap Hinata dengan ekspresi datar, mencoba mencerna setiap kata yang dikatakan sang Ibu.
"Kau juga harus yakin pada dirimu sendiri." Naruto menimpali.
Untuk beberapa saat, Boruto hanya diam dan mencerna kata-kata itu. Selanjutnya dia sudah berdiri dan tersenyum. "Akan aku pikirkan." Dia melangkah pergi menuju kamarnya untuk beristirahat.
.
.
Boruto sedang berjalan menuju lapangan berlatihnya saat dia bertemu Chocho yang memberitahunya jika Sarada sedang dalam bahaya. Misi yang dilakukan Sarada hanya berdua dengan Chocho dan mereka sedang dalam perjalanan pulang melewati hutan saat seekor ular raksasa menyerang mereka.
Keduanya masih lelah dari menjalankan misi, dan serangan ular itu membuat keduanya terluka. Sarada harus di papah tapi Chocho juga terluka hingga tidak bisa melakukannya. Sarada bersembunyi saat dia memaksa Chocho kembali ke desa dan mencari bantuan.
Dari itulah, Boruto langsung berlari sendirian menuju hutan itu untuk menyelamatkan Sarada sementara Chocho disuruhnya untuk ke rumah sakit agar mengobati lukanya.
Pohon demi pohon ia lompati dengan cepat dan perasaan gusar. Khawatir dan gelisah melingkupi hatinya kala membayangkan Sarada yang sedang terluka harus tetap bertarung.
"Sarada!" dia berteriak saat melihat Sarada terpental ke belakang begitu dia sampai. Dia segera menangkap tubuh itu agar tidak menghantam tanah. "Sarada… bagunlah.. Sarada.." gadis itu pingsan. Begitu dia menoleh, ular raksasa itu mendekat dengan mulut terbuka.
Boruto berdiri dan menaruh Sarada di tanah. "Kage Bunshin No Jutsu!" segel terbentuk dan mengeluarkan dua bunshin. Satu bunshin membawa tubuh Sarada, sementara satu bunshin dan Boruto yang asli menyerang ular itu dengan kunai.
Tapi saat Boruto dan bunshinnya menyerang, ternyata ada seekor ular lagi yang menghalangi jalan bunshin Boruto yang membawa Sarada.
Jleb jleb..
Kunai yang di lempar Boruto mengenai punggung ular itu, tapi terlalu lemah hingga membuat ular itu semakin marah.
Brash..
Sekali kibasan ekornya membuat beberapa pohon jatuh dan hampir mengenai bunshin Boruto yang membawa Sarada jika mereka tidak menghindar. Kini Boruto asli dan dua bunshinnya serta tubuh Sarada berkumpul disau tempat dengan dua ular yang berada disisi berlawanan.
"Cih," Boruto berdecih kesal sambil mengeratkan genggamannya di kunai.
Syuu..
Kunai itu terlempar tapi meleset jauh. Dia membentuk segel di tangannya dan mengeluarkan rasengan. Seketika putaran cakra berwarna biru membentuk di tangannya. "Hhyyaaa…" dia berlari dan menyerang satu ular dengan itu. Tapi sayang, satu ular lainnya menyerang dua bunshinnya hingga hilang. Boruto yang menoleh kebelakang tidak menyadari jika ular yang ingin dia serang dengan rasengan juga mengibaskan ekornya dan membuatya terpental ke tanah.
"Akh,," dia meringis dan segera berdiri, berlari untuk mencoba menggapai tubuh Sarada. Tapi ekor ular raksasa itu dengan cepat melingkari tubuh mungil gadis Uchiha itu. "Saradaaaa…" Boruto berteriak saat tubuh itu terangkat dalam lilitan ekor ular.
"Sialan, lepaskan Sarada, brengsek!" umpatnya sambil mengerluarkan rasengan lagi dan melompat segera keular itu.
"Rasengan!" serangannya berhasil tapi hal itu membuat Sarada kembali terpental.
Boruto melompat dan kembali ingin meraih tubuh kekasihnya, tapi seekor ular menghalangi jalannya. Dari belakang, ular yang tadi terkena rasengannya ternyata masih bisa bergerak dan menelan tubuhnya dari belakang.
.
.
Gelap.
Gelap… Boruto merasa gelap dan basah. Kenyataan yang melintas di pikirannya membuatnya mengumpat kesal. "Sial!" dia meninju dinding berlendir di sekitarnya. Bagian dalam tubuh ular.
"Dan juga, cakra yang besar biasanya akan keluar saat seseorang terdesak. Begitu kata Papa."
Boruto mengerutkan keningnya. "Terdesak?" Himawari mengangguk.
"Seseorang yang terdesak biasanya akan melakukan semua hal sekuat tenaga dan terus berusaha sampai akhir hingga bisa mengeluarkan kekuatan yang besar. Dan saat dia sudah mengetahui satu jurus, dia akan mudah melakukan jurus itu."
Boruto terdiam mengingat percakapannya dengan sang adik. Apa situasi seperti ini yang dinamakan terdesak? Dia melihat tangannya, "Apa aku bisa melakukannya?"
"Aaarrgg…"
Dia tersentak saat samar terdengar suara teriakan Sarada dari luar. "Sarada… Saradaaa…" teriaknya mencoba berontak. "Sial… sial… siaaaalll…"
Sssyuuu… lagi-lagi dia membentuk bola biru ditangannya.
"Rasengan!" dia menyerang dan berhasil keluar dari tubuh ular itu.
Bruk… dia terjatuh di tanah dan menoleh kebelakang. Ular yang tadi menelannya terlihat meringis ditanah.
Boof… Boruto mengerjap saat ular itu menghilang. "Kuchiyose?" gumamnya tak percaya. Ia kira itu hewan asli penghuni hutan itu, tapi ternyata itu hewan Kuchiyose? Seketika amarahnya meledak, siapa yang memanggil hewan-hewan itu untuk menyerang Sarada?
Dia menoleh dan matanya melebar saat lagi-lagi tubuh Sarada terpental jauh, terlihat olehnya Sarada yang sedikit meringis. Mungkin gadis itu setengah sadar dari pingsannya dan tidak kuat menahan sakit di tubuhnya.
"Saradaaa…" dia berlari dan berniat menyerang ular itu, tapi ekor ular itu melilit tubuhnya dengan kuat. Membuatnya terangkat keatas dan berteriak. "Aaarrgg,, lepaskan aku, brengsek!.. arrrgghh…" dirasaya lilitan itu menguat.
Samar dia lihat Sarada yang berusaha berdiri tapi terjatuh lagi ke tanah. Pandangannya nanar dan penuh amarah. "Aku mohon, kali ini keluarlah." Bisiknya sambil mengoles darah di telapak tangannya.
"Kuchiyose No jutsu!"
Boof…
Bruk.. "Akh.." Boruto meringis saat dia tiba-tiba terjatuh di permukaan yang terasa cukup kasar tapi dia yakin itu bukan tanah.
Boruto melihat sekelilingnya dan berdiri. Matanya menatap tak percaya saat akhirnya dia berhasil melakukan jurus pemanggilan itu.
"Hai, Boruto." Cukup lama dia terdiam sampai sapaan katak raksasa yang ada dibawahnya itu menyentak kesadarannya. "Akhirnya kau berhasil memanggilku dengan cakramu sendiri ya."
Boruto masih setengah linglung mendengar itu. "Uhm… mu-mungkin?!" ucapnya tak yakin. "Ah, kau… Gamakici? Kuchiyose Tousan."
"Ya, begitulah. Kau terlihat shock. Tapi lupakan itu, jadi kenapa kau memanggilku? Apa hanya sekedar latihan?"
"Hah?" dia tersadar dan melihat kebawah. Terlihat tubuh Sarada yang tergeletak di tanah. Sial, kenapa dia bisa-bisanya linglung hanya karena berhasil melakukan jutsu? "Kage bunshin No Jutsu!" dia mengeluarkan satu bayangannya untuk segera menyelamatkan tubuh Sarada.
"Baiklah, aku tahu ini untuk pertama kalinya. Tapi tolonglah aku untuk mengalahkan ular itu." telunjuknya mengarah pada seekor ular di hadapannya. Seekor ular yang berukuran sama dengan Gamakici.
"Uhm, maksudmu… kau sedang bertarung melawan ular itu?" tanya Gamakici dengan ragu, "Kenapa?"
"Karena dia menyerang Sarada."
Gamakici melirik seorang gadis yang ada dalam gendongan bunshin Boruto dan mengernyit, 'gadis itu..' dia merasa aneh dalam hati lalu kembali menatap ular di depannya. "Kau yakin ular itu menyerang teman perempuanmu itu?"
"Tentu saja aku yakin. Ayolah cepat, aku harus segera membawa Sarada ke rumah sakit."
"Tapi masalahnya, terasa aneh kalau ular itu menyerang Sarada."
Boruto mendelik, "Apanya yang aneh?"
"Karena ular itu adalah Kuchiyose Uchiha Sasuke, Ayah dari teman perempuanmu itu."
"Ap –" Boruto terdiam mendengar hal itu.
"Kenapa Uchiha Sasuke itu ingin menyerang putrinya sendiri?" lanjut Gamakici.
Boruto terdiam tak percaya. Benar bahwa ular itu adalah hewan Kuchiyose. Benar juga jika gurunya, Sasuke memiliki Kuchiyose ular. Tapi… apa benar jika ular itu adalah Kuchiyose Sasuke? Bisa saja itu ular milik orang lain.
"Kau yakin jika ular itu Kuchiyose Paman Sasuke?"
"Aku yakin, aku pernah bertarung dengannya saat Naruto dan Sasuke bertarung bersama kira-kira 25 tahun yang lalu. Ingatanku ini masih kuat."
Di tengah ketidakpercayaannya. Tiba-tiba saja sosok Sasuke muncul diatas ular dihadapannya, membuat Boruto semakin cengok dan tidak mengerti apa yang terjadi.
"Sarada terluka, sebaiknya kau cepat bawa dia ke rumah sakit."
Boruto mengangguk pelan dengan setengah sadar. Membuat Sasuke menampilkan senyum tipis sebelum menghilang tiba-tiba.
Syuut.. boof…
Dan ular yang tadipun ikut menghilang.
"Baiklah, karena sudah tidak ada masalah. Aku permisi dulu ya." –Boof… Gamakici juga ikut menghilang.
Bruk.. Boruto meringis saat tubuhnya terjatuh ke tanah. "Oi… cepat bawa Sarada!" teriakan bunshinnya menyadarkan Boruto dan segera melesat untuk membawa sang kekasih ke rumah sakit.
.
.
Sementara di balik pohon tak jauh dari sana, sosok seorang pria berambut pirang berdiri dan tersenyum menatap semua itu. Disampingnya, seorang pria berambut raven baru saja muncul dengan cepat.
"Apa kau tidak terlalu berlebihan pada Sarada? Dia terluka." Pria berambut pirang itu mengeluarkan suara.
"Aku tidak menyiksa putriku secara berlebihan, dan juga… jangan remehkan Uchiha."
"Huh," jawaban dari pria raven itu membuat lawan bicaranya mendengus. "Tapi akhirnya dia berhasil juga melakukannya."
"Hn, cara yang sama ternyata masih ampuh."
"Eh?"
Pria berambut pirang menatap bingung sang pria raven. Cara yang sama? "A-apa maksudmu, Sasuke?"
Sasuke memejamkan matanya dan menunduk, senyum tipis mengiringi dengusan kecilnya. "Dasar bodoh!" ucapnya kemudian melangkah pergi.
"Sasuke, kau mau kemana? Jawab dulu pertanyaanku." Naruto –pria pirang tadi mengejar dan menyamakan langkah dengan sahabat ravennya itu.
.
.
'Naruto berhasil melakukannya saat dipaksa Jiraya dengan didorong ke jurang atau dipaksa Gaara dengan bertarung demi menyelamatkan Sakura dan Sasuke. Sementara Boruto berhasil melakukannya dengan di paksa bertarung demi Sarada. Sepertinya klan Uzumaki akan sukses dengan paksaan.'
Seseorang tersenyum dengan ucapan dalam hatinya.

0 comments:

Post a Comment