Saturday, 29 October 2016

Our Bolt

Jika beranggapan dia tidak menyukaimu, itu salah. Jika berpikir dia hanya melakukan tugasnya sebagai rasa tanggung jawab, kau salah.
Apa pun itu.. ia melakukannya dengan penuh cinta.
Dia, mencintaimu dengan tulus ...
. . . .

Keringat dingin bercucuran di pelipis, enggan untuk menyeka karena rasa yang tidak enak mendorong perutnya untuk mengeluarkan sesuatu.
Berulang kali berlari menuju tempat yang sama untuk mengeluarkan makan siang yang sudah sejam lalu ia santap.
Perasaan tidak nyaman itu terus mengganggunya seminggu ini. Bukan hanya itu, perasaan resah dan khawatir selalu menghantuinya.
Tanggal ini, seharusnya tanggal merahnya, bukan? tapi ...
"Hinata, apa kau sakit?" teman perempuan yang kebetulan bertamu di apartment-nya tampak bertanya-tanya karena sedari tadi Hinata terus kembali ke kamar mandi.
Hinata terdiam, ia sadar jika keadaannya saat ini bukan seperti orang yang sehat. Dia sakit, tubuhnya sakit. Namun bukan itu yang membuatnya terdiam. Sakit yang mengganggunya tampak seperti ...
"Hinata, ayo kita ke rumah sakit dan periksakan dirimu."
Gadis berambut merah muda itu bergegas berdiri lalu meraih lengan Hinata dengan lembut menuntunnya untuk ikut berdiri, namun Hinata menahannya, ia mendongak menatap Sakura dengan penuh arti.
"Hinata?" Sakura menerawang tatapan mata Hinata yang berbeda dari biasanya. Gadis berambut indigo itu tampak putus asa.
"Sakura-san, aku takut," lirihnya diikuti dengan air mata yang merembes dari kelopak mata.
Sakura mengerutkan kening, menatap sang sahabat dengan penuh tanya. Kenapa Hinata menangis? Sakit apa yang dideritanya?
"Hinata, ada apa denganmu?" hanya kata itu yang mampu keluar dari mulut Sakura. Ia menyeka air mata Hinata seraya kembali duduk di sebelah Hinata lalu memeluk wanita rapuh itu.
"Sakura-san." Hinata kembali terisak saat Sakura memeluknya. Perasaan takut, resah namun membuatnya bahagia bercampur menjadi satu lalu tumpah dalam deraian air mata.
"A-aku, sepertinya aku hamil ..." lirihnya mencoba mengatakannya dengan hati-hati seolah menjaga kepingan hatinya agar tak luluh-lantah dengan takdir yang harus ia terima dan juga menjaga sahabatnya agar tidak terlalu shock dengan kabar itu.
Namun yang terjadi sebaliknya. Telinga Sakura terlalu sensitif jika mengenai hubungan antara laki-laki dan wanita. Wanita yang baru memasuki perguruan tinggi itu tersentak, melepas pelukannya lalu mengguncang bahu Hinata.
"Hinata, apa kau yakin?!" dengan suara tertahan Sakura mencoba menekan kekagetannya.
Hinata mengagguk, memamparkan kenyataan bahwa tujuh bulan lagi ia akan memiliki bayi—sosok yang akan ia jaga dengan penuh cinta. Karena sudah dua bulan ini Hinata tidak mendapatkan tamu bulanannya setelah kejadian malam itu ...
Yang menjadi masalah saat ini adalah sang ayah. Sakura bertanya-tanya siapa yang sudah berani menyentuh Hinata. selama ini Hinata selalu bersikap baik, bahkan tidak pernah sekali pun tercium kisah asmaranya dengan pria mana pun. Lalu siapa?
"Siapa? Katakan padaku, Hinata. Siapa pria itu?"
Hinata tersentak. Muncul sosok laki-laki dalam benaknya, seseorang yang harus bertanggung jawab.
Lekukan wajah yang sangat ia kenal, mata bulat yang selalu memancarkan keceriaan dengan senyuman lebar yang mampu menggetarkan hatinya. Sosok itu benar-benar tergambar jelas di hatinya. Ayah dari anaknya—pria yang ia cintai.
"Tapi itu kecelakaan ..." Hinata menunduk, ia benar-benar merasa bersalah sudah minum teralu banyak saat pesta ulang tahun salah satu temannya dan berakhir dengan bangun di tempat yang tidak seharusnya.
"Apapun itu, ia harus bertanggung jawab. Katakan Hinata, katakan siapa dia?"
"Ini bukan salahnya, dia pria yang baik, di-dia—"
"Hinata, apapun alasannya, dia berhak tahu bahwa kau sudah mengandung anaknya dan dia harus bertanggung jawab." Sakura mendesak Hinata.
Terdiam cukup lama, Hinata mempersiapkan diri untuk menyebut nama itu. Nama yang sudah lama terukir dalam hatinya dan tak menyangka akan mengatakan bahwa dia adalah ayah dari calon anaknya.
Hinata meneguk ludah, kedua matanya ia tutup rapat, menahan napas seraya membuka mulut untuk mengatakan sebuah nama.
"Na-Na-Naruto-kun ..."

Monday, 24 October 2016

Shattered Ties *englishlanguage

Chapter 1: The Incoming Storm
The Incoming Storm
Hello and welcome to another one of my stories. As always, glad to have you here. I've had an idea for this story circulating around my brain for quite a while now but never got around to writing it. But I believe now is the time!
As with my other stories, this is AU. It doesn't follow canon or the established ninja world history. The relationship between Naruto and Hinata as well as the history of the ninja world is different in this story so as to fit the scenario I've got going here. In any case, I won't babble on any longer. I'll just let the first chapter speak for itself in introducing the story. Therefore, OFF WE GO!

Boruto Namikaze, a 7 year old boy was currently dashing through the bustling streets of the village at full speed. Classes had just ended and there was the weekend to look forward to. As such he energetically made his way through the shopping district until eventually he reached a small bakery amidst the plethora of stores. The sign above read "Himawari Bakery" complete with a sunflower design motif and an assortment of beautifully baked products on display below the front counter, the delicious aroma of which filled the air in the vicinity.
Rather than taking the backdoor Boruto jumped right over the counter and peaked through the door to the back of the store, announcing his presence to his mother. "Kaa-chan, I'm back."
Hinata, now 27 years of age looked over to her son and gave him one of her gentle smiles. "Welcome back! Can you take the counter for a bit? I'm almost done with this special order, so if there's a customer asking for a birthday cake, tell them I'm almost done."
"Sure, leave it to me." Boruto gave a quick reply before going over to deal with the stream customers currently outside.
Hinata ran the bakery by herself and given that she worked so hard to make ends meet for the two of them, Boruto helped out his mother after school or whenever he was free. It was a small business but with Hinata's baking prowess the place was quite popular amongst the villagers.
As Boruto finished serving a number of customers, a middle-aged woman who had ordered the birthday cake arrived at the store.
"Boruto-chan, helping out your mother as usual I see. You're quite the diligent son as always." She complimented the young boy. "Could you ask your mother if she's done with the birthday cake I ordered?"
"Sure, give me a second." Boruto answered before peeking through the back door once again. "Kaa-chan, the lady who ordered the cake is here."
"Yes, bringing it over right now." Hinata gently picked up the box which housed the cake and carried it over to the counter. "Here it is – the birthday cake as ordered."
The lady looked through the transparent top of the box and was amazed by the exquisitely decorated cake. It even had the name of her daughter embroidered on top as though it was a form of fancy calligraphy. It was clear that Hinata had put a great deal of effort behind this one cake.
"This looks absolutely beautiful. As always, you never disappoint Hinata-san. I'm sure my daughter will be ecstatic to see this." The woman said to Hinata as she handed over the payment.
Hinata graciously accepted. "It was my pleasure to be able to make Chiharu-chan's birthday cake. Please give her my greetings. I know how it feels to see your child grow up right in front of you. Boruto here turned 7 not that long ago."
"I will of course and once again thank you for the great work. I better head home quickly, my family's waiting. Take care of yourselves." The woman waved goodbye to the two at the shop and took her leave.
"Your cakes are so popular. Even my classmates are always telling me how they love them so much. It's a little embarrassing sometimes but it makes me happy too. I know better than anyone else how great they taste." Boruto praised his mother once they were by themselves.
"Is that so? Well I did make a little bit extra for you while baking that last cake. Want to have some?"
Boruto enthusiastically nodded at the offer. Although he got to try out his mother's baking a lot, he could never get enough of it. As he enjoyed some of the leftover cake, his mother cleaned up the rest of the shop.
"Since it's weekend tomorrow we can close up shop a little early today. That way the two of us can do something fun together. What do you say?" Hinata suggested to her son.
"Really? I'll help you clean up then!" Boruto was elated to hear of the idea. Even if it wasn't anything special, just being able to spend time playing with his mom made him happy. As such, with his help the two were able to close up the shop in no time and set off towards home.
This village they resided in was located at the border between the Land of Fire and the Land of Lightning. It was a relatively small place that was mostly outside the influence of ninjas, who were barely ever seen around this isolated region as it was quite far away from the ninja villages – the heart of the shinobi homelands. Hinata and Boruto lived in a small house just outside of the village, a fifteen minute walk by foot. This was mainly because the place was much cheaper to live in as compared to within the village and Hinata didn't mind it given their financially strenuous situation. Even though it wasn't the biggest or most extravagant of abodes, it was perfect for the small family of mother and son.
As they walked through the shopping district, Boruto's eyes fell upon a particular item in display through the glass windows of a store. It was a toy plane, rather big in size as well, complete with a remote control that would allow one to fly it around. The price tag on it however was equally as hefty.
Boruto had wanted such a remote controlled aircraft for quite a long time and as such looked at his mother with hopeful eyes. "Kaa-chan, can I have that?"
Hinata had seen him eyeing that particular toy for quite some time now and she wholeheartedly wanted to fulfil her son's wish, but given the price it was simply outside of her capability to buy it for him at this point in time. "I'm sorry son, but we're in a tight spot this month."
"But you said that last month as well." Boruto argued his case, feeling deflated.
"Boruto, you know our situation don't you? Given our house, bills and the cost of running the shop we're barely making by each month with what mama earns. We don't have a lot of money to be spending on frivolous expenses."
"You always say that. I wish for once you'd just give me something I want without making all these excuses." Boruto made one last comment on the matter before starting to walk off disappointed.
Her son's words pained Hinata because she was the type of mother who wanted to give her son the world if he so wished, but the reality of their situation made such a thing difficult. She worked incredibly hard by herself to make ends meet and indiscriminate spending was not a luxury they could afford.
Despite the small quibble, once the two exited the village Boruto returned to acting as cheerful as always. This was one of his good traits, the fact that he never remained hung up on any particular issue. As the two walked along the riverbank a little distance away from the village, Boruto talked to his mother about what he learned at school.
"Guess what our teacher taught us about in school today – SHINOBI!" From the tone of his voice, he seemed truly intrigued about the subject.
At first Hinata was a little perturbed by the topic but she quickly regained her composure. "Is that so? What exactly did they teach you?"
"We learned about the history of shinobi, about how a select few people in history were born with the special ability to manipulate the energy produced within their bodies, leading to their descendants becoming the shinobi as known today. They apparently have superhuman strengths and can even control fire, water, wind, earth and lightning with their powers. THAT'S SO COOL! I wish I could do that." Boruto explained excitedly before his expression took a slightly dejected turn. "But our teacher also said that even though they have all these powers, shinobi are bad people. That they are always fighting and innocent people are hurt because of it. But I don't know about that. If I had all these amazing powers I would use it to protect people, not hurt them."
"Your teacher is right Boruto. There is an old saying about how power corrupts people. The shinobi are a prime example of such. It is because they are so powerful that they are constantly at war with one another. There is no peace amongst them, only a cycle of hatred and revenge that never ends. And within that cycle, many innocent lives are destroyed due to their unbridled capabilities. Believe me son, I know power may seem enticing at first, but ultimately it can quite easily lead to one's downfall. You're better off being far away from the influence of the shinobi." Hinata explained to her son in detail, hoping he would understand even a little of her message.
However, Boruto seemed a bit unconvinced. Being a kid and not having ever been in contact with shinobi meant that he didn't quite understand the harshness of the reality surrounding them. Rather he was more engulfed in the power fantasy as were most kids his age.
This was all about to change though when Hinata suddenly sensed something within the forest. Boruto was surprised by his mother's sudden grasp as she pulled him along with herself behind a tree.
"Boruto, remain quite." He heard his mother whisper in a deadly serious tone unlike her usual self. But what caught him truly off guard was when he looked at his mother's face only to see the veins around her eyes bulged unlike he had ever seen before. He wondered what was going on but did not want to defy his mother's order right now given how she had a radically different aura about her than he was used to.
The forest floor was littered deep with fallen leaves at this time of the year and with one quick thrust of her palm Hinata sent the leaves flying up into the air. She quickly ducked on to the ground with her son and the falling leaves covered their bodies entirely, hiding them from sight. Boruto could barely look outside from under their cover but he could clearly see his mother's index finger firmly placed over her lips, indicating him to remain absolutely quiet. At this point Boruto could tell the severity of the situation given his mother's demeanour and resolved to follow her every command. Both a feeling of anxiety and fear overtook him unlike ever before. It was almost as though his senses were going beyond what he thought possible. Soon they could hear the footsteps and the chatter of a group of four people who all appeared to be masked.
"Search the area thoroughly. We've received intelligence that the missing nin from eight years ago was spotted around here." The leader of the group said to the rest.
"But that information was from some really ambiguous source. I'm not sure if it's even reliable." His teammate argued his case.
"I think so too." Another one sounded his agreement. "We've been searching this area for the whole day and haven't found anything yet. I doubt she's around here."
"Why are we even searching for someone who went missing eight years ago? I get that she's important and all but after all these years what exactly is the point? She's probably defected to some other ninja village by now given her abilities. Why would she be living in the middle of nowhere like here?" The final member of the group added his concerns.
"Look, just stop all of your whining! This is the hokage's order and we need to follow as required." The leader ordered once again. "But I agree that we've been looking here for quite a while. We should move on to the next area. I'll contact the second search party to keep an eye out for anything we may have missed while they pass through here. Let's move!"
To Boruto's absolute shock he saw the four people jump up to several tree branches and leapt from tree to tree, disappearing within moments. Hinata on the other hand could see that another group was on its way here and as such did not want to wait around. Taking this chance to escape, she embraced her son tightly with both hands and dashed towards the river while carrying him.
"Hold your breath for as long as you can!" She advised her son and within moments the two were underwater.
It was a good thing that his mother had given him swimming lessons, so Boruto was pretty good at remaining underwater for long lengths of time. After swimming one very long stretch, Hinata resurfaced on the other side of the river with her son. The two gasped for air as they climbed out of the water and Hinata's eyes also returned to normal at this point.
"W-What's going on Kaa-chan?" Boruto asked his mother as soon as they had a moment to breathe.
"I'm sorry for all those sudden actions Boruto. We shouldn't waste any more time here. Plus you need to get changed before you catch a cold. I'll explain later so let's head home for now."
Given his mother's urgent tone Boruto couldn't do anything but nod. Thus the two walked at a fast pace for a few minutes until eventually they reached their house within the woods. Little did they know however that a shadow clone was hiding in the woods near their house in anticipation of their return. It disappeared instantly with a poof of smoke as soon as it caught first sight of them and before they could see it. Even though Hinata thought she had avoided the prying eyes of the shinobi search party, unbeknownst to her, one particular ninja – one with whom she had an extensive history was now aware of her presence. Even though she thought she had outrun her past, that past had now caught up to her once more.
Deep within the forest as the memories of his clone flowed back into him, a blonde haired man opened his cerulean blue eyes with a smile on his face.
"So you were here all along…Hinata. After all these years, I've finally found you!" He said while standing up. "And that boy with you, he must be our…"
A feeling unlike any other flowed through him for the very first time after seeing Boruto, and he wasted no time in making his next move. The skies were getting cloudy and a storm was coming. That storm's name was "Naruto Uzumaki".

There you have it - the first chapter and the introduction of our main characters. It's a relatively simple take on the ninja world without any tailed beasts or the complicated history, but the focus will be on Boruto finding out about his lineage and Hinata having to face up to her ninja past. As for Naruto, well you'll see over time the events that transpired that led to all of this. You can probably already take a few guesses at what may have happened. However I should mention that the point of this story is not to portray Naruto as the evil one.
In any case I would love to know your thoughts on the first chapter and if you liked the setting. That is all for now :)

Monday, 17 October 2016

Uzumaki Family (Chapter 8)

Chapter 8
"Tolong, jadikan aku muridmu."
"Kau bisa rasengan?"
"Uhm?"
"Kalau kau tidak bisa rasengan, maka kau tidak bisa menjadi muridku."
Saat itu, Boruto berteriak kencang kalau hal itu akan dia kuasai dengan mudah. Yah, Sasuke mengajukan syarat itu di saat Boruto ingin menjadi muridnya. Setelah bertahun-tahun berlalu, saat Boruto kembali datang padanya untuk melamar Sarada, syarat apa yang di berikan Sasuke?
.
.
Uzumaki Family
The Proposal By Rameen
Disclaimer By Masasi Kishimoto
[U. Naruto x H. Hinata] U. Bolt., U. Himawari
Romance dan Family
Note : OOC, Typo, Gaje, oneshot, BorutoSarada Pair
.
.
BorutoSarada, 16 tahun…
Pesta kembang api yang di adakan di desa Konoha mendapat sambutan meriah dari setiap warga. Tak terkecuali yang masih kecil ataupun yang sudah tua. Bahkan banyak muda-mudi yang juga ikut meramaikan acara itu dengan memanfaatkan keadaan untuk bisa pergi berkencan. Yah, walau kedua muda-mudi ini tidak bisa di sebut kencan.
Kedua muda-mudi yang terlihat tengah asik duduk sambil menatap langit di satu tempat yang lumayan sepi namun juga masih bisa untuk mendengar keramaian suasana pesta. Hanya ada mereka berdua setelah entah bagaimana ceritanya mereka melarikan diri dari YakiniQ dan memisahkan diri dari teman-teman mereka yang lain.
Senyum terlihat di wajah keduanya saat kembang api mulai di luncurkan, memberikan efek yang terang dan meriah di langit malam Konoha.
"Kupikir kau tidak tertarik dengan pesta ini?"
Boruto menoleh sekilas menatap Sarada yang membuka suara, lalu dia mengembalikan tatapannya ke langit dan mengangkat bahu. "Aku juga tidak terpikir jika harus ikut memeriahkan pesta rakyat seperti ini."
Yah, bahkan sampai tadi siang, Boruto tidak berpikir akan bagaimana melewatkan malam pesta ini. Tadi dia hanya kebetulan diajak Inojin untuk makan bersama di YakiniQ atas saran Choucho. Dan entah bagaimana sekarang dia malah hanya berdua dengan gadis Uchiha itu. Saat Sarada bertanya tentang pesta itu bulan lalu, Boruto sempat terpikir untuk mengungsi saja di kediaman Hyuuga dan berlatih. Tapi nyatanya…
"Setiap hal tidak selalu butuh rencana bukan?!" ucapnya kemudian.
Sarada menoleh, menatapnya dengan pandangan yang sama dari mereka kecil. Perlahan, gadis itu mendekat dan menatap lekat sapphire biru Boruto yang terlihat semakin terang dengan pantulan kembang api yang berwarna di langit malam.
Set
"Eh?" Boruto cukup kaget saat mendapati wajahnya dan wajah Sarada sudah sangat dekat. "Apa yang kau lakukan, Sarada?"
"Matamu," ucap Sarada dengan masih menatap lekat sapphire Boruto. "Tidak hanya lebih biru dari mata Hokage Ketujuh, tapi jadi lebih indah saat pantulan kembang api tergambar disana."
Blush
Oh shit! Boruto sedikit merutuk sifat Sarada yang suka sekali memperhatikan matanya. Dia saja sempat berpikir jika akan lebih menyenangkan jika matanya lavender seperti sang Ibu, tapi gadis Uchiha yang sepertinya terobsesi dengan Ayahnya itu terlihat selalu antusias dengan matanya.
Jarak mereka masih sangat dekat seiring waktu, hingga Boruto dapat merasakan nafas gadis itu. Sampai kapan Sarada mau menatapnya? Biasanya dia yang akan langsung menghindar, tapi posisinya sekarang tidak memungkinkan. Dia yang sedang duduk dan sedikit menahan tubuhnya ke belakang karena sikap gadis itu.
Ugh… menjauhlah! Batin Boruto.
Dan saat angin berhembus pelan… cuph ~
Keduanya terdiam saat Boruto mengecup singkat bibir Sarada tanpa sadar. Dan detik selanjutnya, jarak satu meter sudah ada diantara mereka. Dengan pandangan yang saling dialihkan kearah berlawanan, keduanya sama-sama kehilangan kata-kata.
.
.
Sementara di salah satu sudut pohon…
"Aku mendapatkan foto yang bagus." Seorang gadis berambut indigo tersenyum senang dengan kamera di tangannya.
"Hm, aku juga mendapat lukisan yang memuaskan." Jawab seorang pemuda berambut pirang di sampingnya sambil tersenyum.
.
.
5 tahun kemudian…
Waktu yang berlalu bagaikan roda yang tak bisa di hentikan. Terus berjalan dan berganti. Membuat banyak hal yang terjadi dan menciptakan banyak cerita yang akan selalu diingat walau juga akan ada yang terlupakan.
Dan salah satu kejadian yang terus bergulir, menciptakan kondisi yang sekarang tengah di hadapi Boruto. Dia tidak terlalu mengerti kenapa dia bisa begitu nekat berada disini. Dia, Uzumaki Boruto, dengan tanpa sengaja mengajukan lamaran kepada kekasihnya tiga hari yang lalu. Dia tidak berpikir panjang saat itu. Tidak menyangka jika sang kekasih akan menagih janji saat Ayah kekasihnya pulang ke desa.
Dan sekarang, disinilah ia, duduk di kediaman Uchiha dan berhadapan dengan satu-satunya Uchiha tertua yang tersisa.
"Kau bisa Kuchiyose?"
Boruto mengerjap, "Hah?" apa-apaan itu? Dia sadar jika statusnya mungkin masih menjadi murid dari orang di hadapannya ini. Hal yang biasa jika percakapan guru dan murid seputar tentang jutsu dan keahlian. Tapi… bukankah sekarang bukan waktu yang sesuai?
Ayolah, Boruto baru saja menyatakan lamaran untuk mempersunting Sarada, tapi Sasuke malah bertanya tentang jutsu?
Sasuke berdiri dari duduknya dan melangkah perig sambil berkata, "Jika kau tidak bisa Kuchiyose, kau tidak bisa menikahi Sarada."
Uh, oke… bolehkan Boruto sedikit bernostalgia sekarang?
.
.
"Haaahhh…"
Helaan nafas panjang terdengar dari anak Hokage Ketujuh itu. Sama sekali tidak percaya jika syarat yang di ajukan sang calon mertua masih menyangkut tentang jutsu, padahal kali ini urusannya tentang perasaan.
Dan masalahnya…
"Aku tidak pernah tertarik dengan jutsu itu," ucap Boruto pelan. "Kenapa harus Jutsu ITU…" suaranya tertekan diakhir kalimat. "Apa aku harus bertanya pada Ayah tentang perjanjian yang menjadi langkah awal jutsu Kochiyose itu?"
Lama dia terdiam dan berpikir. Dia bisa menanyakannya dengan Konohamaru, tapi mantan gurunya itu sedang menjalankan misi keluar desa sampai bulan depan. Karena tidak merasa ada pilihan lain, pemuda 21 tahun itu akhirnya melangkah pergi menuju satu-satunya tempat yang terpikirkan olehnya.
.
.
Tok tok tok..
"Masuk!"
Cklek
Naruto mendongak dan terdiam saat mendapati sang anak sulung berdiri di ambang pintu saat pintu ruangannya terbuka. Saat tatapan kedua sapphire biru itu bertemu beberapa saat, Naruto tahu jika ada yang ingin di sampaikan putranya itu.
Naruto menghela nafas dan meletakkan pena di tangannya, pandangannya kini seolah menampilkan sorot tanya tanpa suara. Melihat hal itu, Boruto hanya nyengir canggung dan menggaruk kepalanya.
Dulu, Ayahnya memang pernah bermaksud mengajarkan jutsu itu padanya. Tapi dia dengan cepat bilang tidak tertarik dan sama sekali tidak mendengarkan apa yang Ayahnya katakan. Sekarang, dia datang dan minta di ajari jutsu itu?
"Hah," Boruto menghela nafas saat tatapan Naruto tidak juga beralih darinya.
Dia memang selalu kalah jika adu tatap dengan sang Ayah… kan?
.
.
"Kuchiyose No Jutsu!"
"…"
"Kuchiyose No Jutsu!"
"…"
"Kuchiyose No Jutsu!"
Shhuuuuu…
Berulang kali segel dan nama jutsu itu terdengar, tapi hanya suara angin yang membalas. Tidak ada bunyi 'poof' yang mengiringi datangnya seekor hewan yang di panggil. Hanya ada kesunyian lapangan yang menemani.
"Kuchiyose No Jutsu!"
Lagi-lagi tidak ada yang berubah. Hah, Boruto menghela nafas dan terduduk. Awalnya dia memang disana bersama sang Ayah –walau hanya bunshin, tapi itupun tidak lama karena dia merasa percuma walaupun sang Ayah ada disana. Penjelasan Hokage Ketujuh itu terlalu berbelit dan semakin membuatnya bingung.
Dan setelah bunshin Ayahnya menghilang, dia berlatih sendirian seharian ini. Bahkan dia sudah tidak perduli berapa lama waktu yang dia lewati. Padahal baru sehari, tapi kenapa Boruto sudah merasa malas untuk berusaha?
"Apa ini akan berhasil?" tanyanya pada diri sendiri, "Dari awal aku sudah tidak memiliki keyakinan akan hal ini." lanjutnya dengan nada pelan.
"Boruto-niichan!"
Pemuda itu menoleh saat suara sang adik terdengar begitu riang seperti biasanya. Ah, adiknya yang sudah besar tampak semakin cantik dan manis. Semakin mirip dengan kecantikan Ibunya. Rambut indigo sang adik sudah panjang sepunggung dan sedikit bergelombang. Poninya rata sama seperti Ibunya. Dan kunciran sedikit diatas kepalanya semakin membuatnya tambah manis. Pantas saja teman-temannya sering mencari perhatian.
"Himawari, kenapa kau kesini?" tanyanya saat Himawari sudah berdiri di sampingnya. Membuat dia ikut berdiri.
"Apa lagi, Mama sudah tahu Niichan akan lupa waktu jika sudah berlatih." Jawabnya santai sambil mengarahkan telunjuknya keatas. Memberitahu sang kakak jika langit sudah mulai gelap karena waktu yang telah lama bergulir.
"Ah," Boruto mendesah kecil saat melihat warna langit itu. "Sudah hampir malam ya." Dia menatap adiknya dan tersenyum tipis. "Baiklah, ayo kita pulang."
Himawari mengangguk dan mereka berjalan beriringan menuju rumah mereka.
Boruto menoleh saat Himawari meraih tangannya, "Tangan Niichan sangat kotor dan sedikit lecet." Ucap adiknya sambil mengusap telapak tangan itu untuk membersihkan debu disana. Membuat Boruto hanya tersenyum menerima perhatian sang adik.
"Nah, selesai!" Himawari tersenyum lebar setelah merasa tangan Boruto bersih. "Niichan pasti bekerja keras hari ini. Aku sudah tahu tentang syarat itu dan aku yakin kalau Niichan bisa melakukannya dengan baik."
Pemuda pirang itu menatap Hima dalam diam, "Benarkah aku bisa melakukannya? Aku tidak terlalu suka hewan dan lebih suka bertarung dengan kekuatanku sendiri." Boruto menatap jalan, "Makanya aku tidak tertarik dengan jutsu itu, tapi Paman Sasuke… hah."
"Aku yakin Niichan bisa kok. Paman Sasuke pasti ingin Niichan bisa menguasai jurus-jurus yang bagus. Dengan begitu pasti Niichan akan lebih bisa dengan mudah melindungi Sarada-nee. Dan kalau sudah begitu, pasti Paman Sasuke mengijinkan Niichan untuk menikah dengan Sarada-nee."
"Tanpa jurus itu, aku yakin bisa melindungi Sarada dengan baik."
Himawari mencibir saat rasa percaya diri sang kakak tetap setinggi langit seperti biasa. "Terserah saja!" Himawari tidak ingin berdebat lebih. "Oh ya, Papa pernah bilang kalau jutsu Kuchiyose itu memerlukan cakra yang besar loh."
"Aku tahu, dan cakraku tidak sebesar Tousan."
"Siapa bilang. Niichan itu hebat dan kuat kok." Jawab Hima menyemangati, membuat Boruto lagi-lagi tersenyum. "Dan juga, cakra yang besar biasanya akan keluar saat seseorang terdesak. Begitu kata Papa."
Boruto mengerutkan keningnya. "Terdesak?" Himawari mengangguk.
"Seseorang yang terdesak biasanya akan melakukan semua hal sekuat tenaga dan terus berusaha sampai akhir hingga bisa mengeluarkan kekuatan yang besar. Dan saat dia sudah mengetahui satu jurus, dia akan mudah melakukan jurus itu."
"Jadi, aku hanya bisa melakukan Kuchiyose saat sedang bertarung dan kalah sehingga aku terdesak?"
"Errr… mungkin." Jawab Himawari ragu. Membuat Boruto menatapnya tak percaya. "Hehe.." gadis itu hanya nyengir lebar.
"Sudahlah. Aku akan tetap berusaha kok." Boruto berujar yakin. "Oh ya, malam ini Kaasan masak apa?"
"Ramen."
"Ramen lagi? Sepertinya Kaasan hanya sayang pada Tousan." Ujar Boruto lesu, membuat Himawari terkikik geli.
.
.
Hari yang cukup panas tidak membuat Boruto menyerah untuk terus berlatih. Dia terus berusaha sekalipun belum ada perkembangan yang berarti. Pernah sekali ia berhasil, tapi hanya mengeluarkan kecebong yang membuatnya geli sendiri. Setelah itu, dia kembali ketitik nol. Tidak ada hasil.
Bruk..
Boruto menjatuhkan dirinya di rerumputan. Mengistirahatkan tubuhnya sejenak dari latihan yang melelahkan. Tatapannya menyipit kearah langit. "Hah, sudah dua minggu." Ucapnya pelan menghitung waktu yang berlalu sejak pertama kali ia mencoba jurus itu.
Syut..
Boruto mengerjap saat wajah kekasihnya tiba-tiba sudah ada di atas wajahnya. Tersenyum dan menunjukkan bekal di tangannya. "Saatnya makan siang." Sarada berjalan dan duduk disamping Boruto yang masih berbaring. Dengan sedikit kekuatan, dia menarik paksa sang kekasih agar ikut duduk bersamanya. "Kau terlihat seperti Shikadai, suka sekali berbaring dan memandang langit."
"Hah, aku itu sedang beristirahat. Jangan samakan aku dengan dia."
Sarada hanya tersenyum dan menggeleng mendengar gerutuan Boruto. Dia membuka dan menyajikan makanan yang dia bawa. "Makanlah, selain istirahat, kau juga butuh makan untuk asupan tenaga."
Sulung Uzumaki itu tersenyum senang dengan perhatian sang kekasih dan segera memakan bekal itu. "Masakanmu semakin enak." Boruto menahan dirinya untuk tertawa saat ingat bagaimana rasa masakan Sarada dulu. "Tidak seperti masih genin dulu." Ucapnya sedikit tertawa.
Membuat Sarada menekuk wajahnya kesal. "Tidak usah mengingat hal itu." gerutunya semakin membuat Boruto tertawa. Tanpa diingatkanpun, Sarada tetap ingat kok bagaimana masakannya dulu saat masih genin, sampai Boruto dan Mitsuki lebih memilih kelaparan daripada memakan masakannya. Yah, jangan menyalahkannya. Salahkan saja Ibunya yang ternyata payah dalam urusan memasak. Untung saja setelah itu, Hinata mau mengajarinya.
"Ehm, Boruto."
"Hm?"
Boruto menggumam dengan mulut yang masih mengunyah. "Besok aku akan ada misi keluar desa," tatapan mereka bertemu, "Dan mungkin akan pulang tiga hari lagi. Tidak masalahkan?"
Pemuda pirang itu mengangguk mengerti, dia menelan makanannya dan meraih minum baru bicara. "Hati-hati saja." Jawabnya singkat dan meneguk minumannya.
Sarada menatapnya ragu dan menggenggam tangan Boruto, membuat pemuda pirang itu menoleh menatapnya. "Saat aku pulang, kuharap kau sudah ada kemajuan. Jangan menyerah, aku yakin kau bisa melakukannya, Boruto." Ujarnya sambil tersenyum. Senyum yang membuat Boruto ikut tersenyum dan balas menggenggam tangan putih kekasihnya.
"Aku akan berusaha." Jawabnya dan dengan cepat mengecup singkat bibir Sarada.
.
.
Naruto duduk di sofa ruang keluarga dengan Hinata yang bersandar didadanya. Kedua tangan mereka saling bertaut dan memainkan jari-jemari mereka. Layaknya permainan anak kecil namun diisi dengan keromantisan dan kemesraan yang mengiringi. Membuat keduanya tersenyum sambil terus berebut untuk saling menggenggam lebih erat tangan pasangannya.
"Kalian seperti anak kecil," satu ucapan itu membuat keduanya menoleh, mendapati wajah faceplam Boruto dan senyum riang Himawari. "Kalian sedang apa? Bermain adu jari?" ucapnya lagi sambil berjalan dan bergabung dengan kedua orang tuanya.
Naruto hanya menghela nafas dengan sedikit kesal akan tingkah putranya itu. Tanpa repot-repot melepaskan rangkulan tangannya pada sang istri, Naruto menyesap minumannya dari atas meja.
"Lakukan lagi," Himawari justru mendukung pertunjukkan kedua orang tuanya yang sudah jarang ia lihat. "Kalian sangat romantis loh."
Hinata mengusap lembut kepala Hima yang duduk di sampingnya dengan tersenyum.
"Bagaimana latihanmu?" Naruto mengalihkan pembicaraan dan menatap serius pada Boruto.
Putra sulungnya mengangkat bahu dan bersandar malas, "Tidak ada perkembangan." Bukan Boruto yang menjawab, tapi Himawari.
Naruto dan Hinata menatap sendu putra mereka. "Kaasan yakin kau bisa, Boruto." Ucap Hinata menyemangati. "Lakukanlah dengan sungguh-sungguh. Mungkin kau hanya kurang yakin pada dirimu sendiri."
"Aku sudah berusaha, Kaasan."
"Tapi setengah dari dirimu tidak terlalu suka melakukannya karena kau tidak suka dengan jurus itu. Agar dapat menghasilkan hasil yang baik, kau harus melakukannya dengan niat yang bagus dan usaha penuh, tanpa keraguan."
Boruto menatap Hinata dengan ekspresi datar, mencoba mencerna setiap kata yang dikatakan sang Ibu.
"Kau juga harus yakin pada dirimu sendiri." Naruto menimpali.
Untuk beberapa saat, Boruto hanya diam dan mencerna kata-kata itu. Selanjutnya dia sudah berdiri dan tersenyum. "Akan aku pikirkan." Dia melangkah pergi menuju kamarnya untuk beristirahat.
.
.
Boruto sedang berjalan menuju lapangan berlatihnya saat dia bertemu Chocho yang memberitahunya jika Sarada sedang dalam bahaya. Misi yang dilakukan Sarada hanya berdua dengan Chocho dan mereka sedang dalam perjalanan pulang melewati hutan saat seekor ular raksasa menyerang mereka.
Keduanya masih lelah dari menjalankan misi, dan serangan ular itu membuat keduanya terluka. Sarada harus di papah tapi Chocho juga terluka hingga tidak bisa melakukannya. Sarada bersembunyi saat dia memaksa Chocho kembali ke desa dan mencari bantuan.
Dari itulah, Boruto langsung berlari sendirian menuju hutan itu untuk menyelamatkan Sarada sementara Chocho disuruhnya untuk ke rumah sakit agar mengobati lukanya.
Pohon demi pohon ia lompati dengan cepat dan perasaan gusar. Khawatir dan gelisah melingkupi hatinya kala membayangkan Sarada yang sedang terluka harus tetap bertarung.
"Sarada!" dia berteriak saat melihat Sarada terpental ke belakang begitu dia sampai. Dia segera menangkap tubuh itu agar tidak menghantam tanah. "Sarada… bagunlah.. Sarada.." gadis itu pingsan. Begitu dia menoleh, ular raksasa itu mendekat dengan mulut terbuka.
Boruto berdiri dan menaruh Sarada di tanah. "Kage Bunshin No Jutsu!" segel terbentuk dan mengeluarkan dua bunshin. Satu bunshin membawa tubuh Sarada, sementara satu bunshin dan Boruto yang asli menyerang ular itu dengan kunai.
Tapi saat Boruto dan bunshinnya menyerang, ternyata ada seekor ular lagi yang menghalangi jalan bunshin Boruto yang membawa Sarada.
Jleb jleb..
Kunai yang di lempar Boruto mengenai punggung ular itu, tapi terlalu lemah hingga membuat ular itu semakin marah.
Brash..
Sekali kibasan ekornya membuat beberapa pohon jatuh dan hampir mengenai bunshin Boruto yang membawa Sarada jika mereka tidak menghindar. Kini Boruto asli dan dua bunshinnya serta tubuh Sarada berkumpul disau tempat dengan dua ular yang berada disisi berlawanan.
"Cih," Boruto berdecih kesal sambil mengeratkan genggamannya di kunai.
Syuu..
Kunai itu terlempar tapi meleset jauh. Dia membentuk segel di tangannya dan mengeluarkan rasengan. Seketika putaran cakra berwarna biru membentuk di tangannya. "Hhyyaaa…" dia berlari dan menyerang satu ular dengan itu. Tapi sayang, satu ular lainnya menyerang dua bunshinnya hingga hilang. Boruto yang menoleh kebelakang tidak menyadari jika ular yang ingin dia serang dengan rasengan juga mengibaskan ekornya dan membuatya terpental ke tanah.
"Akh,," dia meringis dan segera berdiri, berlari untuk mencoba menggapai tubuh Sarada. Tapi ekor ular raksasa itu dengan cepat melingkari tubuh mungil gadis Uchiha itu. "Saradaaaa…" Boruto berteriak saat tubuh itu terangkat dalam lilitan ekor ular.
"Sialan, lepaskan Sarada, brengsek!" umpatnya sambil mengerluarkan rasengan lagi dan melompat segera keular itu.
"Rasengan!" serangannya berhasil tapi hal itu membuat Sarada kembali terpental.
Boruto melompat dan kembali ingin meraih tubuh kekasihnya, tapi seekor ular menghalangi jalannya. Dari belakang, ular yang tadi terkena rasengannya ternyata masih bisa bergerak dan menelan tubuhnya dari belakang.
.
.
Gelap.
Gelap… Boruto merasa gelap dan basah. Kenyataan yang melintas di pikirannya membuatnya mengumpat kesal. "Sial!" dia meninju dinding berlendir di sekitarnya. Bagian dalam tubuh ular.
"Dan juga, cakra yang besar biasanya akan keluar saat seseorang terdesak. Begitu kata Papa."
Boruto mengerutkan keningnya. "Terdesak?" Himawari mengangguk.
"Seseorang yang terdesak biasanya akan melakukan semua hal sekuat tenaga dan terus berusaha sampai akhir hingga bisa mengeluarkan kekuatan yang besar. Dan saat dia sudah mengetahui satu jurus, dia akan mudah melakukan jurus itu."
Boruto terdiam mengingat percakapannya dengan sang adik. Apa situasi seperti ini yang dinamakan terdesak? Dia melihat tangannya, "Apa aku bisa melakukannya?"
"Aaarrgg…"
Dia tersentak saat samar terdengar suara teriakan Sarada dari luar. "Sarada… Saradaaa…" teriaknya mencoba berontak. "Sial… sial… siaaaalll…"
Sssyuuu… lagi-lagi dia membentuk bola biru ditangannya.
"Rasengan!" dia menyerang dan berhasil keluar dari tubuh ular itu.
Bruk… dia terjatuh di tanah dan menoleh kebelakang. Ular yang tadi menelannya terlihat meringis ditanah.
Boof… Boruto mengerjap saat ular itu menghilang. "Kuchiyose?" gumamnya tak percaya. Ia kira itu hewan asli penghuni hutan itu, tapi ternyata itu hewan Kuchiyose? Seketika amarahnya meledak, siapa yang memanggil hewan-hewan itu untuk menyerang Sarada?
Dia menoleh dan matanya melebar saat lagi-lagi tubuh Sarada terpental jauh, terlihat olehnya Sarada yang sedikit meringis. Mungkin gadis itu setengah sadar dari pingsannya dan tidak kuat menahan sakit di tubuhnya.
"Saradaaa…" dia berlari dan berniat menyerang ular itu, tapi ekor ular itu melilit tubuhnya dengan kuat. Membuatnya terangkat keatas dan berteriak. "Aaarrgg,, lepaskan aku, brengsek!.. arrrgghh…" dirasaya lilitan itu menguat.
Samar dia lihat Sarada yang berusaha berdiri tapi terjatuh lagi ke tanah. Pandangannya nanar dan penuh amarah. "Aku mohon, kali ini keluarlah." Bisiknya sambil mengoles darah di telapak tangannya.
"Kuchiyose No jutsu!"
Boof…
Bruk.. "Akh.." Boruto meringis saat dia tiba-tiba terjatuh di permukaan yang terasa cukup kasar tapi dia yakin itu bukan tanah.
Boruto melihat sekelilingnya dan berdiri. Matanya menatap tak percaya saat akhirnya dia berhasil melakukan jurus pemanggilan itu.
"Hai, Boruto." Cukup lama dia terdiam sampai sapaan katak raksasa yang ada dibawahnya itu menyentak kesadarannya. "Akhirnya kau berhasil memanggilku dengan cakramu sendiri ya."
Boruto masih setengah linglung mendengar itu. "Uhm… mu-mungkin?!" ucapnya tak yakin. "Ah, kau… Gamakici? Kuchiyose Tousan."
"Ya, begitulah. Kau terlihat shock. Tapi lupakan itu, jadi kenapa kau memanggilku? Apa hanya sekedar latihan?"
"Hah?" dia tersadar dan melihat kebawah. Terlihat tubuh Sarada yang tergeletak di tanah. Sial, kenapa dia bisa-bisanya linglung hanya karena berhasil melakukan jutsu? "Kage bunshin No Jutsu!" dia mengeluarkan satu bayangannya untuk segera menyelamatkan tubuh Sarada.
"Baiklah, aku tahu ini untuk pertama kalinya. Tapi tolonglah aku untuk mengalahkan ular itu." telunjuknya mengarah pada seekor ular di hadapannya. Seekor ular yang berukuran sama dengan Gamakici.
"Uhm, maksudmu… kau sedang bertarung melawan ular itu?" tanya Gamakici dengan ragu, "Kenapa?"
"Karena dia menyerang Sarada."
Gamakici melirik seorang gadis yang ada dalam gendongan bunshin Boruto dan mengernyit, 'gadis itu..' dia merasa aneh dalam hati lalu kembali menatap ular di depannya. "Kau yakin ular itu menyerang teman perempuanmu itu?"
"Tentu saja aku yakin. Ayolah cepat, aku harus segera membawa Sarada ke rumah sakit."
"Tapi masalahnya, terasa aneh kalau ular itu menyerang Sarada."
Boruto mendelik, "Apanya yang aneh?"
"Karena ular itu adalah Kuchiyose Uchiha Sasuke, Ayah dari teman perempuanmu itu."
"Ap –" Boruto terdiam mendengar hal itu.
"Kenapa Uchiha Sasuke itu ingin menyerang putrinya sendiri?" lanjut Gamakici.
Boruto terdiam tak percaya. Benar bahwa ular itu adalah hewan Kuchiyose. Benar juga jika gurunya, Sasuke memiliki Kuchiyose ular. Tapi… apa benar jika ular itu adalah Kuchiyose Sasuke? Bisa saja itu ular milik orang lain.
"Kau yakin jika ular itu Kuchiyose Paman Sasuke?"
"Aku yakin, aku pernah bertarung dengannya saat Naruto dan Sasuke bertarung bersama kira-kira 25 tahun yang lalu. Ingatanku ini masih kuat."
Di tengah ketidakpercayaannya. Tiba-tiba saja sosok Sasuke muncul diatas ular dihadapannya, membuat Boruto semakin cengok dan tidak mengerti apa yang terjadi.
"Sarada terluka, sebaiknya kau cepat bawa dia ke rumah sakit."
Boruto mengangguk pelan dengan setengah sadar. Membuat Sasuke menampilkan senyum tipis sebelum menghilang tiba-tiba.
Syuut.. boof…
Dan ular yang tadipun ikut menghilang.
"Baiklah, karena sudah tidak ada masalah. Aku permisi dulu ya." –Boof… Gamakici juga ikut menghilang.
Bruk.. Boruto meringis saat tubuhnya terjatuh ke tanah. "Oi… cepat bawa Sarada!" teriakan bunshinnya menyadarkan Boruto dan segera melesat untuk membawa sang kekasih ke rumah sakit.
.
.
Sementara di balik pohon tak jauh dari sana, sosok seorang pria berambut pirang berdiri dan tersenyum menatap semua itu. Disampingnya, seorang pria berambut raven baru saja muncul dengan cepat.
"Apa kau tidak terlalu berlebihan pada Sarada? Dia terluka." Pria berambut pirang itu mengeluarkan suara.
"Aku tidak menyiksa putriku secara berlebihan, dan juga… jangan remehkan Uchiha."
"Huh," jawaban dari pria raven itu membuat lawan bicaranya mendengus. "Tapi akhirnya dia berhasil juga melakukannya."
"Hn, cara yang sama ternyata masih ampuh."
"Eh?"
Pria berambut pirang menatap bingung sang pria raven. Cara yang sama? "A-apa maksudmu, Sasuke?"
Sasuke memejamkan matanya dan menunduk, senyum tipis mengiringi dengusan kecilnya. "Dasar bodoh!" ucapnya kemudian melangkah pergi.
"Sasuke, kau mau kemana? Jawab dulu pertanyaanku." Naruto –pria pirang tadi mengejar dan menyamakan langkah dengan sahabat ravennya itu.
.
.
'Naruto berhasil melakukannya saat dipaksa Jiraya dengan didorong ke jurang atau dipaksa Gaara dengan bertarung demi menyelamatkan Sakura dan Sasuke. Sementara Boruto berhasil melakukannya dengan di paksa bertarung demi Sarada. Sepertinya klan Uzumaki akan sukses dengan paksaan.'
Seseorang tersenyum dengan ucapan dalam hatinya.

Monday, 10 October 2016

Uzumaki Family (Chapter 7)

Uzumaki Family
Lupa?
Naruto by Masasi Kishimoto
[U. Naruto x H. Hinata] ; U. Blot ; U. Himawari
Note : Typo, OOC, Canon, NaruHina fic, Don't Like Don't Read
.
.
Pagi yang cerah menyambut Negara api. Tepatnya di desa Konoha, terlihat mulai banyak penduduk yang memulai kegiatan mereka. Dari yang berbelanja, sampai sudah siap untuk misi –untuk para shinobi tentunya.
Jika sebagian shinobi sudah bergegas, maka berbeda dengan pemimpinnya. Sang Hokage terlihat masih terbaring dengan mata terpejam di ranjangnya. Dalam pelukannya, sang istri tersenyum menatap wajah menenangkan sang suami yang tertidur lelap. Dia semakin senang karena di hari special mereka, sang suami mungkin akan ada disisinya.
"Ng.." dan saat suaminya bergerak bangun lalu membuka safir yang tadi dia sembunyikan. Senyuman sang istri semakin melebar dengan lembut.
"Ohayou, Anata."
Naruto mengerjap dan mengeratkan pelukannya lalu kembali memejamkan mata. "Ohayou." Hinata hanya menghela nafas saat merasa jika nafas suaminya kembali teratur yang menandakan sang suami kembali tidur. Dia membiarkannya beberapa saat, dia ingat jika sang suami baru pulang jam empat subuh tadi.
Tidur dua jam tentu membuatnya masih mengantuk.
Setelah beberapa lama, Naruto kembali membuka matanya dan tersenyum saat menemukan Hinata masih dalam pelukannya. Wajahnya mendekat dan mengecup bibir sang istri ringan dan lembut. Tak lama, karena dia segera menarik diri lalu mendudukkannya di ranjang.
"Mandilah, aku akan siapkan sarapan." Naruto mengangguk tapi belum berangkat dari ranjang. "Naruto-kun, apa kau akan pulang cepat hari ini?"
Sang Hokage menoleh dengan tatapan yang tak bisa di tebak. Lalu menggeleng, "Entahlah, Hinata. Dokumen yang di berikan Shikamaru rasanya tidak pernah habis."
"Tapi… untuk hari ini… apa kau tidak bisa mengusahakan agar pulang cepat?"
"Memang kenapa dengan hari ini?"
Hinata terdiam dan menunduk, sesaat kemudian dia kembali mendongak dan tersenyum. "Tidak ada apa-apa kok. Sudah, kau mandilah. Aku ke dapur dulu." Dia langsung turun dari ranjang dan berjalan keluar dapur.
Naruto memandangnya lama dengan raut datar. Sebelum akhirnya dia tersenyum singkat dan beranjak dari ranjangnya.
.
.
Hinata duduk menunduk di ruang keluarga. Di tangannya terlihat foto pernikahannya dengan Naruto yang di ambil sekitar 18 tahun lalu. Usia pernikahan mereka memang sudah lama, tapi perasaan cinta di antara mereka masih begitu hangat. Dan Hinata selalu mengingat setiap detail kisah mereka.
Hal itu membuatnya tersenyum, tapi senyumnya memudar saat mengingat kalau Naruto bahkan lupa pada hari ulang tahun pernikahan mereka. Dulu Naruto tidak pernah lupa tentang hari-hari penting mereka. Tapi setelah Naruto menjadi Hokage, pria itu sering melupakan sesuatu. Tak jarang malah pria Uzumaki itu bahkan tidak pulang sama sekali.
Tapi salahkah jika Hinata ingin Naruto mengingat hari ini? Mungkin dia egois. Disaat Boruto marah kepada Naruto karena pria itu hanya mengirim bunshin ke acara ulang tahun Himawari, dia tidak marah dan bisa mengerti. Tapi sekarang dia justru ingin menangis dan menginginkan Naruto yang asli ada di sisinya.
Tapi jangankan yang asli. Bunshin saja tidak akan Naruto kirim karena pria itu tidak ingat tentang hari itu.
"Mama.." Hinata tersentak dan menoleh, menatap putrinya yang beranjak remaja tengah menatapnya dengan wajah khawatir. "Mama kenapa? Kenapa Mama sedih?"
Hinata menggeleng dan menarik sang anak ke pelukannya. "Tidak. Mama tidak menangis kok." Meski begitu. Hinata tidak bisa memaksakan diri untuk tersenyum.
"Mama."
Hinata menarik nafas lalu melepas pelukannya. Dia tersenyum menatap putrinya. "Ya?"
"Apa hari ini Mama ada acara?" Hinata menggeleng. "Tadi Bibi Sakura mencari Mama. Dia mengatakan tentang rumah sakit dan ingin meminta tolong. Entahlah, hanya itu yang dia katakan."
"Benarkah?" Himawari mengangguk. "Kalau begitu Mama akan ke sana dan menemuinya. Hima mau ikut?"
"Tidak. Aku ingin di rumah saja. Lagipula nantinya aku ingin bermain bersama Hanabi-baasan."
Hinata mengangguk dan berpamit kepada putrinya sebelum pergi. Mungkin menyibukkan diri di hari itu tanpa menunggu dan mengharapkan apapun akan lebih baik untuknya.
Dia menghela nafas saat ingat kalau Naruto langsung pergi setelah sarapan tadi pagi. Pria itu bersikap biasa saja dan tidak mengucapkan apa-apa. Membuat Hinata jadi sedikit enggan untuk mengucapkan selamat duluan. Mungkin juga peringatan hari ulang tahun pernikahan mereka tahun ini akan berlalu tanpa kenangan dan ucapan.
.
.
Boruto meraih ponselnya yang terasa bergetar di saku celananya. Dia mengeluarkannya dan mengangkat dengan senang hati begitu melihat nama sang adik tertera di sana. "Hallo, Hima. Tumben sekali kau menelponku, apa kau sudah rindu pada kakakmu ini ttebasa?"
"Aku memang selalu merindukan Oniichan."
Boruto tertawa mendengar kejujuran adiknya itu. Dia juga merindukan Himawari. Padahal dia hanya menjalankan misi empat hari dan sekarang pun dia sudah dalam perjalanan pulang bersama teman-temannya, tapi dia begitu senang hanya dengan mendengar suara Himawari saja. "Aku sedang dalam perjalanan pulang. Apa di rumah ada acara?"
"Tidak ada. Rumah kosong karena semua orang sedang keluar."
"Dimana kau sekarang?"
"Aku sedang di tempat Jii-san. Aku bersama Hanabi-baasan. Mama dan Papa juga tidak ada di rumah. Jadi mungkin Nii-chan tidak bisa pulang."
Boruto terdiam lalu berpikir, mungkin saja kedua orang tuanya sedang pergi untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Memikirkan itu, Boruto tersenyum senang karena setidaknya hubungan orang tuanya semakin romantis. "Baiklah, aku akan ke tempat Shikadai saja."
"Ck, mendokusai."
Boruto melirik saat mendengar decakan itu lalu menghela nafas, "Atau ke tempat Mitsuki." Ubahnya dengan cepat. Tidak ingin mencari bahan perdebatan. "Oke, Hima. Sudah dulu ya. Sampai nanti."
"Hm, sampai nanti Oniichan."
Boruto tersenyum dan kembali memasukkan ponselnya ke saku celana. Dia tersenyum membayangkan kemana kedua orang tuanya pergi. Di dalam tasnya, dia sudah mempersiapkan hadiah untuk kedua orang tuanya. Ah, pasti kedua orang tuanya sangat senang.
Dia tersenyum tanpa berpikir mungkin saja Ayahnya tenggelam dalam dokumen di kantor Hokage yang mengakibatkan Ibunya sendirian.
.
.
"Hinata, kau melamun."
Hinata tersentak saat Sakura menegurnya. Bahkan pena yang ada di tangannya hampir saja terjatuh. Sakura memang memintanya untuk merekap ulang data pasien dan data obat dalam tiga bulan terakhir untuk laporan. Biasanya Sakura melakukan itu di bantu asistennya, tapi kebetulan asistennya sedang ada urusan sehingga tidak bisa masuk.
"Kau ada masalah?"
"Tidak ada kok." Hinata tersenyum sambil menjawabnya.
"Oh ya, bukankah hari ini ulang tahun pernikahanmu?" Hinata tersenyum, antara mengiyakan dan miris. Bahkan orang luar saja ingat, kenapa Naruto lupa? Batinnya. "Lalu, apa yang di berikan Hokage itu padamu?"
"Ehm, itu…"
"Hei, jangan bilang kalau dia tidak ingat hari ini."
"Ah bu-bukan begitu." Hinata dengan cepat menyangkal. "Dia… dia ingat kok.." jawabnya berbohong.
"Benarkah?" Sakura menuntut, dan Hinata hanya mengangguk pelan. "Lalu apa yang dia berikan padamu?"
"Eng.. itu.. dia… dia menciumku tadi pagi… setelah mengucapkan selamat." Jawabnya dengan wajah memerah. Sebenarnya dia tidak sepenuhnya berbohong. Naruto memang menciumnya. Tapi bukan ucapan selamat ulang tahun pernikahan yang dia maksud, melainkan hari ucapan selamat pagi biasa.
Sakura mengangguk puas melihat respon Hinata yang malu. Dia berpikir mungkin itu benar dan Naruto memang mengingat hari itu. yah, walau hanya memberikan ciuman.
.
.
Bruk..
Wajah nelangsa keluar dari pria Uzumaki itu. "Shika, kau dapat dari mana dokumen-dokumen ini?" tanyanya dengan lesu saat melihat setumpuk dokumen yang baru saja di taruh Shika ke atas mejanya.
"Aku mencetaknya dan membawa semuanya ke sini agar kau melipatnya menjadi origami."
"Huh, tidak lucu." Jawab Naruto ketus akan usaha Shikamaru yang ingin melawak… atau hanya mengobati rasa bosan.
"Sudah, kerjakan saja kalau kau ingin aku ijinkan pulang hari ini."
Mendengar itu, wajah Naruto semakin menekuk. Mengijinkan pulang hari itu bukan berarti dia bisa pulang cepat. Sebelum lewat jam dua belas malam juga masih bagian dari hari itu. Dan saat dia melihat senyum Shikamaru yang mengejeknya, dia semakin kesal.
"Dasar Shikamaru jelek.." pintu tertutup tanpa tanggapan apapun dari pria Nara itu. Membuatnya menghela nafas dan kembali meraih dokumen lain. "Aku harus menyelesaikan ini agar bisa istirahat ttebayo…" ucapnya lesu, "..walau hanya istirahat sebentar." Lanjutnya.
.
.
"Hinata?"
Wanita itu menoleh saat ada yang memanggilnya. Sekarang dia sedang dalam perjalanan pulang setelah membantu Sakura. Hari sudah mulai sore dan dia pulang dengan kepala tertunduk lesu. Sampai seseorang memanggilnya. "Kiba-kun, kau disini?"
"Begitulah. Hanya sekedar jalan-jalan. Kenapa dengan wajahmu itu? Kau terlihat sedih, bukankah hari ini hari yang special?"
Hinata hanya menghela nafas dan menggeleng, "Aku tidak apa. Aku mungkin hanya lelah setelah membantu Sakura di rumah sakit. Aku akan pulang dan beristirahat."
"Benar kau tidak apa? Apa Hokage itu begitu sibuknya hingga tidak bisa menyempatkan diri di hari ini?"
Hinata tersenyum manis, "Dia sudah menyempatkan diri tadi pagi. Mungkin aku akan masak makan malam yang enak saja nanti. Kami bisa makan bersama saat dia pulang. Oh, Boruto-kun juga pulang hari ini. Aku tidak apa, Kiba-kun."
"Baiklah." Kiba mengalah. "Aku duluan ya, Hinata. Jaa.."
"Jaa, Kiba-kun."
Setelah Kiba pergi, Hinata kembali memudarkan senyumnya. "Seandainya Naruto-kun memang menyempatkan waktu untukku." Ucapnya lesu tapi sesaat kemudian dia menggeleng. "Tidak. Aku tidak boleh begini. Naruto-kun pasti sibuk. Seharusnya aku menyiapkan makan malam saja. Siapa tahu dia pulang cepat hari ini."
Setuju dengan pemikiran itu. Dia melangkah pulang dengan perasaan yang lebih baik. Tapi belum lima menit dia berjalan…
"Buru-buru sekali." Hinata tersentak dan berhenti. Perlahan dia menoleh dan menatap tak percaya sang suami yang berdiri di sana sambil tersenyum kearahnya. "Kau mau kemana, Hinata?"
"Naruto-kun, kenapa kau di sini?"
"Itu.." Naruto menggaruk kepalanya. "Shikamaru akhirnya mengijinkanku pulang cepat. Dan yah, aku berniat pulang tapi malah menemukanmu di sini."
Hinata hanya mengangguk dan ber-oh. Lalu suasana mereka menjadi canggung tiba-tiba. Mungkin karena Hinata yang awalnya tidak pernah menyangka kehadiran Naruto di sana. "Err… Hinata, bagaimana kalau kita jalan-jalan saja."
"Hah?"
"Heheh… ku dengar Hima ke tempat Hanabi. Boruto juga mampir ke rumah Mitsuki. Daripada di rumah. Kita jalan-jalan saja. Sudah lama kita tidak keluar bersama." Hinata tidak bisa menahan senyumnya dan mengangguk setuju.
Naruto ikut tersenyum dan segera meraih tangan sang istri. Mereka berjalan berdampingan di jalanan desa. Sesekali mereka membalas sapaan penduduk yang menyapa. Mereka mengobrol sepanjang jalan dengan tautan jari yang tak lepas.
Hinata sangat senang akan hal itu. Walau Naruto tidak mengatakan apa-apa tentang hari penting mereka, tapi kehadiran Naruto di sana cukup untuknya.
.
.
Boruto sedang berjalan santai di sore itu saat dia ketemu dengan Kiba. Awalnya hanya mengobrol biasa. Tapi saat Kiba menanyakan tentang Hinata yang murung saat mereka bertemu tadi, Boruto sudah mulai kesal. Dan saat fakta bahwa Ayahnya masih di kantor Hokage dan membuat Ibunya sendirian bahkan harus menghabiskan waktu membantu Sakura di rumah sakit. Amarahnya memuncak.
Ibunya harus membantu teman untuk menghabiskan waktu di hari ulang tahun pernikahannya karena sang Ayah yang terlalu sibuk. Cukup! Hal itu cukup untuk membuatnya berjalan cepat ke kantor Hokage dengan amarah memuncak.
Bayangan Ibunya yang menangis dalam diam di setiap Ayahnya tidak ada waktu untuk keluarga membuatnya tanpa ragu mendobrak pintu ruang Hokage. Membuat seorang pria yang ada di dalamnya menatapnya bingung.
.
.
"Hinata-chan, aku ke sana sebentar ya."
Hinata mengangguk dan Naruto melangkah pergi. Tak lama, pria itu kembali dan membawa setangkai mawar yang sangat indah. Tanpa ragu memberikan itu kepada sang istri dengan tersenyum lebar. "Ini untukmu ttebayo.. apa kau suka?"
Hinata tersenyum sambil meraih bunga itu. "Aku suka, terima kasih, anata." Naruto mengangguk senang melihatnya.
.
.
"Boruto, kau kenapa?"
"Kenapa katamu?" Boruto melangkah mendekat dan memandang Ayahnya dengan pandangan benci. "Kau bertanya kenapa di saat kau sudah membuat Ibuku bersedih hari ini?"
Naruto mengerutkan alisnya bingung, "Apa maksudmu? Kau baru pulang dari misi dan langsung marah-marah di kantor Hokage."
"Diamlah Tou-chan. Kau bahkan tidak tahu jam berapa aku sampai di desa. Apa seharian ini kau hanya mengurung diri di sini tanpa tahu jika Kaa-chan bersedih di luar sana?"
"Kenapa dia bersedih?"
Pertanyaan itu semakin membuat Boruto marah. Bisa-bisanya Ayahnya itu bertanya tanpa tahu apapun tentang istrinya sendiri. Tangannya terkepal dan pandangan safir itu menajam. "Kau memang selalu merusak semuanya." Langkahnya maju dan kepalan tangannya terangkat untuk melayangkan tinju kepada sang Ayah.
Brak..
"Boruto?"
Duakh
.
.
Poof..
Hinata terdiam saat asap putih itu hadir di hadapannya. Menghilangkan sosok suami yang sebelumnya berdiri di sana. Tangannya yang memegang mawar jatuh terkulai di samping tubuhnya. Tatapannya tak percaya akan apa yang dia alami. "Bunshin?" tanyanya lirih. "Dia… hanya mengirim bunshin?"
Matanya berkaca-kaca. Kepalanya menunduk dan genggaman tangannya pada tangkai mawar tanpa duri itu menguat. Hinata menggigit bibirnya kuat menahan air mata yang mengancam keluar. Kenapa? Kenapa harus di saat seperti ini? Setidaknya kenapa bunshin itu harus menghilang di saat seperti ini?
Pertanyaan-pertanyaan itu tak terjawab. Dia berjalan lesu tanpa mengindahkan tatapan para penduduk yang mengarah padanya. Ada yang menatap aneh dan ada juga yang menatap prihatin karena mengerti apa yang terjadi. Tapi siapa peduli akan tatapan itu. Dia hanya ingin pulang dan mungkin menangis di kamarnya.
.
.
Boruto berdiri terdiam di tempat setelah melayangkan sebuah tinju kepada seorang… "Bunshin?" dia menoleh kepada Shikamaru yang datang membuka kasar pintu sesaat sebelum dia meninju bunshin sang Ayah sampai menghilang. "Paman Shikamaru?"
"Hah," pria Nara itu menghela nafas. Kalau saja dia lebih cepat sedikit, mungkin bunshin Naruto tidak akan menghilang. "Iya. Itu hanya bunshin. Ayahmu yang asli sudah pulang karena suatu hal."
"Suatu… hal?" Boruto memiringkan kepalanya tidak mengerti. Dia masih shock karena melakukan hal yang sia-sia.
.
.
Hinata melangkah lesu memasuki rumahnya tanpa suara. Keadaan pintu yang terkunci membuatnya berpikir jika tidak ada orang di rumah. Setelah membuka pintu dengan kunci yang dia bawa, dia menutup pintu dan berbalik, berkedip saat kepalanya yang tertunduk membuatnya melihat sepasang sepatu di hadapannya. Perlahan dia mendongak dan terdiam kala mengetahui siapa itu.
"Kau menangis? Kenapa?"
"Naruto-kun?"
"Iya, ini aku, Hime."
Hinata ingin tersenyum tapi tidak jadi. Cahaya di matanya kembali redup saat ingatannya kembali ke beberapa waktu lalu saat suaminya menghilang menjadi asap. "Aku lelah dan ingin beristirahat." Hinata berjalan melewati sang suami setelah mengganti sandal rumah. "Tidak apa jika kau menghilang." Lanjutnya masih dengan nada lesu.
Tiga langkah, dia berhenti dan lavendernya melebar saat merasakan tangan-tangan kekar memeluknya dari belakang. Hembusan nafas di bahunya juga terasa begitu hangat. "Aku bukan bunshin, Hime." Ucap Naruto setengah berbisik. "Apa bunshinku akan memelukmu seperti ini?"
Hinata segera berbalik dan menatap lekat suaminya. Tangannya terulur dan mencubit pipi tan Naruto. "Itte, sakit Hinata-chan…" jawab Naruto dengan suara tidak jelas karena pipinya di tarik.
Senyum Hinata muncul saat fakta itu membuatnya begitu senang. Dia langsung melemparkan dirinya ke pelukan sang suami yang tentu langsung menangkapnya. "Naruto-kun!" ucapnya dengan riang. Membuat Naruto ikut tersenyum dan membelai lembut rambut sang istri tercinta.
.
.
Hah, Boruto menghela nafas dan berjalan dengan wajah malas. Setidaknya dia tahu jika Ayahnya tidak lupa pada Ibunya. Shikamaru bilang jika Ayahnya pulang lebih awal untuk mempersiapkan sesuatu agar menjadi kejutan bagi Ibunya. Dan itu cukup menyurutkan amarahnya.
"Boruto!" dia menoleh dan tetap berjalan. Merasa jika gadis Uchiha yang memanggilnya telah berjalan di sampingnya. "Kenapa kau sendirian?"
"Aku berdua denganmu, Sarada."
Gadis itu terdiam dan mengalihkan tatapannya. "Hei, kau tahu pesta kembang api bulan depan?"
"Ya."
"Apa kau mau pergi?"
Boruto terdiam mendengarnya. Dia tidak tahu harus pergi atau tidak. Dulu, dia akan pergi bersama Ibu dan adiknya, terkadang juga Ayahnya ikut. Tapi setelah waktu berlalu, adiknya terlihat lebih suka pergi dengan Shikadai dalam acara-acara desa. Dan Ibunya… sepertinya sang Ayah akan ada disisi sang Ibu. Jadi tinggal dia sendiri.
"Boruto?"
"Entahlah, Sarada. Aku belum tahu pasti. Lagi pula itu acara bulan depan." Sarada memajukan bibirnya saat Boruto tidak terlalu semangat dengan topic itu padahal dia membicarakan itu dari sekarang agar bisa lebih dulu memancing sesuatu dari pemuda Uzumaki itu. Ajakan pergi bersama, misalnya. "Apa kau lapar?"
"Hah?" Sarada tersentak dengan pertanyaan itu tapi Boruto tidak bertanya lagi. "Ugh, kurasa aku memang lapar. Tapi… ini sudah malam. Kau tidak pulang?"
Boruto mendongak menatap langit yang menggelap. "Hah, kurasa malam ini akan lebih baik jika aku tidak pulang."
"Kenapa?"
"Karena aku yakin akan jadi nyamuk jika pulang."
"Maksudmu apa, Boruto?"
.
.
Hinata terbelalak dengan keadaan ruang makan itu. Meja makan yang telah tersaji makanan dan beberapa dekorasi romantis. Lilin, mawar, bahkan ada kue dengan lilin kue menyala di atasnya. Dia menoleh kepada suaminya yang tersenyum lebar.
"Naruto-kun, kau… yang menyiapkan semuanya?"
"Ng.. begitulah… hehehe.." Naruto tersenyum lebar. "Maaf karena tadi aku hanya mengirim bunshin untuk menemanimu jalan-jalan Hinata. Itu karena aku ingin menyiapkan semua ini dengan tanganku sendiri."
"Lalu… kantor Hokage?"
"Yah, aku juga menempatkan satu bunshin di sana." Walau sudah hilang karena Boruto, batinnya melanjutnya. Dia hanya bisa bersiap-siap besok karena yakin Shikamaru akan kembali mengoceh.
"Kau menyiapkannya sendirian?"
"Mana mungkin," Naruto menyela cepat. "Maksudku, makanannya akan hancur jika aku yang membuatnya sendiri. Aku tadi di bantu Hanabi dan Himawari." Dia tersenyum lebar sambil mengaruk pipinya canggung.
Hinata tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak menyangka jika adik dan putrinya ikut andil dalam kejutan yang di persiapkan sang suami. "Naruto-kun." Dia kembali memeluk suaminya dengan erat. Mencoba menyampaikan rasa bahagia dan terima kasih.
Naruto mendongakkan wajah Hinata dan memberikan kecupan manis pada bibir sang istri. Lavender Hinata terpejam saat kecupan itu menjadi ciuman dalam yang menuntut. Saling berbagi kebahagiaan di hari special mereka.
Tak lama, Naruto menyudahi ciuman itu dan menarik Hinata mendekat ke meja mereka. "Nah, kita mulai saja acaranya karena sepertinya Boruto dan Hima tidak akan pulang." Naruto mengambil kue yang ada dan menyodorkannya di hadapan Hinata. "Tiup lilinnya, Hime."
"Bersama." Naruto mengangguk akan permintaan itu. Mereka meniup lilin itu bersamaan hingga semuanya padam.
Hokage ketujuh itu menaruh kue ke meja dan menangkup pipi Hinata lalu mengecup hangat kening sang istri. Membuat Hinata tersenyum senang. "Selamat ulang tahun, Hinata-chan."
…dan senyum Hinata memudar.
"Selamat… apa, Naruto-kun?"
Naruto berkedip dan menarik tangannya. "Selamat ulang tahun. Hari ini ulang tahunmu kan?"
Krik krik krik…
Suasana menjadi sunyi. Hinata terdiam dan menatap suaminya dengan pandangan yang tak bisa di artikan. Selanjutnya, tangannya terkepal dan matanya berubah.
"Ugh, Hi-Hinata-chan, ke-kenapa Byakuganmu aktif ttebayo?"
"Naruto-kun, kau tidak ingat ini hari apa?"
"Eh, ini hari ulang tahunmu kan, eh.. Hi-Hinata-chan…"
"Jyuuken!.."
"Uwaaahhh…."

Saturday, 1 October 2016

Uzumaki Family (Chapter 6)

Sat sat sat…
Bayang bayang hitam yang berlompatan dari pohon ke pohon tampak seperti sekilas bayangan biasa saja. Tapi jika di lihat lebih jelas, maka itu adalah para ninja yang sedang melewati jalur hutan dengan cara normal bagi seorang shinobi.
Terlihat dua pria yang berlompatan dengan mata fokus menatap kearah depan. Satu pria berlompatan sembari mengendong seorang anak kecil yang tak henti menatap wajahnya dengan tersenyum manis. "Paman Kucing."
Satu panggilan yang keluar dari mulut anak kecil itu membuat pria yang menggendongnya menoleh dan menatapnya datar namun dengan sorot heran. Memilih tetap diam, pria itu kembali fokus pada jalannya.
.
Uzumaki Family
[U. Naruto x H. Hinata] U. Bolt.; U. Himawari
Note : OOC, Typo, Canon, OC, GaaHima slight NaruHina
.
"Ibu, di mana Paman Kucing?"
"Paman Kucing?"
"Uhm, yang ini. Hima sudah bertemu dengan yang lain tapi Hima belum pernah melihat Paman Kucing." Sorang gadil kecil usia 4 tahun bertanya dengan raut wajah polos dan penasaran sembari menunjuk sebuah foto yang ada dalam album di atas pangkuannya.
Foto seorang pria berambut merah yang sedang berdiri sembari mengendong dua kucing.
Sang Ibu yang di tanya tersenyum kecil mendengar perkataan sang buah hatinya. "Itu namanya Paman Gaara. Paman Gaara adalah seorang Kazakage Suna, jadi dia tinggal di Suna."
"Suna? Jauhkah?" sang Ibu mengangguk, "Jadi Hima tidak bisa bertemu dengan Paman Kucing?"
"Hm, mungkin bisa. Tapi tidak sekarang. Tapi kenapa Hima ingin bertemu dengan Paman Gaara?"
Sang gadis kecil itu menggeleng, "Tidak tahu. Tapi Hima ingin sekali bertemu dengan Paman Kucing."
.
Pertanyaan Himawari kepada Ibunya hari itu hanya sedikit bentuk dari rasa penasaran gadis kecil itu. Tapi dia tidak pernah menduga jika akan bertemu dengan orang yang dia tanya kepada sang Ibu dalam waktu secepat ini.
Hanya berselang dua minggu dia bertanya, dan sekarang, dia tersenyum mendapati dirinya berada dalam gendongan seorang pria yang di panggilnya 'Paman Kucing' hanya karena lantaran di dalam foto yang dilihatnya, pria tersebut sedang menggendong kucing.
Tap tap tap
Himawari tahu jika mereka sudah semakin dekat dengan desa karena sudah melewati hutan. Dia merasakan jika tubuhnya tidak lagi terguncang karena lompatan orang yang menggendongnya, melainkan sedikit berayun karena orang yang menggendongnya berjalan kaki biasa.
Mata birunya tidak pernah lepas dari wajah pria di dekatnya, sangat dekat. Dia tidak pernah bertemu atau mengenal pria itu sebelumnya, tapi dia tidak takut sedikitpun, bahkan dia justru merasa senang.
"Tidakkah kau risih dengan tatapannya, Gaara?"
"Tidak."
Kankurou hanya menggeleng pelan saat Gaara dengan santai dan singkat menjawab pertanyaannya seolah adiknya itu benar-benar tidak risih akan apapun yang justru membuatnya risih. Sebenarnya dia hanya merasa heran saat anak kecil yang mereka temukan di hutan itu terus menatap adiknya dengan sorot mata riang dan senang. Tapi kenapa adiknya terlihat biasa saja?
"Demi Tuhan, Gaara, dia bahkan mungkin tidak berkedip."
Gaara menoleh kearah anak dalam gendongannya. Tapi yang dia temukan anak itu malah mengedipkan matanya beberapa kali dengan polos dan tersenyum manis kearahnya. Dia kembali menatap lurus jalannya. "Dia berkedip, Kankurou." Ujarnya kemudian.
Kankurou hampir terjungkal ke belakang. Sejak kapan adiknya bahkan mau memastikan hal sepele begitu?
"Paman Kucing."
Lagi penggilan itu keluar. Membuat kernyitan di kening Kankurou makin bertambah. "Dan kenapa dia memanggilmu begitu, Gaara? Aku rasa kau lebih mirip panda dari pada kucing."
Gaara lagi-lagi melihat kearah anak dalam gendongannya. "Namamu Himawari, kan?" gadis kecil itu mengangguk. "Umurmu?"
"4 tahun." Jawab Hima cepat.
"Apa yang kau lakukan di hutan tadi?"
"Hm," Hima memiringkan kepalanya, "Main sama Boruto-nii, terus Hima lihat kupu-kupu cantik."
"Dari ku lihat kau sedang bermain pasir."
"Uhm," Hima mengangguk kuat membuat rambut indigonya bergerak-gerak, "Istana pasir." Dia mengeluarkan sebuah foto dari saku bajunya dan menunjukkan itu pada Gaara. "Hima mau buat istana pasir. Tapi tidak bisa."
Gaara meraih foto itu dan menatapnya sebentar, foto Himawari yang berdiri di depan sebuah istana pasir pinggir pantai.
"Anoo… Paman.. Paman Kucing." Ucapnya dengan nada sangat senang dan segera memeluk erat leher Gaara. Membuat Kankurou hampir menganga sementara Gaara hanya bersikap biasa dengan sedikit senyum tipis yang bahkan tak di sadari oleh Kankurou.
.
.
"Hima!" teriakan Naruto memanggil Himawari memancing tatapan banyak penduduk. Melihat sang pahlawan desa beserta sang istri juga anak pertama mereka berlari menuju dua orang pria yang berjalan di jalanan desa Konoha.
"Himawari."
"Papa.. Mama.."
Seketika Himawari langsung berpindah ke gendongan Naruto saat pria itu sampai di depan Gaara. Di memeluk erat putrinya yang sempat ia kira hilang beberapa waktu lalu. "Maaf,, maafkan Papa.. apa kamu baik-baik saja.. hm?" Naruto melihat anaknya dengan penuh kecemasan.
"Hima tidak apa-apa kok."
"Hima sayang.. sini sama Mama.." kembali Himawari berpindah gendongan ke tangan Ibunya yang memeluknya erat. "Syukurlah kamu baik-baik saja."
"Boruto, lain kali jaga adikmu baik-baik."
"Iya. Maaf." Boruto langsung menunduk saat sang Ayah memarahinya lagi. Sebenarnya itu tidak sepenuhnya kesalahan Boruto. Naruto sedang ada misi hari itu dan Hinata juga sedang ada urusan di rumah sakit Konoha. Sebenarnya Hinata ingin mengajak Himawari tapi Boruto bilang dia bisa menjaga adiknya.
Hinata mempercayai Boruto dan membiarkan Himawari ikut dalam latihan tim Boruto. Tim Boruto berlatih di daerah hutan pinggir desa. Awalnya tidak ada masalah, tapi saat Himawari duduk sendirian sambil melihat kakaknya berlatih, dia tertarik kepada seekor kupu-kupu dan mengikuti kupu-kupu itu.
Nah, di sanalah kesalahan Boruto yang tidak memperhatikan adiknya hingga Himawari melangkah jauh dari tempat latihan Boruto.
Saat Himawari berada di tengah hutan, dia kehilangan kupu-kupu itu dan hampir menangis karena sendirian. Tapi saat dia melihat banyak pasir di satu daerah dalam hutan itu, dia teringat akan foto istana pasir yang selalu ia bawa. Foto yang di ambil saat dia sekeluarga liburan ke pantai tiga bulan yang lalu.
Di sanalah Himawari bermain pasir dan di temukan Gaara saat Kazakage Suna itu melewati hutan untuk menuju Konoha. Merasa tahu jika Himawari adalah anak Naruto, maka mereka membawanya kembali.
Sementara Boruto yang menyadari adiknya hilang menjadi panik dan sudah mencoba mencari tapi nihil. Hingga dia kembali ke desa untuk meminta bantuan dari sang Ibu. Malang baginya ternyata sang Ayah sudah pulang dan jadi marah karena Himawari hilang. Mereka bertiga mencari keseluruh desa untuk sekedar memastikan kalau Himawari mungkin sudah pulang.
Saat mereka tidak menemukan posisi Himawari di desa, mereka memutuskan untuk langsung ke hutan itu. Tapi sebelum mencapai gerbang, Hinata sudah melihat Himawari yang di gendong Gaara memasuki gerbang desa dengan byakugannya.. dari itulah mereka berkumpul di sini sekarang.
"Himawari, maaf kan Nii-san.."
Hinata menghela nafas dan menggosok pelan lengan suaminya. "Sudahlah Naruto-kun. Jangan marah lagi. Boruto tidak sengaja dan Himawari juga baik-baik saja. Tenanglah!"
Naruto menghembus nafas kasar untuk meredam emosinya. Dia tidak sepenuhnya menyalahkan Boruto tapi rasa paniknya yang masih terasa membuatnya sedikit sulit menahan emosi.
"Tidak apa Nii-san.. tadi Hima main sama kupu-kupu cantik." Jawaban Himawari membuat Naruto tersenyum, sepenuhnya melupakan emosinya yang tadi.
"Ehm, Gaara, terima kasih karena sudah membawa Himawari pulang." ucap Naruto setelah sedikit tenang. Hinata hanya tersenyum sebagai tanda terima kasih yang sudah di ucapkan suaminya.
"Ya, bukan apa-apa. kami menemukannya di dalam hutan dan sedang bermain sendirian. Jadi kami pikir lebih baik kalau membawanya pulang." Kankurou menjelaskan dengan singkat. "Syukurlah dia baik-baik saja."
Naruto dan Hinata mengangguk. "Ya sekali lagi terima kasih dan maaf merepotkan."
"Tidak!" kini Gaara yang menjawab dengan nada tenang seperti biasa, "Itu bukan hal yang merepotkan." Di sampingnya Kankurou mendengus kesal.
'kau bahkan terlihat senang menolongnya, Gaara.' Kankurou berbisik dalam hati.
"Kami masih harus laporan ke kantor Hokage."
"Ah iya, tapi malam ini datanglah ke rumah untuk makan malam. Sebagai tanda terima kasih."
"Benar, jika tidak sibuk datanglah."
Naruto dan Hinata menawarkan hal yang sama. Membuat Gaara mengangguk pelan. "Jika ada waktu kami akan datang. Kami tidak lama di sini, hanya ada urusan mendesak dan kami harus pergi lagi."
"Begitukah? Baiklah, tapi kami akan tetap menunggu."
Gaara mengangguk lagi dan berpemitan untuk pergi ke kantor Hokage saat langkahnya terhenti karena sebuah panggilan. "Paman Kucing."
Seketika tatapan yang lain mengarah pada Hima yang tersenyum di gendongan Hinata. Dia melambai tangan dan berseru senang. "Terima kasih ya.. nanti Paman Kucing main lagi ya sama Hima.."
Naruto dan Boruto mengerutkan alis mendengarnya. Siapa yang di maksud Hima dengan 'Paman Kucing?'. Sementara Hinata hanya tersenyum kikuk karena dia tahu kenapa Hima memanggil Gaara seperti itu. dan oh, jangan tanyakan ekspresi Kankurou.
"Hn, nanti kita ketemu lagi." jawab Gaara singkat sebelum benar-benar melangkah pergi.
Setelah kedua pria itu menghilang. Naruto menoleh kepada istrinya. "Kenapa… Gaara dipanggil 'Paman Kucing?'" tanyanya kemudian.
.
.
10 tahun kemudian. Sunagakure.
"Kazekage-sama, tim bantuan dari Konoha datang untuk melapor."
"Hn, suruh masuk."
Pria dengan rambut hitam itu mengangguk mengerti atas perintah Kazekagenya dan kemudian membawa empat orang memasuki ruang kantor Kazekage.
Empat orang. Satu jounin laki-laki, satu chuunin laki-laki, dan dua genin perempuan.
"Kami tim bantuan dari Konoha untuk persiapan sistem pembelajaran di Suna sebelum ujian Chuunin tahun ini. Saya Kurotsi, ini chuunin tahun lalu Nara Shikadai, dan dua genin yang juga dapat membantu apapun yang di perlukan, Yoshida Yukata dan Uzumaki Himawari."
Gaara sang Kazekage mengangguk pelan akan perkenalan itu. Jadenya menatap satu per satu orang yang berdiri di hadapannya hingga orang terakhir membuatnya terdiam beberapa saat sebelum kembali mengalihkan pandangannya pada pimpinan tim itu, Kurotsi.
"Sampaika terima kasihku pada Hokage Konoha atas bantuan yang mereka kirimkan. Seperti yang kalian ketahui. Suna mengikuti sistem pembelajaran Konoha dalam beberapa pelajaran di akademi. Dan sebelum ujian chuunin berikutnya, kami ingin bantuan dari pihak Konoha untuk memberikan bimbingan lain tentang sistem pembelajaran yang ada."
"Kami mengerti Kazekage-sama."
"Kalian akan berada di sini tiga hari. Kalian akan tinggal di tempat yang telah kami persiapkan. Untuk jadwal pembelajaran, bisa kalian tanyakan pada bagian akademi. Juga tentang daerah yang bisa di gunakan untuk berlatih akan di jelaskan sekalian di sana."
"Kami mengerti."
"Baiklah, kalian bisa memulainya sore ini."
"Di mengerti, kami permisi dulu Kazekage-sama."
Gaara hanya mengangguk saat ke empat orang itu berpamitan dan melangkah keluar. Tapi tak bisa dia cegah bola matanya untuk tidak mengikuti langkah seorang gadis genin yang ada di sana.
Saat pintu tertutup dan menyisakannya seorang, dia menyandarkan punggunya dan menghela nafas. "Dia sudah besar dan..." Gaara tidak melanjutkan kata-katanya dan lebih memilih memejamkan matanya. Mengingat kembali gambaran sosok seoran gadis yang baru ia lihat. Seorang gadis berambut indigo sebahu, bermata safir dan tersenyum dengan ceria.
.
.
"Ne Himawari-chan."
"Hm?" Himawari menoleh dan merespon pelan panggilan Yukata.
"Tidakkah kau berpikir kalau kazekage tadi tampan?" Hima hanya mengernyit mendengarnya. "Dia serasa sama dengan Hokage ke tujuh, mereka tampan dan keren walau sudah berusia dewasa. Tapi kalau Hokage ke tujuh sudah punya istri dan anak, nah kudengar, Kazekage belum punya pasangan loh."
Himawari tersenyum saat sudah mulai menyadari ke mana arah pembicaraan temannya itu. "Lalu?"
"Aku tidak keberatan kalau mendapat jodoh seperti itu."
"Kau suka pria dewasa rupanya."
Yukata mengangkat bahu, "Kalau pria-nya tampan dan keren begitu sih aku mau. Memangnya kau tidak mau?"
"Hm," Himawari mengalihkan tatapannya untuk berpikir "Entahlah, tapi mungkin tidak buruk juga." Jawabnya dengan tersenyum.
.
.
Seperti yang di perintahkan kepada mereka tentang misi ini, mereka membantu dalam sistem pembelajaran Suna. Di mulai pagi hari dan berakhir sore hari. Selama tiga hari mereka melakukan semua dengan baik, bahkan mereka bisa berkomunikasi dengan baik dengan warga Negara Suna.
Tanpa terasa, tiga hari itu berlalu dengan cepat. Dan di sinilah Himawari sekarang, melihat matahari yang hampir terbenam bersama teman dari kakaknya.
"Hah,," Himawari menghela nafas lega sambil mereganggkan tangannya, "Akhirnya, setelah tiga hari, besok kita bisa pulang."
"Apa kau tidak suka di sini?"
Himawari menoleh dan tersenyum, "Aku suka, tapi rindu Mama, Papa, dan Boruto-nii."
"Huh, kau itu seorang ninja sekarang. kau akan sering mendapat misi keluar desa dan sering berpisah dengan keluargamu. Bagaimana kau bisa bertahan kalau kau selalu rindu dengan mereka?"
Himawari mengerucutkan bibirnya, "Biar saja. Memangnya Shikadai-nii tidak rindu pada Bibi Temari dan Paman Shikamaru?"
"Ck," Shikadai berdecak bosan sambil menggaruk kepalanya, "Ibu selalu cerewet kalau aku ada di dekatnya, tidak boleh ini tidak boleh itu. Sedangkan Ayah, dia akan lebih sering di kantor Hokage dan akan pulang hanya untuk berdebat denganku."
Himawari terkikik mendengar keluhan Shikadai. Tidak aneh baginya saat Shikadai selalu mengeluh tentang hal-hal yang menurutnya merepotkan.
"Kenapa kau tertawa?"
"Ayah pernah bilang kalau Shikadai-nii itu mirip dengan Paman Shikamaru dulu. Jadi bukankah seharusnya kalian lebih akur kalau bertemu?"
"Entahlah, mungkin dua orang jenius tidak terlalu bagus jika terus bersama. Mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk membicarakan tentang satu hal yang menurut mereka menarik."
"Begitukah?" Himawari mengalihkan pandangannya dan menerawang mengingat keinginannya. "Tapi aku rasa orang jenius itu keren. Aku bahkan ingin punya anak jenius nantinya."
O-oh wajah Shikadai sedikit merona entah kenapa. "Kalau begitu kau harus menikah dengan pria jenius."
"Jenius?" Himawari menatapnya dengan penasaran, lalu dia kembali mengalihkan pandangannya berpikir. "Ehm, pria jenius… siapa ya?"
Shikadai hanya tersenyum melihat wajah innocent Himawari yang sedang berpikir.
"Kalian di sini."
Satu pernyataan itu membuat mereka menoleh ke belakang dan mendapati seorang pria yang berdiri di sana dengan baju kebesarannya.
"Ah, Kazekage-sama." Himawari menunduk sebagai hormat.
"Hm, ada apa?" lain dengan Shikadai yang menanggapi dengan santai.
"Shikadai-nii, kau harusnya lebih sopan kepada Kazekage."
"Tidak apa," Gaara menyela, "Ini di luar kantor, panggil aku biasa saja."
"Baiklah Paman Gaara, ada yang bisa di bantu?" Shikadai kembal bersuara dengan lebih santai. Bukan kurang ajar, tapi memang begitulah sikapnya sekalipun itu dengan Gaara. Bahkan Temari sering memarahinya jika dia menyapa Gaara yang berkunjung dengan terlewat santai.
Gaara sendiri tidak ambil pusing. Dia sudah tahu bagaimana kelakuan kakak iparnya yang menurun ke keponakannya itu. Jadi dia tidak keberatan dengan sikap Shikadai. Setidaknya Shikadai masih akan bersikap formal dan hormat jika dalam kondisi serius.
"Tidak ada, aku hanya kebetulan lewat dan melihat kalian di sini." Jadenya bergilir melirik gadis 14 tahun di hadapannya. Dan tentu saja, hal itu tidak luput dari penglihatan seorang Nara Shikadai. Membuat bocah Nara itu mendengus pelan dan tersenyum tipis.
"Ya ampun, di mana Kurotsi?" tanyanya kemudian kepada dirinya sendiri. "Aku pergi dulu ya, ada yang ingin ku katakan kepada Kurotsi. Jaa.." Shikadai melambai dan melangkah pergi tanpa mengindahkan tatapan protes dari Himawari.
"Shikadai-nii…" ucapnya pelan karena merasa di tinggalkan.
"Kenapa?" dia tersentak saat Gaara bertanya. "Kau ingin pergi juga?"
"Tidak!" Himawari menggigit bibirnya yang langsung menjawab cepat tanpa memperhatikan nada bicaranya yang terdengar semangat. "Ma-maksudku, aku masih ingin di sini."
Gaara mengangguk pelan sambil menatap pemandangan langit yang mulai memerah. Angin yang berhembus membuat rambut berbeda warna itu melambai lembut. Membuat Himawari tersenyum karena nyaman dengan suasana Suna yang ternyata tidak terlalu buruk walau di tengah padang pasir.
"Kau mau melihat sesuatu?"
"Hm?" Himawari menoleh saat Gaara kembali bersuara dan menghentikan keheningan antara mereka. "Se-suatu? Apa?"
"Ikut aku." Gadis Uzumaki itu hanya berkedip bigung dan akhirnya mengekor di belakang Gaara.
Mereka berjalan beringingan menuju suatu tempat yang tidak Himawari tahu. Tapi sepertinya itu seperti tempat khusus untuk seorang Kazekage. Tempatnya sama seperti rumah biasa, tapi terkesan cukup mewah dan rapi. Suasananya juga tidak berisik menandakan kalau tidak ada orang disana.
Mereka berjalan menuju sebuah ruang kaca yang Himawari yakin sebagai tempat sesuatu. Dan benar saja, saat Himawari melangkah masuk dia menatap takjub apa yang ada di sana.
Kumpulan pasir yang membentuk sebuah istana besar dan luas. Sangat indah dan Himawari mengakui jika itu adalah istana pasir yang selalu ingin di buatnya. Dia tersenyum lebar sembari terus menatap kagum istana itu. Dia seperti sedang berada di sebuah area permainan sungguhan.
Tapi, dia mengernyit saat menyadari jika pasir-pasir itu kering. Bagaimana bisa pasir itu terbentuk sekian rupa tanpa hancur walau dengan pasir yang kering.
"Itu pasir emas."
Seperti bisa membaca pikiran Himawari, Gaara mulai menjelaskan. "Pasir emas memiliki masa yang lebih berat dan pasir biasa. Tentu saja bagaimana semua terbentuk tidak mungkin hanya buatan biasa. Aku memakai sedikit cakra untuk bisa membuatnya dan selalu mempertahankan bentuknya agar tidak hancur."
Safir biru Himawari terasa berbinar, menatap kagum penjelasan dan apa yang ada di hadapannya. Itu keren. Batinnya menjerit.
"Ini, sangat indah,, Paman Gaara."
Gaara tersenyum melihat pandangan kagum Himawari atas apa yang di buat. Tapi saat gadis itu memanggilnya 'Paman Gaara', entah kenapa dia sedikit kecewa. Dia yakin gadis itu pasti tidak ingat tentang kejadian sepuluh tahun yang lalu di mana gadis itu memanggilnya 'Paman Kucing'.
"Paman," pria itu menatapnya sebagai respon. "Boleh aku berfoto di sini?" tanyanya dengan riang. Himawari adalah seorang gadis yang ceria dan cepat berteman. Dia tidak akan sungkan atau canggung jika bersama dengan orang yang baru di temuinya asalkan orang itu tidak bersikap jahat padanya.
Gaara mengangguk. Dan dia menerima ponsel Himawari saat gadis itu menyodorkannya. Dia tersenyum saat mengambil satu dua gambar Himawari di sana.
"Terima kasih, Paman." Himawari melihat senang hasil-hasil fotonya yang terlihat begitu mengagumkan dengan latar istana pasir nyata di dalam foto itu. "Hm, apa istana pasir ini punya Pama?"
Gaara mengangguk dan melihat istana pasir itu. "Aku membuatnya karena permintaan seseorang. Aku selalu ke sini jika ingin menenangkan diri."
"Wah, apa… Paman membuatnya untuk orang yang sangat berarti bagi Paman?"
Gaara tersenyum tipis namun tidak menjawab. Dia berbalik dan menatap Himawari lembut. Membuat gadis Uzumaki itu sedikit merona karenanya. Gaara memberikan sebuah kotak kecil kepada Hima sebelum dia melangkah pergi meninggalkan Himawari sendiri.
"Kenapa aku di tinggal." Himawari bergumam pelan. Tapi tak lama dia membuka pelan kotak itu dan hanya menemukan satu lembar foto di sana, foto yang membuatnya terkejut. "Kenapa fotoku dengan istana pasir ini ada pada Paman Gaara?"
Ya, itu fotonya saat usia 4 tahun di depan istana pasir yang di buat oleh sang Ibu saat dia sekeluarga berlibur ke pantai. Foto yang pernah dia berikan kepada Gaara sepuluh tahun yang lalu. Tapi… dia lupa.
.
.
"Hima mau buat istana pasir. Tapi tidak bisa."
"Terima kasih ya.. nanti Paman Kucing main lagi ya sama Hima.."
"Hn, nanti kita ketemu lagi."
"Paman Kucing mau pulang?"
"Iya."
"Kapan kita ketemu lagi? nanti buatkan Hima istana pasir ya."
"Baiklah."
"Hima sukaaaa sekali Paman Kucing."
.
.
Himawari terduduk dari tidurnya saat mimpi itu datang. Dia segera meraih selembar foto yang ada di samping kepalanya dan terdiam mengingat kembali masa lalunya. Beberapa saat kemudian, dia tersenyum karenanya. "Paman Kucing." Gumamnya berbisik sembari mengelus fotonya sendiri.
.
.
"Terima kasih atas bantuannya. Sampaikan salamku kepada Hokage."
"Baiklah. Kami permisi untuk pulang dulu hari ini."
Gaara mengangguk dan Kurotsi serta Yukata berjalan keluar dari ruangan itu. tapi tidak dengan Shikadai dan Himawari yang masih berdiri di sana. Membuat Gaara terdiam menatap mereka. "Ada apa?"
"Hm, itu.. aku lupa jika Ibu ingin Paman datang saat ulang tahun adikku minggu depan." Shikadai berkata dengan nada yang tidak terlalu biasa. "Dia tidak bilang, tapi kurasa dia rindu dengan Paman karena sudah lama tidak bertemu. Dia juga tidak menyuruhku mengatakan ini tapi aku hanya ingin mengatakannya saja. Jika ada waktu maka datanglah."
Gaara menunduk setelah menghela nafas, dia memang sudah lama tidak bertemu Temari. Dia tidak menyangka jika kakaknya itu juga merindukannya. Tapi mau bagaimana lagi. Gaara seorang Kazekage hanya akan berkunjung dan keluar desan jika ada hal penting atau adanya pertemuan lima Kage. Dia tidak bisa keluar seenaknya dari desa apalagi dari Negara Suna tanpa alasan yang jelas.
Gaara bahkan sempat berpikir untuk mengundurkan diri sebagai Kazekage. Masa pimpinannya yang sudah lebih dari 20 tahun tidak salah jika membuatnya ingin berganti tempat. Tapi Gaara masih belum menemukan orang yang tepat untuk posisi itu. dia jelas tidak ingin menyerahkan kepemimpinan desa kepada orang yang tidak bertanggung jawab.
"Nanti akan aku usahakan. Sampaikan salamku untuk kedua orang tuamu." Jawaban itulah yang bisa dia ucapkan.
Shikadai mengangguk mengerti, dia menoleh menatap Himawari yang justru menatap Gaara, dari itu dia mengerti kalau dia harus keluar lebih dulu. "Baiklah, itu saja. Aku permisi."
Ceklek.. blam..
Suara pintu yang terbuka dan tertutup menandakan jika sekarang hanya tinggal mereka berdua dalam ruangan itu.
Tidak ada yang bersuara dan mereka hanya saling menatap. Entah apa yang mereka rasakan, tapi sepertinya mereka tidak keberatan berada dalam situasi itu lebih lama.
"Kau tidak pulang?"
Himawari menunduk saat Gaara memutuskan untuk berbicara lebih dulu. Gadis itu menggenggam sesuatu di tangannya dan kembali mendongak dengan tersenyum manis. Membuat Gaara sempat terdiam dan terpaku. Gadis itu berjalan mendekat. Dan menaruh sesuatu di atas meja kerja Gaara.
Selembar kertas bertuliskan nomor telpon.
"I-itu.. no-nomor telponku." Ucapnya dengan tiba-tiba terbata. Wajahnya menimbulkan sedikit rona merah yang tertangkap di jade Gaara. Membuat pria itu tersenyum tipis.
"Baiklah, aku akan menyimpannya."
Himawari tersenyum malu-malu mendengarnya. Dan selanjutnya dia mengangkat tangannya dan menunjukkan tiga jari. Gaara mengernyit tidak mengerti. "Tiga tahun lagi," ucap Himawari pelan. "Tiga tahun lagi."
Gaara berkedip, semakin tidak mengerti dengan apa yang gadis itu katakan. Bahkan sampai saat gadis itu menunduk dan langsung melangkah pergi. Dia masih terdiam tidak mengerti.
Setelah cukup lama dia sendirian di ruangan itu. Dia meraih kertas dari Himawari tadi. Mengerutkan alis saat merasa ada tulisan lain di balik kertas itu. Dia membalik kertas itu dan membacanya. Selanjutnya wajahnya sedikit merona dengan senyum tipis di bibirnya.
"Hm. Tiga tahu lagi ya?" gumamnya sendiri lalu mengangguk menggenggam erat kertas itu. "Aku tunggu janjimu."
.
.
'Tiga tahun lagi aku ingin menikah dengan Paman Kucing. Apa Paman mau?'