Monday, 10 October 2016

Uzumaki Family (Chapter 7)

Uzumaki Family
Lupa?
Naruto by Masasi Kishimoto
[U. Naruto x H. Hinata] ; U. Blot ; U. Himawari
Note : Typo, OOC, Canon, NaruHina fic, Don't Like Don't Read
.
.
Pagi yang cerah menyambut Negara api. Tepatnya di desa Konoha, terlihat mulai banyak penduduk yang memulai kegiatan mereka. Dari yang berbelanja, sampai sudah siap untuk misi –untuk para shinobi tentunya.
Jika sebagian shinobi sudah bergegas, maka berbeda dengan pemimpinnya. Sang Hokage terlihat masih terbaring dengan mata terpejam di ranjangnya. Dalam pelukannya, sang istri tersenyum menatap wajah menenangkan sang suami yang tertidur lelap. Dia semakin senang karena di hari special mereka, sang suami mungkin akan ada disisinya.
"Ng.." dan saat suaminya bergerak bangun lalu membuka safir yang tadi dia sembunyikan. Senyuman sang istri semakin melebar dengan lembut.
"Ohayou, Anata."
Naruto mengerjap dan mengeratkan pelukannya lalu kembali memejamkan mata. "Ohayou." Hinata hanya menghela nafas saat merasa jika nafas suaminya kembali teratur yang menandakan sang suami kembali tidur. Dia membiarkannya beberapa saat, dia ingat jika sang suami baru pulang jam empat subuh tadi.
Tidur dua jam tentu membuatnya masih mengantuk.
Setelah beberapa lama, Naruto kembali membuka matanya dan tersenyum saat menemukan Hinata masih dalam pelukannya. Wajahnya mendekat dan mengecup bibir sang istri ringan dan lembut. Tak lama, karena dia segera menarik diri lalu mendudukkannya di ranjang.
"Mandilah, aku akan siapkan sarapan." Naruto mengangguk tapi belum berangkat dari ranjang. "Naruto-kun, apa kau akan pulang cepat hari ini?"
Sang Hokage menoleh dengan tatapan yang tak bisa di tebak. Lalu menggeleng, "Entahlah, Hinata. Dokumen yang di berikan Shikamaru rasanya tidak pernah habis."
"Tapi… untuk hari ini… apa kau tidak bisa mengusahakan agar pulang cepat?"
"Memang kenapa dengan hari ini?"
Hinata terdiam dan menunduk, sesaat kemudian dia kembali mendongak dan tersenyum. "Tidak ada apa-apa kok. Sudah, kau mandilah. Aku ke dapur dulu." Dia langsung turun dari ranjang dan berjalan keluar dapur.
Naruto memandangnya lama dengan raut datar. Sebelum akhirnya dia tersenyum singkat dan beranjak dari ranjangnya.
.
.
Hinata duduk menunduk di ruang keluarga. Di tangannya terlihat foto pernikahannya dengan Naruto yang di ambil sekitar 18 tahun lalu. Usia pernikahan mereka memang sudah lama, tapi perasaan cinta di antara mereka masih begitu hangat. Dan Hinata selalu mengingat setiap detail kisah mereka.
Hal itu membuatnya tersenyum, tapi senyumnya memudar saat mengingat kalau Naruto bahkan lupa pada hari ulang tahun pernikahan mereka. Dulu Naruto tidak pernah lupa tentang hari-hari penting mereka. Tapi setelah Naruto menjadi Hokage, pria itu sering melupakan sesuatu. Tak jarang malah pria Uzumaki itu bahkan tidak pulang sama sekali.
Tapi salahkah jika Hinata ingin Naruto mengingat hari ini? Mungkin dia egois. Disaat Boruto marah kepada Naruto karena pria itu hanya mengirim bunshin ke acara ulang tahun Himawari, dia tidak marah dan bisa mengerti. Tapi sekarang dia justru ingin menangis dan menginginkan Naruto yang asli ada di sisinya.
Tapi jangankan yang asli. Bunshin saja tidak akan Naruto kirim karena pria itu tidak ingat tentang hari itu.
"Mama.." Hinata tersentak dan menoleh, menatap putrinya yang beranjak remaja tengah menatapnya dengan wajah khawatir. "Mama kenapa? Kenapa Mama sedih?"
Hinata menggeleng dan menarik sang anak ke pelukannya. "Tidak. Mama tidak menangis kok." Meski begitu. Hinata tidak bisa memaksakan diri untuk tersenyum.
"Mama."
Hinata menarik nafas lalu melepas pelukannya. Dia tersenyum menatap putrinya. "Ya?"
"Apa hari ini Mama ada acara?" Hinata menggeleng. "Tadi Bibi Sakura mencari Mama. Dia mengatakan tentang rumah sakit dan ingin meminta tolong. Entahlah, hanya itu yang dia katakan."
"Benarkah?" Himawari mengangguk. "Kalau begitu Mama akan ke sana dan menemuinya. Hima mau ikut?"
"Tidak. Aku ingin di rumah saja. Lagipula nantinya aku ingin bermain bersama Hanabi-baasan."
Hinata mengangguk dan berpamit kepada putrinya sebelum pergi. Mungkin menyibukkan diri di hari itu tanpa menunggu dan mengharapkan apapun akan lebih baik untuknya.
Dia menghela nafas saat ingat kalau Naruto langsung pergi setelah sarapan tadi pagi. Pria itu bersikap biasa saja dan tidak mengucapkan apa-apa. Membuat Hinata jadi sedikit enggan untuk mengucapkan selamat duluan. Mungkin juga peringatan hari ulang tahun pernikahan mereka tahun ini akan berlalu tanpa kenangan dan ucapan.
.
.
Boruto meraih ponselnya yang terasa bergetar di saku celananya. Dia mengeluarkannya dan mengangkat dengan senang hati begitu melihat nama sang adik tertera di sana. "Hallo, Hima. Tumben sekali kau menelponku, apa kau sudah rindu pada kakakmu ini ttebasa?"
"Aku memang selalu merindukan Oniichan."
Boruto tertawa mendengar kejujuran adiknya itu. Dia juga merindukan Himawari. Padahal dia hanya menjalankan misi empat hari dan sekarang pun dia sudah dalam perjalanan pulang bersama teman-temannya, tapi dia begitu senang hanya dengan mendengar suara Himawari saja. "Aku sedang dalam perjalanan pulang. Apa di rumah ada acara?"
"Tidak ada. Rumah kosong karena semua orang sedang keluar."
"Dimana kau sekarang?"
"Aku sedang di tempat Jii-san. Aku bersama Hanabi-baasan. Mama dan Papa juga tidak ada di rumah. Jadi mungkin Nii-chan tidak bisa pulang."
Boruto terdiam lalu berpikir, mungkin saja kedua orang tuanya sedang pergi untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Memikirkan itu, Boruto tersenyum senang karena setidaknya hubungan orang tuanya semakin romantis. "Baiklah, aku akan ke tempat Shikadai saja."
"Ck, mendokusai."
Boruto melirik saat mendengar decakan itu lalu menghela nafas, "Atau ke tempat Mitsuki." Ubahnya dengan cepat. Tidak ingin mencari bahan perdebatan. "Oke, Hima. Sudah dulu ya. Sampai nanti."
"Hm, sampai nanti Oniichan."
Boruto tersenyum dan kembali memasukkan ponselnya ke saku celana. Dia tersenyum membayangkan kemana kedua orang tuanya pergi. Di dalam tasnya, dia sudah mempersiapkan hadiah untuk kedua orang tuanya. Ah, pasti kedua orang tuanya sangat senang.
Dia tersenyum tanpa berpikir mungkin saja Ayahnya tenggelam dalam dokumen di kantor Hokage yang mengakibatkan Ibunya sendirian.
.
.
"Hinata, kau melamun."
Hinata tersentak saat Sakura menegurnya. Bahkan pena yang ada di tangannya hampir saja terjatuh. Sakura memang memintanya untuk merekap ulang data pasien dan data obat dalam tiga bulan terakhir untuk laporan. Biasanya Sakura melakukan itu di bantu asistennya, tapi kebetulan asistennya sedang ada urusan sehingga tidak bisa masuk.
"Kau ada masalah?"
"Tidak ada kok." Hinata tersenyum sambil menjawabnya.
"Oh ya, bukankah hari ini ulang tahun pernikahanmu?" Hinata tersenyum, antara mengiyakan dan miris. Bahkan orang luar saja ingat, kenapa Naruto lupa? Batinnya. "Lalu, apa yang di berikan Hokage itu padamu?"
"Ehm, itu…"
"Hei, jangan bilang kalau dia tidak ingat hari ini."
"Ah bu-bukan begitu." Hinata dengan cepat menyangkal. "Dia… dia ingat kok.." jawabnya berbohong.
"Benarkah?" Sakura menuntut, dan Hinata hanya mengangguk pelan. "Lalu apa yang dia berikan padamu?"
"Eng.. itu.. dia… dia menciumku tadi pagi… setelah mengucapkan selamat." Jawabnya dengan wajah memerah. Sebenarnya dia tidak sepenuhnya berbohong. Naruto memang menciumnya. Tapi bukan ucapan selamat ulang tahun pernikahan yang dia maksud, melainkan hari ucapan selamat pagi biasa.
Sakura mengangguk puas melihat respon Hinata yang malu. Dia berpikir mungkin itu benar dan Naruto memang mengingat hari itu. yah, walau hanya memberikan ciuman.
.
.
Bruk..
Wajah nelangsa keluar dari pria Uzumaki itu. "Shika, kau dapat dari mana dokumen-dokumen ini?" tanyanya dengan lesu saat melihat setumpuk dokumen yang baru saja di taruh Shika ke atas mejanya.
"Aku mencetaknya dan membawa semuanya ke sini agar kau melipatnya menjadi origami."
"Huh, tidak lucu." Jawab Naruto ketus akan usaha Shikamaru yang ingin melawak… atau hanya mengobati rasa bosan.
"Sudah, kerjakan saja kalau kau ingin aku ijinkan pulang hari ini."
Mendengar itu, wajah Naruto semakin menekuk. Mengijinkan pulang hari itu bukan berarti dia bisa pulang cepat. Sebelum lewat jam dua belas malam juga masih bagian dari hari itu. Dan saat dia melihat senyum Shikamaru yang mengejeknya, dia semakin kesal.
"Dasar Shikamaru jelek.." pintu tertutup tanpa tanggapan apapun dari pria Nara itu. Membuatnya menghela nafas dan kembali meraih dokumen lain. "Aku harus menyelesaikan ini agar bisa istirahat ttebayo…" ucapnya lesu, "..walau hanya istirahat sebentar." Lanjutnya.
.
.
"Hinata?"
Wanita itu menoleh saat ada yang memanggilnya. Sekarang dia sedang dalam perjalanan pulang setelah membantu Sakura. Hari sudah mulai sore dan dia pulang dengan kepala tertunduk lesu. Sampai seseorang memanggilnya. "Kiba-kun, kau disini?"
"Begitulah. Hanya sekedar jalan-jalan. Kenapa dengan wajahmu itu? Kau terlihat sedih, bukankah hari ini hari yang special?"
Hinata hanya menghela nafas dan menggeleng, "Aku tidak apa. Aku mungkin hanya lelah setelah membantu Sakura di rumah sakit. Aku akan pulang dan beristirahat."
"Benar kau tidak apa? Apa Hokage itu begitu sibuknya hingga tidak bisa menyempatkan diri di hari ini?"
Hinata tersenyum manis, "Dia sudah menyempatkan diri tadi pagi. Mungkin aku akan masak makan malam yang enak saja nanti. Kami bisa makan bersama saat dia pulang. Oh, Boruto-kun juga pulang hari ini. Aku tidak apa, Kiba-kun."
"Baiklah." Kiba mengalah. "Aku duluan ya, Hinata. Jaa.."
"Jaa, Kiba-kun."
Setelah Kiba pergi, Hinata kembali memudarkan senyumnya. "Seandainya Naruto-kun memang menyempatkan waktu untukku." Ucapnya lesu tapi sesaat kemudian dia menggeleng. "Tidak. Aku tidak boleh begini. Naruto-kun pasti sibuk. Seharusnya aku menyiapkan makan malam saja. Siapa tahu dia pulang cepat hari ini."
Setuju dengan pemikiran itu. Dia melangkah pulang dengan perasaan yang lebih baik. Tapi belum lima menit dia berjalan…
"Buru-buru sekali." Hinata tersentak dan berhenti. Perlahan dia menoleh dan menatap tak percaya sang suami yang berdiri di sana sambil tersenyum kearahnya. "Kau mau kemana, Hinata?"
"Naruto-kun, kenapa kau di sini?"
"Itu.." Naruto menggaruk kepalanya. "Shikamaru akhirnya mengijinkanku pulang cepat. Dan yah, aku berniat pulang tapi malah menemukanmu di sini."
Hinata hanya mengangguk dan ber-oh. Lalu suasana mereka menjadi canggung tiba-tiba. Mungkin karena Hinata yang awalnya tidak pernah menyangka kehadiran Naruto di sana. "Err… Hinata, bagaimana kalau kita jalan-jalan saja."
"Hah?"
"Heheh… ku dengar Hima ke tempat Hanabi. Boruto juga mampir ke rumah Mitsuki. Daripada di rumah. Kita jalan-jalan saja. Sudah lama kita tidak keluar bersama." Hinata tidak bisa menahan senyumnya dan mengangguk setuju.
Naruto ikut tersenyum dan segera meraih tangan sang istri. Mereka berjalan berdampingan di jalanan desa. Sesekali mereka membalas sapaan penduduk yang menyapa. Mereka mengobrol sepanjang jalan dengan tautan jari yang tak lepas.
Hinata sangat senang akan hal itu. Walau Naruto tidak mengatakan apa-apa tentang hari penting mereka, tapi kehadiran Naruto di sana cukup untuknya.
.
.
Boruto sedang berjalan santai di sore itu saat dia ketemu dengan Kiba. Awalnya hanya mengobrol biasa. Tapi saat Kiba menanyakan tentang Hinata yang murung saat mereka bertemu tadi, Boruto sudah mulai kesal. Dan saat fakta bahwa Ayahnya masih di kantor Hokage dan membuat Ibunya sendirian bahkan harus menghabiskan waktu membantu Sakura di rumah sakit. Amarahnya memuncak.
Ibunya harus membantu teman untuk menghabiskan waktu di hari ulang tahun pernikahannya karena sang Ayah yang terlalu sibuk. Cukup! Hal itu cukup untuk membuatnya berjalan cepat ke kantor Hokage dengan amarah memuncak.
Bayangan Ibunya yang menangis dalam diam di setiap Ayahnya tidak ada waktu untuk keluarga membuatnya tanpa ragu mendobrak pintu ruang Hokage. Membuat seorang pria yang ada di dalamnya menatapnya bingung.
.
.
"Hinata-chan, aku ke sana sebentar ya."
Hinata mengangguk dan Naruto melangkah pergi. Tak lama, pria itu kembali dan membawa setangkai mawar yang sangat indah. Tanpa ragu memberikan itu kepada sang istri dengan tersenyum lebar. "Ini untukmu ttebayo.. apa kau suka?"
Hinata tersenyum sambil meraih bunga itu. "Aku suka, terima kasih, anata." Naruto mengangguk senang melihatnya.
.
.
"Boruto, kau kenapa?"
"Kenapa katamu?" Boruto melangkah mendekat dan memandang Ayahnya dengan pandangan benci. "Kau bertanya kenapa di saat kau sudah membuat Ibuku bersedih hari ini?"
Naruto mengerutkan alisnya bingung, "Apa maksudmu? Kau baru pulang dari misi dan langsung marah-marah di kantor Hokage."
"Diamlah Tou-chan. Kau bahkan tidak tahu jam berapa aku sampai di desa. Apa seharian ini kau hanya mengurung diri di sini tanpa tahu jika Kaa-chan bersedih di luar sana?"
"Kenapa dia bersedih?"
Pertanyaan itu semakin membuat Boruto marah. Bisa-bisanya Ayahnya itu bertanya tanpa tahu apapun tentang istrinya sendiri. Tangannya terkepal dan pandangan safir itu menajam. "Kau memang selalu merusak semuanya." Langkahnya maju dan kepalan tangannya terangkat untuk melayangkan tinju kepada sang Ayah.
Brak..
"Boruto?"
Duakh
.
.
Poof..
Hinata terdiam saat asap putih itu hadir di hadapannya. Menghilangkan sosok suami yang sebelumnya berdiri di sana. Tangannya yang memegang mawar jatuh terkulai di samping tubuhnya. Tatapannya tak percaya akan apa yang dia alami. "Bunshin?" tanyanya lirih. "Dia… hanya mengirim bunshin?"
Matanya berkaca-kaca. Kepalanya menunduk dan genggaman tangannya pada tangkai mawar tanpa duri itu menguat. Hinata menggigit bibirnya kuat menahan air mata yang mengancam keluar. Kenapa? Kenapa harus di saat seperti ini? Setidaknya kenapa bunshin itu harus menghilang di saat seperti ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu tak terjawab. Dia berjalan lesu tanpa mengindahkan tatapan para penduduk yang mengarah padanya. Ada yang menatap aneh dan ada juga yang menatap prihatin karena mengerti apa yang terjadi. Tapi siapa peduli akan tatapan itu. Dia hanya ingin pulang dan mungkin menangis di kamarnya.
.
.
Boruto berdiri terdiam di tempat setelah melayangkan sebuah tinju kepada seorang… "Bunshin?" dia menoleh kepada Shikamaru yang datang membuka kasar pintu sesaat sebelum dia meninju bunshin sang Ayah sampai menghilang. "Paman Shikamaru?"
"Hah," pria Nara itu menghela nafas. Kalau saja dia lebih cepat sedikit, mungkin bunshin Naruto tidak akan menghilang. "Iya. Itu hanya bunshin. Ayahmu yang asli sudah pulang karena suatu hal."
"Suatu… hal?" Boruto memiringkan kepalanya tidak mengerti. Dia masih shock karena melakukan hal yang sia-sia.
.
.
Hinata melangkah lesu memasuki rumahnya tanpa suara. Keadaan pintu yang terkunci membuatnya berpikir jika tidak ada orang di rumah. Setelah membuka pintu dengan kunci yang dia bawa, dia menutup pintu dan berbalik, berkedip saat kepalanya yang tertunduk membuatnya melihat sepasang sepatu di hadapannya. Perlahan dia mendongak dan terdiam kala mengetahui siapa itu.
"Kau menangis? Kenapa?"
"Naruto-kun?"
"Iya, ini aku, Hime."
Hinata ingin tersenyum tapi tidak jadi. Cahaya di matanya kembali redup saat ingatannya kembali ke beberapa waktu lalu saat suaminya menghilang menjadi asap. "Aku lelah dan ingin beristirahat." Hinata berjalan melewati sang suami setelah mengganti sandal rumah. "Tidak apa jika kau menghilang." Lanjutnya masih dengan nada lesu.
Tiga langkah, dia berhenti dan lavendernya melebar saat merasakan tangan-tangan kekar memeluknya dari belakang. Hembusan nafas di bahunya juga terasa begitu hangat. "Aku bukan bunshin, Hime." Ucap Naruto setengah berbisik. "Apa bunshinku akan memelukmu seperti ini?"
Hinata segera berbalik dan menatap lekat suaminya. Tangannya terulur dan mencubit pipi tan Naruto. "Itte, sakit Hinata-chan…" jawab Naruto dengan suara tidak jelas karena pipinya di tarik.
Senyum Hinata muncul saat fakta itu membuatnya begitu senang. Dia langsung melemparkan dirinya ke pelukan sang suami yang tentu langsung menangkapnya. "Naruto-kun!" ucapnya dengan riang. Membuat Naruto ikut tersenyum dan membelai lembut rambut sang istri tercinta.
.
.
Hah, Boruto menghela nafas dan berjalan dengan wajah malas. Setidaknya dia tahu jika Ayahnya tidak lupa pada Ibunya. Shikamaru bilang jika Ayahnya pulang lebih awal untuk mempersiapkan sesuatu agar menjadi kejutan bagi Ibunya. Dan itu cukup menyurutkan amarahnya.
"Boruto!" dia menoleh dan tetap berjalan. Merasa jika gadis Uchiha yang memanggilnya telah berjalan di sampingnya. "Kenapa kau sendirian?"
"Aku berdua denganmu, Sarada."
Gadis itu terdiam dan mengalihkan tatapannya. "Hei, kau tahu pesta kembang api bulan depan?"
"Ya."
"Apa kau mau pergi?"
Boruto terdiam mendengarnya. Dia tidak tahu harus pergi atau tidak. Dulu, dia akan pergi bersama Ibu dan adiknya, terkadang juga Ayahnya ikut. Tapi setelah waktu berlalu, adiknya terlihat lebih suka pergi dengan Shikadai dalam acara-acara desa. Dan Ibunya… sepertinya sang Ayah akan ada disisi sang Ibu. Jadi tinggal dia sendiri.
"Boruto?"
"Entahlah, Sarada. Aku belum tahu pasti. Lagi pula itu acara bulan depan." Sarada memajukan bibirnya saat Boruto tidak terlalu semangat dengan topic itu padahal dia membicarakan itu dari sekarang agar bisa lebih dulu memancing sesuatu dari pemuda Uzumaki itu. Ajakan pergi bersama, misalnya. "Apa kau lapar?"
"Hah?" Sarada tersentak dengan pertanyaan itu tapi Boruto tidak bertanya lagi. "Ugh, kurasa aku memang lapar. Tapi… ini sudah malam. Kau tidak pulang?"
Boruto mendongak menatap langit yang menggelap. "Hah, kurasa malam ini akan lebih baik jika aku tidak pulang."
"Kenapa?"
"Karena aku yakin akan jadi nyamuk jika pulang."
"Maksudmu apa, Boruto?"
.
.
Hinata terbelalak dengan keadaan ruang makan itu. Meja makan yang telah tersaji makanan dan beberapa dekorasi romantis. Lilin, mawar, bahkan ada kue dengan lilin kue menyala di atasnya. Dia menoleh kepada suaminya yang tersenyum lebar.
"Naruto-kun, kau… yang menyiapkan semuanya?"
"Ng.. begitulah… hehehe.." Naruto tersenyum lebar. "Maaf karena tadi aku hanya mengirim bunshin untuk menemanimu jalan-jalan Hinata. Itu karena aku ingin menyiapkan semua ini dengan tanganku sendiri."
"Lalu… kantor Hokage?"
"Yah, aku juga menempatkan satu bunshin di sana." Walau sudah hilang karena Boruto, batinnya melanjutnya. Dia hanya bisa bersiap-siap besok karena yakin Shikamaru akan kembali mengoceh.
"Kau menyiapkannya sendirian?"
"Mana mungkin," Naruto menyela cepat. "Maksudku, makanannya akan hancur jika aku yang membuatnya sendiri. Aku tadi di bantu Hanabi dan Himawari." Dia tersenyum lebar sambil mengaruk pipinya canggung.
Hinata tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak menyangka jika adik dan putrinya ikut andil dalam kejutan yang di persiapkan sang suami. "Naruto-kun." Dia kembali memeluk suaminya dengan erat. Mencoba menyampaikan rasa bahagia dan terima kasih.
Naruto mendongakkan wajah Hinata dan memberikan kecupan manis pada bibir sang istri. Lavender Hinata terpejam saat kecupan itu menjadi ciuman dalam yang menuntut. Saling berbagi kebahagiaan di hari special mereka.
Tak lama, Naruto menyudahi ciuman itu dan menarik Hinata mendekat ke meja mereka. "Nah, kita mulai saja acaranya karena sepertinya Boruto dan Hima tidak akan pulang." Naruto mengambil kue yang ada dan menyodorkannya di hadapan Hinata. "Tiup lilinnya, Hime."
"Bersama." Naruto mengangguk akan permintaan itu. Mereka meniup lilin itu bersamaan hingga semuanya padam.
Hokage ketujuh itu menaruh kue ke meja dan menangkup pipi Hinata lalu mengecup hangat kening sang istri. Membuat Hinata tersenyum senang. "Selamat ulang tahun, Hinata-chan."
…dan senyum Hinata memudar.
"Selamat… apa, Naruto-kun?"
Naruto berkedip dan menarik tangannya. "Selamat ulang tahun. Hari ini ulang tahunmu kan?"
Krik krik krik…
Suasana menjadi sunyi. Hinata terdiam dan menatap suaminya dengan pandangan yang tak bisa di artikan. Selanjutnya, tangannya terkepal dan matanya berubah.
"Ugh, Hi-Hinata-chan, ke-kenapa Byakuganmu aktif ttebayo?"
"Naruto-kun, kau tidak ingat ini hari apa?"
"Eh, ini hari ulang tahunmu kan, eh.. Hi-Hinata-chan…"
"Jyuuken!.."
"Uwaaahhh…."

0 comments:

Post a Comment