Siang itu, Naruto tengah bersantai sambil menikmati secangkir kopi buatan sang istri. Dia baru saja pulang dari misi yang tidak terlalu berat. Setidaknya untuk seorang pahlawan perang ninja ke empat. Kalau biasanya dia akan bermain bersama putranya yang berusia tiga tahun, maka saat itu dia hanya bersantai karena sang putra sedang di bawa Hanabi yang ingin berlibur selama seminggu.
Sambil membaca koran, dia mengerutkan keningnya saat mendengar panggilan dari sang istri dengan nada manja. Dia suka, tapi cukup membuat trauma untuk beberapa hal. Karena itu dia hanya diam menunggu.
Tak lama, terdengar suara derap langkah kecil dari kejauhan. Dia meneguk kopinya santai untuk bersiap dengan apapun yang terjadi.
"Naruto-kun?"
Dia menoleh saat istrinya tiba dengan senyum manisnya yang terpasang di wajah cantik itu. berjalan mendekat dan duduk di sampingnya dengan sebelah tangan yang tersembunyi di balik punggung. Membuat Naruto mulai bertanya, ada apa di balik punggung itu?
"Ya Hime, ada apa?" bertanya lembut sembari menggerakkan tangannya untuk merangkul sang istri, mencoba dengan pelan untuk melihat apa yang ada di balik punggung itu.
"Naruto-kun tidak sibuk kan?"
Pria pirang itu tersenyum dan menggeleng, "Tidak, kenapa? Kau ingin sesuatu?" Uzumaki Hinata, istrinya mengangguk cepat dan antusias, membuat wanita itu tampak begitu manis. Menyelipkan rambut indigo lembut ke balik telinga, Naruto kembali bertanya dengan 'hati-hati', "Kau ingin apa?"
Set..
Gluk..
Naruto menelan ludah pelan saat Hinata mengeluarkan kamera dari balik punggungnya. Dia tidak tahu kalau mungkin Hinata punya cita-cita untuk menjadi fotographer atau tidak. Yang pasti, Hobi itu terlihat ekstream jika dalam kondisi Hinata yang sekarang.
"Ka-mera?" tanyanya sambil tersenyum kikuk. Pasalnya, sejak bulan pertama kehamilan Boruto dulu, kamera itu seolah menelan banyak 'korban'. "Kau ingin apa dengan kamera itu?"
"Aku mau liat foto kucing yang sedang mandi."
Tuh kan? Segala kucing mandilah.
"Mandi? Maksudmu kucing yang sedang membersihkan tubuhnya dengan cara menjilat seluruh tubuhnya sendiri?"
Hinata menggeleng, "Mandi Naruto-kun, tentu saja kucing yang sedang mandi dengan air."
"Kau tahu kan kalau kucing benci air?" Hinata mengangguk –lagi, "Lalu bagaimana mungkin kucing itu mandi dengan air?"
Wajah ceria Hinata tiba-tiba menekuk cemberut, kepalanya di tundukkan dan bibirnya mengerucut. Membuat Naruto mengepalkan tangannya menahan diri agar tetap tenang. Dia menghembuskan nafas dari mulut lalu tersenyum sambil meraih kamera dari tangan Hinata.
"Baiklah," jawaban singkat Naruto membuat sang istri langsung mendongak kembali "Aku akan mencari fotonya. Berapa foto yang kau inginkan?"
Senyum lebar Hinata mulai mengembang, "Sepuluh, aku ingin sepuluh foto kucing yang berbeda."
"Hahaha.." Naruto tertawa hambar, "Sepuluh ya? Baiklah. Sepuluh. Akan aku carikan fotonya."
"Yeay,, Naruto-kun baik.. aku mencintaimu.." cup.. kini giliran senyum Naruto yang mengembang karena Hinata mencium pipinya dan memeluknya erat.
"Hanya di pipi?" tanyanya kemudian, meminta lebih. Dia menarik tubuh Hinata dan melakukan apa yang dia inginkan di tempat lain.
.
.
"Puuusss… ck ck ck… puuusss…"Sebagian penduduk yang lewat, hanya bisa tersenyum dan menggeleng melihat tingkah pahlawan desa mereka. Ada juga yang lumayan prihatin akan hal itu.
Seorang pria bersurai kuning, dengan dua bunshinnya sedang berjalan berjongkok di dekat gang kecil dan juga di pinggir tiang listrik. Satu bunshin memegang kamera, satu bunshin memegang botol isi air, dan yang asli sedang menggaruk kepalanya frustasi.
Pasalnya, sudah hampir setengah jam dia berkeliling desa untuk menangkap para kucing. Beberapa kali tertangkap, tapi sebelum sempat Naruto menyiramnya dengan air ataupun mengambil foto, para kucing itu sudah berontak yang berujung cakarnya mengenai para bunshin, dan… poof …mereka menghilang. Menyisakan ingatan dan rasa sakit pada Naruto yang asli.
"Manis… ke sini dong, aku kan cuma mau foto kamu… puuussss…" dia berjalan mundur dalam posisi jongkok karena seekor kucing menolak datang dan tetap bersembunyi di sudut dinding pembatas jalan.
Tap
Merasa ada seseorang di belakangnya, dia perlahan menoleh dan mendapati sepasang kaki berbalutkan sepatu yang dia merasa kenal. Perlahan dia mendongak dan terdiam mendapati seorang pria berambut merah dengan tatto 'Ai' di dahi menatapnya datar dan polos.
"Aaa…" sontak Naruto berdiri dan menatap kaget teman-teman yang ada di hadapannya. Ya, teman-teman. Ada Gaara, Kankurou dan Shikamaru di sana. "Ga-Gaara? Hei,, sedang apa kalian di sini ttebayo?" tanyanya canggung. Jelas canggung, karena tatapan malas Shikamaru seolah mengatakan 'kau sedang apa, bodoh?'
"Aku datang untuk membicarakan sesuatu dengan Hokage terkait satu masalah di Iwagakure." Jawab Gaara dengan wajah datarnya.
"Oh,, lalu… sejak kapan kalian di sini?"
"Cukup lama untuk melihat tingkah konyolmu barusan." Jawab Kankurou santai.
"Hehe.." Naruto tertawa hambar, dia meraih kamera dan botol air dari bunshinnya lalu membentuk segel untuk menghilangkan kedua bunshin itu.
Poof poof..
"Hinata lagi?" pertanyaan Shika membuat Naruto mengangguk, "Dia ingin apa sampai kau bertingkah konyol seperti tadi?"
"Dia ingin aku mengambil foto kucing yang sedang mandi."
.
.
Krik krik krik… hening.
Tatapan aneh Gaara dan Kankurou tidak membantu. Dan tatapan bosan Shika semakin memperburuk.
"Shikamaru, bisakah kau tolong aku? Kau kan punya jurus bayangan. Tolong tangkap kucing itu ttebayo."
"Lalu? Kau akan menyiram mereka dan mengambil fotonya?" Naruto mengangguk dan membuat Shikamaru berdecak malas. "Tidak mau!"
"Eeehh,, ayolah Shika. Hinata bisa merajuk kalau aku tidak berhasil. Aku sudah berusaha setengah jam tapi tidak ada hasil. Ayolah ttebayo.."
"Kenapa," pertanyaan Gaara membuat mereka menoleh, "Kenapa dia menginginkan hal aneh seperti itu?"
"Err.. itu.."
"Hinata-san sedang hamil.. yaa kau taulah bagaimana Temari dulu." Shikamaru menjawab dan memotong perkataan Naruto. Membuat Gaara mengangguk mengerti, dia jelas masih ingat bagaimana Temari saat sedang mengandung Shikadai.
"Shika, mau ya?"
"Tidak!"
"Kenapa tidak ke tempat penitipan hewan?" lagi –suara dari Gaara berhasil mengambil perhatian.
"Tempat penitipan hewan?"
Gaara mengangguk akan pertanyaan Naruto, "Disana biasanya banyak orang menitipkan hewan peliharaan mereka jika mereka sibuk. Dan di sana hewan mereka akan di rawat bukan, dari memberikan makanan sampai di mandikan."
"Benar, kenapa kau tidak ke sana saja?" ucapan Shikamaru yang setuju perkataan Gaara membuat Naruto mengangguk paham… kalau dia bodoh.
"hehehe,,, aku tidak kepikiran sampai ke sana.." yang lain hanya bisa tersenyum melihat tingkah Naruto. Terutama Shikamaru yang sudah hafal dengan sahabatnya itu. Naruto cenderung akan panik dan lebih sulit berpikir jika sedang melakukan apa yang Hinata inginkan di saat ngidam. Shikamaru tersenyum miris mengingat kalau dia tidak jauh beda saat Temari hamil dulu.
"Baiklah, aku akan ke sana dulu ya. Arigatou Gaara.."
Naruto langsung melangkah pergi tapi..
"Naruto." Panggilan Gaara menghentikan langkahnya dan membuatnya menoleh. "Boleh aku ikut?"
Hah,,? Naruto, Kankurou dan Shikamaru cengok mendengar permintaan sang Kazakage itu.
"Gaara? Kita harus menemui Hokage sekarang." ucap Kankurou mengingatkan.
Gaara menoleh padanya dan berkata dengan santai, "Tapi aku juga mau melihat kucing yang sedang mandi," yang lain tambah cengok melihat ekspresi Gaara yang benar-benar seperti orang penasaran. "Kau saja yang ke tempat Hokage, atau nanti saja kita ke sana setelah aku menemani Naruto ke tempat penitipan hewan itu."
"Gaara, kau yakin? Kenapa kau ingin melihat hal itu?"
Gaara menggeleng, "Entahlah, tiba-tiba aku ingin melihatnya juga."
.
.
Tap tap tap..Langkah itu berlari cepat, tangannya memegang sebungkus buah yang berhasil dia dapatkan setelah dua jam mencari. Tepat saat melihat wanita berambut indigo yang sedang berdiri di depan toko buah, dia tersenyum dan menghampiri wanita itu.
"Hinata-neechan."
Hinata menoleh dan tersenyum manis melihat murid dan rival suaminya yang baru saja datang. "Konohamaru, apa kau mendapakannya?"
Konohamaru mengangguk senang dan lega karena berhasil mendapatkan apa yang di minta Hinata tadi. Dia menyodorkan tangannya untuk memberikan sesuatu yang dia bawa tadi. "Ini, aku mendapatkannya di desa terakhir dekat perbatasan Konoha."
Hinata meraih bungkusan itu dengan senang, mengeluarkan isinya yang ternyata anggur dan memetik satu buahnya. Lalu mengelus-eluskannya di perutnya. Membuat Konohamaru memiringkan kepalanya bingung.
"Sudah, terima kasih Konohamaru-kun." Hinata memasukan kembali anggur itu dan tersenyum pada pemuda di depannya yang menatapnya terdiam.
"Tidak di makan?" tanyanya, dan Hinata menggeleng, "Bukankah Neechan ngidam buah itu?"
Hinata tersenyum, "Kan ngidamnya cuma di elus-elus aja ke perut."
Twich.. perempatan muncul di dahi Konohamaru. Jadi, usahanya untuk berlari dan mencari buah anggur yang kebetulan kosong di desanya itu bahkan sampai ke desa terakhir dekat perbatasan Konoha dan menghabiskan waktu dua jam itu… sia-sia?
Oke, tidak sia-sia juga karena keinginan Hinata terpenuhi dan itu membuat wanita itu senang, tapi… kalau buah itu hanya 'digunakan' seperti 'tadi', rasanya…
"Hah," Konohamaru mendesah lelah karena sudah terbiasa dengan keinginan Hinata yang aneh-aneh sejak dua bulan lalu. Ya sudahlah, yang penting dia sudah melakukan yang terbaik dan sesuai dengan keinginan Hinata. "Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu ya Neechan?"
"Eh, boleh aku minta tolong lagi?"
Pemuda itu diam berpikir, lalu mengangguk. Toh dia senang karena akan menambah keponakan dari guru merangkap rivalnya itu. "Apa?"
"Aku ingin mengundang Ino, Sakura, dan Temari untuk makan malam di rumahku nanti malam. Sekalian suami mereka juga. Apa kau bisa menyampaikannya pada mereka?"
Oh, itu tugas gampang. "Baiklah, serahkan saja padaku. Aku pergi dulu ya, Hinata-neechan."
"Arigatou."
.
.
Malamnya, Hinata masih tersenyum menatap foto-foto kucing yang ada di tangannya. Melihat itu, Naruto merasa perjuangannya tidak sia-sia. Hinata terlihat sangat senang dan itu cukup baginya. Yah, walau sedikit kejadian terjadi di tempat penitipan hewan itu."Naruto-kun, kenapa ada foto Gaara juga?"
Nah itu dia, tadi saat melihat para kucing di mandikan dan saat Naruto mulai mengambil gambar, Gaara tiba-tiba saja berkata 'Naruto, bisa kau mengambil fotoku juga?'
Lagi-lagi yang lainnya hanya bisa cengok melihat Gaara berfoto dengan menggendong kucing-kucing yang ada disana. Dan yah, walaupun merasa aneh, Naruto tetap mengambil fotonya.
"Itu.. tadi Gaara terlihat suka dengan kucingnya dan juga ingin berfoto. Tidak apa kan?"
"Oh," Hinata mengangguk pelan, "Tidak apa, lagipulan disini Gaara dan kucingnya terlihat sangat manis."
Kerutan muncul di dahi Naruto saat Hinata memuji Gaara sambil tersenyum senang. Apa maksudnya itu? dia... juga bisa manis kok, batinnya.
"Hinata-chan," mencoba mengalihkan perhatian sang istri, Naruto mengambil foto-foto itu perlahan dan memeluk tubuh Hinata. "Kau sangat cantik." Ucapnya lembut dan mengecup pipi Hinata, membuat wanita itu merona dan tersenyum malu-malu.
Ah, Naruto sangat suka ekspresi istrinya yang itu. Dia meraih dagu Hinata memberi kecupan kecil di bibir menggoda sang istri.
Ting tong..
Bel yang berbunyi menghentikan kegiatannya. Tapi sepertinya tidak bagi Hinata. Saat Naruto hendak beranjak membuka pintu, Hinata meraih leher Naruto dan memberikan ciuman dalam pada suaminya. Sukses membuat Naruto sedikit terkejut lalu tersenyum. Menyadari sifat Hinata yang memang suka berubah-ubah sekarang.
.
.
Ceklek..Setelah lima menit menunggu, akhirnya para tamu itu menghembus nafas lelah karena pintu itu terbuka juga.
Naruto berkedip bingung melihat SaiIno, SasuSaku, ShikaTema bahkan Gaara dan Kankurou berdiri di depan pintu rumahnya. "Hai minna," sapanya datar, "Ada apa?"
"Maksudmu apa, tentu saja kami datang karena undangan kalian." Jawab Sakura cepat.
Dan Naruto merasa tidak membuat acara apa-apa malam itu. "Mengundang? Siapa? Acara apa?"
"Tadi Konohamaru bilang kalau Hinata mengundang kami untuk makan malam di sini."
"Oh," Naruto masih mencerna kalimat itu dengan baik, selanjutnya dia mempersilahkan para tamunya masuk. Sementara dia langsung menghampiri istrinya di dapur.
.
.
Hinata mengundang para sahabatnya untuk makan malam di kediaman Uzumaki. Itulah bentuk undangan tersirat yang di sampaikan Konohamaru. Para tamu itu yakin tidak salah dengar saat mendengar kata 'makan malam'.Masalahnya, apa mungkin yang tersaji di atas meja cocok untuk menu makan malam di saat perut mereka kosong?
Tatapan cengok para tamu itu yang semula melihat tak percaya pada menu makan malam beralih kepada Hinata yang terlihat antusias dengan makanan yang dia sajikan. Merasa kalau Hinata tidak akan mengerti tatapan mereka, maka para tamu itu mengalihkan tatapan kepada Naruto yang sama cengoknya.
Merasa di tatap, Naruto nyengir lebar sambil menggaruk kepalanya. Dia menghadap kearah istrinya lalu berbicara dengan lembut, "Hinata-chan?"
"Hm?" wanita Uzumaki itu menoleh cepat dengan wajah riangnya.
"Err… kita… makan apa malam ini?"
"Ini," Hinata menunjuk semua makanan yang telah tersaji. "Buah dan kuah kecap pedas. Aku dengar sih namanya rujak."
Naruto berkedip dan menghembus nafas pelan, mencoba bicara lagi. "Tapi buah itu asam kan?" Hinata mengangguk, "Bukankah akan sakit perut kalau makan yang asam di malam hari di saat perut kosong?"
"Oh ya?" Hinata memiringkan kepalanya. Dia melihat para tamunya satu persatu, dan mendapati yang lainnya tersenyum seolah mendukung perkataan Naruto. Mereka butuh makanan pokok, bukan buah asam yang di sebut rujak. "Tapi aku tidak memasak yang lain. Jadi makan ini saja, dan aku sudah membuat banyak," Hinata tersenyum miring, "Harus dimakan dan di habiskan."
Ucapan memaksa itu membuat yang lain menghembus nafas berjamaah, hafal dengan sifat pemaksa Hinata yang muncul ketika sedang masa hamil. Dan kalau tidak di turuti, dia tidak akan segan menangis atau bahkan mengamuk.
Yang lain hanya saling pandang saat Hinata sudah antusias mengambil buah dan mencolekkannya ke kuah kecap pedas yang ada di depannya. Matanya memejam karena rasa buah itu yang asam. Bisa di bayangkan oleh Ino, Sakura dan Temari saat mereka juga suka makanan seperti itu dulu, tapi kalau untuk sekarang… rasanya kurang pas untuk jadi menu makan malam.
"Ayo di makan," Hinata menawarkan dan yang lain hanya mengangguk pelan. Ekspresinya berubah saat menyadari para tamunya menolak untuk makan, wajahnya menekuk dan genangan air mata mulai muncul, membuat para wanita lain kelabakan sementara yang pria mendesah kesal.
"Ini enak, cobalah!"
Sebaris kalimat dari Gaara yang memakan rujak itu seperti tanpa masalah membuat yang lain terdiam. Beda dengan Hinata yang justru tersenyum lebar. "Enak?" tanyanya dan Gaara mengangguk sambil terus makan dengan santai, "Kalau begitu makan yang banyak ya."
Hinata menyodorkan sepiring buah lagi ke hadapan Gaara. Dan dia beralih memandang yang lain. "Teman-temanku yang baik," suara Hinata mulai terasa mencekam, "Makan rujaknya atau…"
Temari, Sakura dan Ino menelan ludah dan menyerah, "Baiklah." Ucap mereka pasrah. Meraih piring di hadapan mereka masing-masing dan memaksa suami mereka untuk melakukan keinginan Hinata.
Ino memberikan suapan kepada Sai yang di sambut lelaki pucat itu dengan senyuman tapi tetap menolak suapan Ino.
Sakura menyodorkan piring ke hadapan Sasuke yang di sambut lelaki Uchiha itu dengan delikan.
Temari pun melakukan hal yang sama dan di sambut dengusan Shikamaru yang membuang muka.
Setelah satu menit, mereka memakan itu bersamaan dan ekspresi yang berbeda muncul dari setiap wajah. Termasuk Naruto dan Kankurou. Sementara Hinata dan Gaara, mereka makan dengan lahap.
.
.
Lima belas menit kemudian, para tamu mulai meringis karena sakit perut. Terang saja. Buah yang di pilih Hinata adalah buah yang sedang sangat asam dan kecap pedasnya, mungkin memakai sekilo cabe rawit yang sangat pedas. Wajar jika mereka sakit perut.Tapi, menghormati tuan rumah. Tidak mungkin mereka langsung pulang setelah makan. Dari itulah mereka masih duduk di ruang tamu kediaman Uzumaki itu, menunggu Hinata yang sedang ke kamar mengambil sesuatu. Wanita hamil itu meminta mereka menunggu.
"Gaara," pria berambut merah itu menoleh saat kakak perempuannya memanggil. "Apa kau tidak sakit perut? Kau makan banyak sekali tadi."
Gaara menggeleng, "Tidak, rujak itu sangat enak. Mungkin besok aku mau lagi."
Ekspresi melongo dari para tamu kecuali Sasuke, membuat Gaara mengalihkan tatapannya kearah lain.
"Nah," suara riang Hinata yang baru kembali membuat mereka tersentak dan mengalihkan tatapan mereka. Melihat Hinata yang duduk di samping Naruto sambil membuka album. "Aku ada hadiah untuk kalian." Ucapnya masih sambil mencari sesuatu di dalam album foto.
"Ini dia," dia mengambil beberapa foto dan membagikannya. "Ini untuk Sakura-chan… ini untuk Temari-san… dan ini untuk Ino-chan.."
Ketiga wanita itu mengambil foto yang di sodorkan dan melihatnya, sedetik kemudian… "Hahaha…" …mereka tertawa antara lucu dan menahan sakit perut. Membuat suami mereka mengerutkan alis bingung.
Sadar jika suami mereka penasaran, ketiga wanita itu memperlihatkan foto yang mereka pegang.
Dan Sasuke langsung memejamkan matanya menahan diri,
Shikamaru berdecak dan berusaha merebut foto itu dari Temari tapi tidak berhasil,
sementara Sai hanya tersenyum miris kepada istrinya dengan tangan yang juga berusaha menggapai foto itu.
Foto Shikamaru, Sasuke dan Sai yang sedang memakai bando telinga kucing berwarna pink, berekspresi kesal yang justru membuat mereka terlihat manis di foto itu. Foto yang Hinata koleksi saat dia sedang hamil Boruto dulu.
Bahkan bando yang mirip juga ada di tangan Hinata sekarang, bando yang mirip tapi bukan bandonya yang dulu. Hinata sempat menangis seharian saat Sasuke mengembalikan bando yang berbeda padanya karena bandonya yang asli sudah patah belah tiga tiga tahun yang lalu. Membuat Naruto menyalahkan Sasuke seharian pula akan hal itu. Alhasil, pria Uchiha itu stress sampai membatalkan pertemuannya dengan Haruno Kizashi.
"Terima kasih Hinata-chan, aku akan menyimpannya dengan baik." Ucap Sakura dengan riangnya.
"Itu harus segera di lenyapkan, bukan di simpan." Desis Sasuke pelan, jelas dia tidak ingin sampai terdengar wanita Uzumaki yang sedang dalam masa 'gawat' itu.
"Benar Sakura. Aku akan menunjukkannya kepada Shikadai kalau dia sudah besar. Jadi dia tahu kalau Ayahnya sangat manis." Temari menambahkan.
"Tentu saja aku manis. Aku juga bisa jadi 'anak baik' jika kau sampai menyimpan foto itu." jawab Shika dengan nada setengah mengancam. Oh Shika, seperti kau bisa menang saja dari Temari.
Naruto dan Kankurou terkekeh mendengar dan melihat teman-temannya. Sementara Gaara hanya diam tanpa suara. Hinata yang melihat Gaara diam pun tersenyum tipis sambil mempersiapkan kamera dan bando yang tadi dia bawa.
"Gaara-kun.."
Set
Semua kepala dan mata beralih ke Hinata saat panggilan dengan nada 'awas' itu kembali terdengar. Tapi sepertinya ketakutan yang lain tidak di rasakan oleh Gaara, sehingga dia berdeham pelan sebagai jawaban.
"Apa kau… juga mau di foto?" ucap Hinata sambil mengangkat kamera dan bando.
Naruto menelan ludah. Hei, tidak masalah jika yang lain. Tapi Gaara itu seorang Kazekage, walau status mereka teman tetap saja itu bukan hal yang bagus.
"Ng Hi-Hinata-chan…" Naruto menyela cepat. "Jangan Gaara ya, dia kan Kazekage."
Hinata berkedip dua kali, "Memang kenapa kalau dia Kazekage, aku kan cuma menawarkan foto."
Yang lain menggelengkan kepala melihat Hinata yang benar-benar tidak mengenal sekitarnya saat sedang ngidam. Harus di turuti atau jerit tangis akan terdengar.
"Hinata, yang lain saja ya.." Naruto masih membujuk, tapi Hinata menolak dan tetap menyodorkan bando di tangannya pada Gaara walau terus di halangi Naruto. "Sayang, dengar dulu…"
"Baiklah."
"Eh?"
Seolah berulang, hal yang tak terduga terus terjadi. Gaara meraih bando itu dan segera memakainya. Membuat Sakura dan Ino menggigit bibir menahan teriakan akan makhluk manis di depan mereka. Kalau dulu mereka langsung teriak saat melihat Sasuke memakai bando itu karena mereka masih single, tapi sekarang, jelas mereka sadar kalau suami mereka sedang ada di samping mereka.
"Kyaaa… Gaara-kun kereeennn…" justru Hinata yang berteriak antusias dan segera mengangkat kameranya, membuat Naruto cemberut karena merasa kalau dari tadi Hinata terlalu over terhadap Gaara. Memuji Gaara, menyodorkan buah lebih banyak ke Gaara, dan yang jelas, Naruto tidak suka jika Hinata lebih perhatian kearah Gaara.
.
.
Naruto menghembus nafas lega setelah semua tamunya pulang. Dia membaringkan dirinya di ranjang sambil menunggu Hinata yang sedang berada di kamar mandi. Pria itu tersenyum saat melihat semua foto yang Hinata kumpulkan saat dia hamil Boruto dulu. Entah foto seperti apa yang akan di koleksi Hinata di kehamilannya kali ini.Memikirkan hal itu, membuat Naruto merindukan putranya, padahal baru saja kemarin Boruto pergi dengan Hanabi. Dia menaruh album itu di nakas samping tempat tidurnya lalu memikirkan seperti apa anaknya yang kedua ini. Dia juga memikirkan kenapa sifat Hinata bisa berubah 180 derajat setiap kali dia mengandung.
Dan yang tidak ketinggalan, pria itu juga memikirkan kelakuan Gaara hari ini. Perasaannya saja atau Gaara juga terlihat seperti ngidam? Kazekage itu seolah juga menginginkan apapun yang jadi keinginan Hinata.
"Naruto-kun?" panggilan Hinata membuat pemikirannya terputus. Naruto menoleh dan tersenyum melihat Hinata yang membaringkan diri di sampingnya. "Kau memikirkan apa?"
Naruto menggeleng dan menarik Hinata ke pelukannya. Ah, Naruto sungguh mencintai wanita itu. "Aku hanya memikirkan bagaimana anak kita nanti. Dia akan mirip denganmu atau denganku?"
Hinata tersenyum dan membalas pelukan suaminya. "Karena Boruto sudah sangat mirip denganmu, bagaimana kalau anak kedua kita mirip denganku?"
"Begitu? Tapi aku juga mau dia mirip denganku ttebayo!"
"Baiklah," Hinata mendongak dan menatap wajah sang suami yang juga menatapnya. Tangannya terangkat membelai mata Naruto, "Matamu indah, aku suka jika anak kita memiliki mata yang sama sepertimu."
"Matamu juga indah, Hime."
Hinata tersenyum dan mengecup pipi Naruto singkat. "Tapi aku ingin anak kita punya mata biru seperti ini.." ucap Hinata tetap bertahan dengan keinginannya.
"Baiklah. Matanya biru." Putus Naruto mengalah.
"Hm.." wanita itu berpikir lagi. "Aku ingin dia juga memiliki tanda lahir yang sama sepertimu." Hinata mengelus garis tiga yang ada di pipi Naruto. "Menurutku akan tambah manis."
Naruto mengangguk, "Baiklah, mata biru dan tanda lahir di pipi." Putusnya lagi mengikuti keinginan Hinata.
"Rambut indigo." Seru Hinata selanjutnya. "Seperti rambutku.."
Naruto berkedip, mencoba membayangkan seperti apa anaknya nanti. Rambut indigo, mata biru dan tanda lahir di pipi. Itu akan benar-benar menunjukkan keturunan dari seorang Naruto dan Hinata. Pemikiran itu membuat Naruto tertawa senang.
"Ya, aku setuju. Akan jelas terlihat kalau dia adalah anak kita."
Wajah Hinata merona mendengar ucapan Naruto. Anak mereka, buah cinta mereka. Wanita itu mengangguk dan tersenyum lebar. Dia membalas pelukan suaminya saat pelukan itu semakin mengerat.
"Aku mencintaimu, Hinata."
"Aku juga mencintaimu, Naruto."
Senyum lebar terpampang di wajah Naruto. Dia mengangkat dagu istrinya dan mengecup lembut bibir itu. Dari tatapannya, Hinata tahu apa yang di inginkan suaminya, dan langsung bertindak lebih dulu untuk memulai.
.
.
Tuk tuk tuk…Jari telunjuk Naruto mengetuk meja makan dengan kesal. Wajahnya kusut sambil memandang Hinata yang makan ramen buatan Gaara dengan lahap.
Makan ramen? Buatan Gaara? Bukankah mereka tadi akan melakukan hal lain di tempat tidur?
Hal itulah yang masih tidak di percaya oleh Naruto. Tadi, saat baru lima menit kegiatan mereka, tiba-tiba saja bel rumah berbunyi, menimbulkan tanda tanya dan kekesalan bagi pria pirang itu.
Dan saat dia membuka pintu, Gaara berdiri di hadapannya dengan wajah datar sambil berkata, 'Aku tiba-tiba ingin menginap di sini.' Saat Naruto masih terdiam bingung, Hinata langsung dengan senang hati mempersilahkan Gaara masuk dan menunjukkan kamar tamu.
Tak cukup sampai di situ. Belum semenit mereka kembali ke kamar, tiba-tiba saja Hinata ingin minum susu dan hanya ingin susu buatan Gaara.
Terpaksa Naruto mengganggu Gaara dan meminta tolong, tanpa dua kali Gaara langsung mengangguk dan melakukannya. Dia tidak membuat segelas susu tapi dua gelas, satu untuk Hinata dan satu di minumnya sendiri. Membuat Naruto berpikir, apa Gaara memang selalu minum susu sebelum tidur?
Setelah meminum susu dan kembali ke kamar masing-masing, Hinata kembali merasa ingin makan ramen, buatan Gaara.
Dan di sinilah dia sekarang. Duduk di meja makan dengan wajah menekuk sambil memandang malas kearah dua manusia yang makan ramen dengan lahap di hadapannya. Dia yang sangat suka ramen saja tiba-tiba mual melihat makanan itu, tapi kenapa Hinata dan Gaara justru seperti orang kelaparan?
"Gaara, kau suka ramen?" tak tahan, akhirnya dia bertanya.
"Entahlah, tiba-tiba aku ingin memakannya."
Alis Naruto mengerut bingung akan jawaban itu. "Sebenarnya ada apa denganmu Gaara? Hari ini kau seperti wanita ngidam." Ucapnya ketus. Membuat Hinata dan Gaara menatapnya dan berhenti makan.
"Naruto-kun, kenapa kau berbicara begitu?"
"Memang benar, dia menginginkan semua hal yang kau inginkan. Seperti orang ngidam, padahal yang hamil bukan dia." Naruto tanpa sadar mengungkapkan kekesalannya yang entah kenapa sulit di tahan.
"Kau kelihatan kesal." Ucap Gaara menyimpulkan. "Apa kau tidak suka aku menginap di sini?"
"Bukan itu maksudku," Naruto menjawab cepat, dia menghela nafas menahan diri. "Aku… hanya heran.. kenapa kau… aneh?"
Gaara dan Hinata mengernyit bingung akan perkataan Naruto. Begitu pula pria pirang itu, dia juga bingung akan perkataannya sendiri.
"Sudahlah," ucapnya pelan, "Aku mau tidur."
Hinata menatap sendu suaminya, bingung kenapa Naruto jadi kesal. Meneguk minumannya satu kali, dia berdiri. "Baiklah, ayo kita tidur." Ajaknya dan Naruto ikut berdiri. "Kami duluan Gaara-kun."
Pria berambut merah itu hanya mengangguk dan melihat kepergian sahabatnya dengan wajah datar.
"Hari ini kau seperti wanita ngidam."
Gaara menunduk mengingat perkataan Naruto. Sesungguhnya dia sendiri tidak mengerti kenapa dia seperti itu. Dia hanya merasa menginginkan sesuatu dan harus terpenuhi. Bahkan tadi dia sempat berdebat dengan Kankurou yang tidak setuju dia menginap di rumah Uzumaki.Kata Kankurou, tidak baik menginap di rumah orang apalagi sampai mengganggu malam-malam. Mengabaikan semua itu, Gaara tetap nekat datang dan menginap di sana. Begitupun dengan susu dan ramen yang dia buat. Dia merasa seseorang membuatnya menginginkan semua itu. Tapi dia tidak tahu siapa?
.
.
Sudah setengah jam Hinata menatap punggung Naruto yang berbaring membelakanginya. Dia tahu Naruto belum tidur dan dia juga tidak bisa tidur. Dia merasa harus minta maaf walau tidak mengerti apa salahnya."Naruto-kun?"
"Tidurlah, ini sudah malam."
Hinata menggigit bibirnya mendengar jawaban dingin dari Naruto. "Naruto-kun.." dia memanggil lagi.
"…"
"…"
"Kenapa?" akhirnya Naruto berbalik dan bertanya. "Kau mau apa?"
Hinata ragu untuk menyebutkan keinginannya tapi… "Aku,… mau makan rujak lagi."
"Rujak?" Hinata mengangguk, "Kau ingin aku mengambilkannya atau harus membangunkan Gaara lagi?" ucapan menyindir itu membuat mata Hinata berkaca-kaca. Wanita itu menginginkan Gaara yang mengambilnya tapi dia takut Naruto akan marah.
Diamnya Hinata membuat Naruto menghembus nafas kasar, "Kau ingin aku membangunkan Gaara lagi kan?"
Hinata mengangguk pelan tanpa melihat, Naruto langsung mendudukan dirinya dan mengacak rambutnya kesal. "Demi Tuhan, kau kenapa Hinata? Kenapa dari tadi kau hanya ingin apapun yang di buat Gaara? Aku juga bisa membuatkan semua itu untukmu."
Hinata tersentak karena suara Naruto yang meninggi, dia ikut mendudukan dirinya dan menundukkan kepalanya. Membuat Naruto sedikit geram karena hal itu. Selama pernikahan mereka, dia tidak pernah merasa sekesal itu pada Hinata.
"Kenapa kau diam? Apa kau… dan Gaara…"
Hinata mendongak dan menatap Naruto yang memutus perkataannya, air mata itu mengalir saat melihat kecurigaan di mata safir Naruto. "Apa maksudmu Naruto-kun? Kau menuduhku selingkuh?"
Naruto tersentak akan perkataan Hinata. Tidak, bukan itu maksudnya. "Hina—"
"Naruto-kun jahat."
Hinata langsung berdiri dan keluar dari kamar.
"Hinata." Menghela nafas, Naruto segera mengejar belahan jiwanya. Kenapa semua jadi rumit?
.
.
"Hinata-chan..""Hiks… hiks…"
Naruto duduk berlutut di hadapan Hinata yang duduk di sofa ruang keluarga. Dia masih membujuk sang istri agar mau memaafkannya. Dia menyesal telah lepas kendali dan marah-marah seperti tadi.
"Hinata-chan, aku minta maaf. Aku menyesal. Maaf sayang.." dia menggenggam erat tangan Hinata. Wanita itu menolak untuk menatapnya dan lebih memilih menundukkan kepalanya. "Sayang…"
"Naru hiks.. Naruto-kun jahat… hiks… Naruto-kun menuduhku."
"Tidak!" Naruto menangkup pipi istrinya, membuat wanita itu menatapnya. "Aku tidak pernah berpikiran seperti itu, maafkan aku. Aku hanya merasa… sedikit…" dia harus mengatakan apa? "Itu… aku hanya merasa kalau aku bisa melakukan apa yang kau inginkan. Tidak perlu mengganggu Gaara."
Hinata menghentikan tangisnya dan menatap Naruto dengan wajah cemberut. "Aku minta maaf, Hinata. Aku menyesal, maafkan aku."
Tangan tan itu mengerak mengusap pipi istrinya yang basah. Mengecup hangat kening Hinata sebagai tanda permintaan maaf yang tulus.
"Maaf ya?"
"A-aku maafkan," ucap Hinata pelan sambil menatap suaminya, "Tapi ada syaratnya."
Naruto tersenyum, "Apa? apa syaratnya? Kau boleh meminta apa saja, sayang."
"Cium aku."
.
"Hah?" Naruto cengok mendengar permintaan itu, dia tidak salah dengarkan?
"Cium aku dulu, baru aku maafkan." Hinata menunjuk bibirnya dengan telunjuk, "Di sini.." lanjutnya pelan.
1… 2… 3…
Naruto tersenyum lebar setelah mencerna keinginan istrinya. Dia berdiri dan membawa Hinata ke dalam gendongannya, membuat wanita itu terpekik.
Naruto menyeringai dan berbisik, "Di kamar saja, sekalian kita lanjutnya yang tadi."
Wajah Hinata memerah mendengar itu, dia mengeratkan pegangannya saat Naruto mulai melangkah kembali ke kamar.
Blam… Naruto tidak akan membiarkan ada yang mengganggunya lagi.
Lima menit kemudian, Gaara keluar dari kamarnya dan menatap sekeliling rumah. Selanjutnya dia melangkah ke dapur untuk mencari sesuatu yang ingin dia makan.
Rujak.
lucu ih, imajinasinya luar biasa sukaaaa ��
ReplyDelete