Thursday, 14 July 2016

Uzumaki Family (Chapter 3)

Jika kalian ingin mendownload game disertai cara mengistalnya hingga berhasil silahkan kunjungi


http://crackedgamessoftware.blogspot.co.id/
Disana ada game terbaru seperti pokemon GO, Necropolis dan masih banyak yang lainya



Uzumaky Family
I'll Protect You by Rameen
[U. Naruto x H. Hinata] U. Bolt., U. Himawari
Romance dan Family
Note : OOC / Canon / Typo / NaruHina slight BorutoSarada
Brak duk bruk dug duak bruk…
"Ittaaiiiiii…"
Hinata berkedip bingung saat mendengar suara berisik dari lantai atas yang disusul erangan sakit dari putranya. Wanita cantik itu berjalan untuk mengecek tapi saat dia mulai melangkah di belokan dapur dia reflek melangkah mundur dengan terkejut karena hampir tertabrak Boruto yang berlari kearahnya.
"Boruto-kun, kau kenapa?"
"Hanya jatuh dari tangga Kaa-chan, tapi tidak apa." Boruto nyengir lebar, "Oh ya sepertinya aku terlambat, aku pergi dulu ya.."
"Tapi sekarang masih jam setengah tujuh pagi."
Tap… langkah Boruto berhenti dan dia berbalik dengan wajah bingung.
"Setengah tujuh? Tapi jam dikamarku sudah menunjukkan jam sembilan lewat."
Hinata menghela nafas dan menggeleng. Dia memang heran saat tadi Boruto bilang terlambat, biasanya suami dan putranya itu baru mulai keluar rumah pukul setengah delapan. "Kau lupa? Jam dikamarmu itukan mati, Boruto. Baterainya belum di ganti."
Bocah laki-laki itu berkedip, berpikir dan… tak lama dia memukul keningnya. "Benar ttebasa! Jam itu mati. Hah, kalau tahu begitu lebih baik aku tidur lagi." Keluhnya kemudian.
"Eh, kok tidur lagi? Memangnya kenapa kalau bangun pagi. Kan lebih segar."
"hehehe…" bocah laki-laki itu menggaruk kepalannya yang tidak gatal, membuat Hinata tersenyum dan menggeleng lagi.
"Sudahlah, bagaimana kalau kau membantu Ibu menyiapkan sarapan, setelah itu bangunkan Ayah dan Adikmu."
"Baiklah. Serahkan padaku!" wanita berambut indigo itu lagi-lagi tersenyum melihat tingkah sang anak.
. . .
"Ugh.." kali ini Hinata mengernyit bingung saat Naruto datang dengan wajah menahan sakit sambil memegang perutnya. Seingatnya tadi dia menyuruh Boruto membangunkan Naruto dan Himawari, lalu kenapa suaminya sekarang terlihat sedang sakit.
"Naruto-kun, kau tak apa?" dia dengan cepat membantu suaminya duduk dikursi makan. "Kau kenapa dan… dimana Boruto?"
"Hm, mungkin dia sedang membangunkan Hima. Semoga dia tidak membangunkan adiknya dengan cara yang sama seperti dia membangunkanku." Wajah Naruto masih menekuk lucu. Hinata hanya menghela nafas karena sudah tahu bagaimana cara Boruto membangunkan Ayahnya.
"Sudahlah, mungkin dia hanya bercanda." Hinata bicara sambil kembali menyajikan makanan di atas meja.
"Bercanda? Dia melakukannya hampir setiap hari Hime…" pria pirang itu mulai merengek di pagi hari. Tapi Hinata hanya diam membuat Naruto mengerucutkan bibirnya. Saat wanita itu sedang menaruh sendok diatas meja, dengan cepat dia menarik sang istri ke pangkuannya.
"Kyaa.. Naruto-kun.." Hinata protes, tapi Naruto hanya nyengir lebar tanpa melepas pelukannya dipinggang sang istri agar wanita itu tidak bisa beranjak dari pangkuannya. "Naruto-kun, aku harus meyiapkan sarapan, lagipula nanti anak-anak lihat."
"Boruto akan lama jika membangunkan Hima. Dia akan menunggu adiknya mencuci muka dan gosok gigi, baru bersama turun ke dapur. Jadi tenang saja dattebayo!" Naruto semakin mengeratkan pelukannya.
"Hime, besok kau saja yang membangunkan aku.."
"Kenapa?"
"Aku lebih suka dibangunkan dengan ciuman daripada dengan tinjuan." Wajah Hinata memerah mendengar perkataan Naruto, dia ingat kalau dia memang selalu mencium Naruto agar suaminya itu bangun. "Boruto itu selalu membangunkanku dengan cara kasar, kalau tidak menindihku, dia pasti akan meninju perutku."
Bibir Naruto makin mengerucut saat mengingat bagaimana cara sang anak membangunkannya. Jelas jika di bangunkan istri akan lebih menyenangkan, atau dibangunkan putrinya yang lucu. Hima juga akan membangunkannya dengan lembut. Bukannya seperti Boruto.
"Hah,, aku kan harus menyiapkan sarapan."
"Tapi kau bisa membangunkan aku sebentar setelahnya."
"Membangunkanmu tidak mungkin sebentar Naruto. Karena kau susah sekali bangun."
"Hime, jangan mengataiku.." Hinata tersenyum geli mendengar rengekan Naruto. Suaminya yang lucu, ceria dan manja. Tentu saja suami yang sangat ia cintai. "Lagi pula kenapa sih, Boruto selalu membangunkanku dengan kasar."
"Kalau tidak begitu, Tou-chan tidak akan bangun!"
Sepasang suami istri itu kaget mendengar suara putranya. Dan Hinata langsung memaksa melepas pelukan suaminya. Membuat Naruto tambah cemberut.
Pria pirang itu menoleh dan menatap putranya, "Kau juga selalu mengganggu Tou-chan."
Boruto hanya mengangkat bahu cuek.
"Ohayou Papa.." seketika senyum Naruto kembali saat putri kecilnya menyapa. Dia segera menarik putrinya ke pangkuannya dan mencium pipi gembil mirip Hinata itu.
"Ohayou sayang. Kau baik-baik saja?"
Himawari mengernyit lalu mengangguk, "Iya!"
"Boruto-nii tidak membangunkanmu dengan kejam kan?"
"Aku tidak mungkin tega pada Hima." Boruto menyela cepat.
"Lalu kenapa kau tega pada Tou-chan?"
Kedua perempuan yang ada disana hanya menghela nafas dan menggeleng saat kedua laki-laki disana kembali bertengkar. Hal yang sudah sangat biasa.
. . .
Seperti tim 7 dahulu, tim Konohamaru selalu berkumpul dijembatan jika akan melakukan misi, berlatih atau hanya sekedar menyampaikan pengumuman dari ketua tim, Konohamaru.
Boruto semakin mempercepat larinya saat Mitsuki dan Sarada sudah masuk dalam penglihatannya. "Ohayou minna!"
"Ohayou!"
"Kau datang paling akhir Boruto!"
"Yang penting tidak terlambat."
Sarada, gadis cantik berambut hitam itu mendengus mendengar jawaban santai Boruto. Kalau dulu di tim 7, Naruto dan Sasuke yang sering bertengkar. Maka sekarang Boruto dan Sarada lah yang sering bertengkar.
"Kenapa kalian selalu bertengkar?" Konohamaru datang dan langsung bertanya.
"Tidak ada yang bertengkar sensei! Dari pada itu, sebaiknya kita langsung latihan ttebasa! Kau berjanji akan mengajari jurus baru kan?"
"Hah, baiklah. Sekarang ayo kita ke hutan timur."
"Memang kita mau berlatih apa sensei?"
"Ah, pertanyaan yang bagus Mitsuki. Kita akan berlatih memusatkan cakra dikaki agar bisa berjalan dipohon. Jadi, ayo berangkaaattt!"
Hening.
Teriakan semangat Konohamaru yang terlalu over hanya mendapat tatapan bosan dari ketiga muridnya. Membuatnya langsung menunduk seketika. Hei, dimana semangat api digenerasi yang baru?
. . .
"Permisi, ada apa ini?"
Konohamaru bertanya pada salah satu penduduk saat mereka menemukan keramaian saat dalam perjalanan menuju hutan timur.
"Itu, ada anak yang terluka karena serangan beruang ganas dihutan timur." Jawab salah satu penduduk.
"Beruang lagi?" ucap Sarada dan Boruto bersamaan. Kenapa mereka sering kali berurusan dengan binatang itu? terakhir kali mereka menangkap beruang yang seperti panda, atau panda yang seperti beruang, entahlah. Perdebatan itu masih belum menemukan akhir antara Boruto dan Sarada.
Setelah bertanya-tanya, Konohamaru kembali menghadap ketiga muridnya. "Ehm," dia berdeham singkat. "Baiklah, ini mungkin bukan misi. Tapi tidak ada salahnya kan jika kita membantu menangkap beruang itu agar para penduduk bisa lebih tenang dan selamat?"
"Lalu bagaimana dengan latihannya sensei?"
"Tenang saja, aku akan menangkap beruang itu sendirian dengan cepat. Jadi setelah itu kita bisa langsung latihan ttebasa!"
"Lagi-lagi kau selalu saja sombong Boruto." Sarada menyela kesal.
"Itu benar kan? Serahkan pada anak Hokage ke-7."
"Tidak usah bawa-bawa Hokage, Mitsuki, dia bahkan tidak mau menjadi Hokage."
"Tanpa menjadi Hokage pun, menangkap beruang itu urusan kecil ttebasa."
"Kau selalu saja besar bicara."
"Sudahlah, lebih baik kita segera berangkat kan?"
. . .
Saat ini, mereka sedang mencari keberadaan beruang itu dengan membentuk dua kelompok, Sarada dan Boruto, sedangkan Mitsuki dan Konohamaru. Mereka berencana mengepung beruang itu dan menangkapnya ditengah-tengah.
"Boruto," bocah pirang itu menoleh saat teman perempuannya memanggil secara bisik-bisik. "Apa kau mendengar sesuatu? Rasanya ada yang memperhatikan kita dari balik semak-semak itu."
Boruto melihat arah telunjuk Sarada yang mengarah ke suatu semak-semak tinggi. "Mungkin saja itu beruangnya. Ayo kita ke sana."
"Hei tunggu," Sarada menarik tangan Boruto saat bocah pirang itu ingin melangkah mendekat. "Aku merasakan adanya cakra. Seekor beruang tidak mungkin punya cakra."
Boruto mengernyit, apa itu memang bukan beruang? Lalu siapa? Tidak mungkin ada penduduk yang masih mau datang ke hutan saat ada beruang liar di sana. Setelah berpikir sejenak, dia mengeluarkan suriken dari tasnya.
"Apa yang mau kau lakukan?"
"Tentu saja bersiap-siap, kalau mereka berbahaya, kita bisa menyerang lebih dulu."
"Menyerang? Lebih baik kita pergi saja."
"Apa yang kau katakan Sarada? Sebagai shinobi, kita tidak boleh takut pada apapun."
"Tap –"
"Hei, siapa disana?" Boruto langsung berteriak dan memotong perkataan Sarada. "Keluarlah, atau pergi!"
Tidak ada jawaban, dan itu membuat putra Hokage itu sedikit kesal. Dan dengan tiba-tiba dia melempar kunainya kearah semak-semak itu.
Triingg… tap..
Suara kunai yang ditangkis dan menancap dipohon membuat mata Sarada melebar. "Boruto apa yang kau lakukan? Disana ada orang, bagaimana kalau mereka orang jahat?"
"Sudah tenanglah, akan aku lawan mereka."
"Ho.. rupanya kau berani juga ya, bocah!" dua orang keluar dari sana dengan tatapan tajam yang mengarah pada Boruto dan Sarada. "Kami sudah membiarkan kalian, tapi sepertinya kalian sendiri yang cari masalah."
"Mungkin mereka ingin cepat mati." Salah satu dari orang itu menjawab."Baiklah, kita kabulkan saja keinginan mereka –hei tunggu…"
Boruto dan Sarada langsung melompat dan berlari diatas pohon. Kedua orang tadi langsung mengejar karena takut jika orang lain tahu keberadaan mereka.
Mereka adalah perampok-perampok yang juga memiliki cakra dan pandai menggunakan senjata. Mereka berada dihutan itu untuk bersembunyi sembari menunggu teman mereka yang masih mengurus beberapa barang hasil rampokan. Awalnya mereka sengaja berdiam diri, tapi lemparan suriken Boruto tadi hampir mengenai kepala mereka sehingga membuat mereka marah.
Disisi lain, Boruto mengumpat kesal saat Sarada menariknya paksa untuk kabur. Dia ingin melawan tapi gadis itu malah mengajaknya lari. Dengan menggerutu dia akhirnya mengikuti langkah Sarada yang berlompatan didahan pohon. Dia berpikir untuk mencari Konohamaru dan Mitsuki baru melawan orang-orang tadi.
"Hei tunggu bocah."
"Sial!" dia mengumpat lagi saat suara menjengkelkan itu terdengar. "Sarada, sebaiknya kita lawan mereka. Jumlah kita pas."
"Aku bisa merasakan kalau cakra mereka lebih besar dari kita Boruto. Sebaiknya kita cari Konohamaru-sensei dan Mitsuki."
"Ck!" Boruto hanya berdecak kesal.
Set… "Aaakhh.."
"Sarada!"
Bruuk..
Beberapa suriken di lempar ke arah mereka. Membuat tangan dan kaki Sarada terluka hingga terjatuh. Boruto dengan cepat melompat dan menangkap Sarada. "Sarada kau tidak apa?"
"Ya, tidak apa. ugh.."
Boruto melihat tangan dan kaki Sarada terluka dan mengeluarkan darah, dan tiba-tiba saja dia menjadi lebih kesal pada orang –orang itu. "Sial," dia berdiri dan berbalik untuk membalas tapi Sarada segera menarik tangannya.
"Jangan Boruto."
"Lepas Sarada. Mereka membuatmu terluka. Aku tidak akan diam saja. Aku akan balas mereka yang sudah berani melukai mu."
"Tapi Boruto.."
Tap tap..
Boruto dan Sarada menoleh. Kedua orang itu sekarang berdiri dihadapan mereka dengan tersenyum. "Bagaimana? Mau kabur lagi?"
"Heh, kalian yang cari masalah tapi kalian yang kabur. Dasar bocah!"
Kemarahan Boruto semakin naik saat dibilang seperti itu. "Sialaaan.." dia membentuk segel. "Kage bunshin no jutsu!"
Pof pof pof.. tiga bayangan muncul disisi kiri dan kanannya. "Lawan aku kalau berani."
"huh, baru bisa jurus bayangan saja kau sudah sombong bocah."
"Aaaaaa…." Boruto dan bunshinnya berlari dan menyerang. Dua bunshin Boruto melawan satu perampok, dan dua lainnya juga melawan satu perampok.
Boruto menendang perampok itu, tapi dengan cepat dihindari sementara bunshinnya mencoba meninju wajah perampok itu, dan… buakh.. kena.
"Brengsek!" perampok itu mengumpat kesal saat tinjuan bunshin Boruto membuatnya terjatuh. Dia mengambil pedangnya dan kembali menyerang.
Ting ting ting…
Boruto dan bunshinya menangkis setiap tebasan pedang itu, membuat perampok itu semakin marah. Dia berputar dan langsung menyerang bunshin Boruto… set.. pof… bunshin Boruto menghilang. Tapi perampok itu tidak menyadari kalau Boruto asli sudah membuat rasengan. Dia berbalik.
"Rasengan!" Boruto melempar cahaya berputar itu kearah sang perampok. Tapi saat cahaya biru itu menghilang, sang perampok tersenyum.
"Cih, sepertinya jurusmu belum sempurna." Perampok itu mengejek, tapi Boruto malah tersenyum. Syuu,, crak.. "Aaaggrrr…" duakh.. brak..
Rasengan itu mengenai dada sang perampok sehingga perampok itu mundur sampai menabrak pohon. Yah, perubahan bentuk yang unik pada rasengan Boruto membuat rasengan itu tampak menghilang sebelum akhirnya menyerang tanpa terlihat.
"Yosha!" dia berteriak senang saat perampok itu terkapar.
"Kyaaa…" tapi teriakan Sarada membuatnya kaget dan langsung melesat menuju tempat Sarada tadi. Matanya melebar saat satu perampok yang lainnya tadi sedang berlari sambil mengacungkan kunai kearah Sarada.
Secepatnya dia berlari dan berdiri didepan Sarada yang terduduk di samping pohon. Membuat serangan kunai perampok itu terkena punggungnya. Sama seperti saat Naruto melindungi Tsunade dari serangan Orochimaru dulu.
"Akh.."
"Boruto!"
"Heh, dasar bocah." Perampok yang berhasil mengalahkan dua bunshin Boruto tadi langsung menyerang Sarada yang terluka, tapi dia menjadi sedikit kesal saat Boruto melindungi gadis itu. "Minggir dan mati saja kau."
Perampok itu menarik kunainya dan berniat menusukkan kembali ke punggung Boruto. Tapi putra Hokage itu berbalik dan segera menahan dengan tangannya serangan kunai sang perampok juga menahan tangan perampok itu dengan sebelah tangannya. Sementara sebelah tangannya lagi mengeluarkan rasengan.
"Beraninya kau.." suaranya mendesis marah pada perampok itu, "..beraninya kau menyerang Sarada! Rasakan ini,," dia mengarahkan rasengan itu ke perut sang perampok. "Rasengaaaann!" hal yang sama yang pernah Naruto lakukan saat pertama kali melawan Kabuto.
"Aaaaggrrr…" bruak.. perampok itu terpental dan menabrak pohon di belakangnya. Sepertinya pingsan seketika.
"Hah… hah.. hah.." bruk..
Boruto jatuh dengan nafas memburu. Tenaganya serasa habis, ditambah lagi luka dipunggung dan tangannya terasa begitu perih. Melihat hal itu Sarada dengan susah payah bangkit dan menghampiri Boruto.
"Boruto! Boruto bangun,, hoi Boruto.."
Safir biru itu terbuka sedikit saat Sarada menaruh kepala bersurai pirang itu ke pangkuannya. "Sarada… apa kau tidak apa?"
"Baka, aku baik-baik saja, justru bagaimana dengan kau. Kau terluka."
"Tidak apa… akh.. ini bukan masalah,, ttebasa!" bocah pirang itu tersenyum dengan bibirnya yang mengeluarkan darah.
Tap… tap.. tak lama Konohamaru dan Mitsuki datang dengan membawa seekor beruang yang tidak terlalu besar dan terlihat sudah tepar.
"Boruto, Sarada, ada apa ini?"
"Sensei,, tolong Boruto, dia terluka. Tadi ada orang-orang yang menyerang kami lalu Boruto melawannya tapi dia sekarang terluka."
"Astaga! Sebaiknya cepat kita bawa ke rumah sakit." Konohamaru langsung membawa Boruto yang sudah pingsan. "Apa kau juga terluka?" Sarada mengangguk, "Mitsuki, bantu Sarada."
"Aku tahu." Mitsuki menghampiri Sarada dan membantunya berdiri. "Ayo Sarada!"
Mereka berempat pergi. Meninggalkan dua perampok dan satu beruang yang tidak sadarkan diri. Setengah jam kemudian, pihak penolong datang untuk membawa perampok dan beruang itu ke desa.
. . .
Esoknya…
"Sarada-nee?"
"Hai Hima. Anoo… apa kakakmu ada?"
Himawari tersenyum saat mendapati wajah malu-malu Sarada yang berkunjung ke rumahnya. Dia tahu jika gadis Uchiha itu ingin menjenguk kakaknya yang terluka. Memang, luka mereka tidak terlalu parah sehingga setelah di obati di rumah sakit, mereka berdua bisa langsung pulang. Luka Sarada yang lebih kecil, membuatnya sudah bisa berjalan dan memutuskan untuk menjenguk Boruto.
"Ada, dia sedang istirahat di kamarnya." Hinata datang dan menjawab pertanyaan itu, "Masuklah Sarada-chan. Dia mungkin akan senang saat kau datang."
"Oh, i-iya Bibi." Gadis itu agak grogi saat berhadapan dengan Hinata. Dia melihat Hinata sebagai sosok wanita yang lembut dan hangat. Dan dia tahu kalau Boruto hanya akan bersikap hangat saat bersama Ibu dan Adiknya.
Dia melangkah ragu menuju kamar Boruto yang ada di lantai dua. Itu pertama kalinya dia berkunjung ke kediaman Uzumaki. Ditangan kanannya ada sekantong buah jeruk. Sebenarnya dia ingin membawa bunga awalnya, tapi saat mendapat tatapan menggoda dari Ibunya, dia langsung menaruh kembali bunga itu dan meraih sekantong buah jeruk kesukaan teman pirangnya itu.
Tok tok tok..
"Masuk!"
Ceklek.. pintu itu terbuka. Membuat Boruto yang sedang membaca komik menoleh. "Sarada?"
"Hm,, aku.. membawa sedikit buah." Gadis itu merasa aneh jika ingin mengatakan menjenguk. Jadi dia menggunakan alasan buah untuk bisa berkunjung.
"Hm?" Boruto berkedip, "Itu alasan yang aneh. Tapi tidak apa, aku suka buah-buahan apalagi jeruk. Kemarilah!"
Sarada melangkah masuk dan duduk di kursi yang ada, dia menaruh buah itu ke atas meja dan mengambilnya satu. "Ini," dia memberikan buah itu pada Boruto.
"Akh.." tangan Boruto yang terjulur untuk mengambil buah itu membuat punggunya terasa sakit.
Sukses membuat Sarada sedikit panik, "Kau tidak apa?"
"Tidak apa, punggungku sedikit sakit."
"Hah, dasar." Gadis itu mendekatkan kursinya dan mengupas jeruk itu. Dengan teliti dia membersihkan buah itu sebelum memberikannya pada Boruto. "Ini, tinggal dimakan."
"Aku bisa membukanya sendiri ttebasa. Tanganku tidak sakit."
"Sudah jangan cerewet," gadis Uchiha itu memaksa Boruto memakan buah yang ada ditangannya, "Karena kau sakit gara-gara aku, jadi kupikir tidak salah kalau hanya me-menyuapimu buah jeruk."
Wajah cantik itu sedikit merona, tapi suasana kamar Boruto yang sedikit gelap membuatnya tidak terlihat, begitu pula dengan Boruto. Entah kenapa wajahnya memanas saat Sarada lagi-lagi menyuapinya dengan sabar.
"Maaf.." Boruto mengernyit saat gadis itu meminta maaf, seingatnya Sarada tidak punya salah. "Maaf karena aku tidak percaya padamu. Kalau saja kita melawan perampok itu berdua dari awal tanpa perlu kabur, mungkin aku tidak akan terluka dan juga bisa membantu. Tapi.."
"Hei sudahlah, itu bukan salahmu. Memangnya siapa yang mau terluka. Walaupun kau tidak terluka, aku bisa kok menghadapi mereka sendiri. Jadi tidak perlu meminta maaf." Sarada menunduk mendengarnya. Mungkin Boruto memang sombong saat mengatakan kalau ia bisa mengalahkan perampok itu sendiri, tapi tetap saja, Boruto melakukan itu untuk melindunginya.
"Seharusnya aku yang minta maaf," kepala bersurai hitam itu mendongak dan tatapan mereka bertemu. "Aku minta maaf karena tidak bisa melindungimu, sampai kau terluka. Kalau saja aku tidak mencari masalah dengan perampok itu. Mereka juga tidak akan menyerang."
Sarada tetap diam dan itu membuat suasana mereka canggung. Tapi gadis itu masih tetap mengupas jeruk dan menyuapinya pada Boruto.
Setelah beberapa menit kemudian, Sarada kembali menatap safir Boruto dengan mantap, membuat pemuda pirang itu sedikit salah tingkah. "Terima kasih, Boruto!"
"Em, ya, itu… tidak masalah.. hehehe.."
"Aku janji, aku akan lebih sering berlatih agar tidak merepotkanmu lagi. Saat aku sudah lebih kuat dan saat aku manjadi Hokage nanti, kau tidak perlu repot melindungi aku lagi."
"Hei, aku sudah bilang, saat kau menjadi Hokage nanti, aku akan menjadi Shinobi yang membantumu. Aku akan tetap melindungimu."
Sarada menunduk lagi, "Tapi jika begitu, berarti aku tetap lemah."
"Siapa bilang," tatapan mereka kembali bertemu. "Bukankah kau ingin menjadi Hokage seperti Ayahku? Dan aku ingin menjadi Shinobi seperti Ayahmu. Walau paman Sasuke sering membantu dan melindungi Ayahku, bukan berarti kalau Ayahku lemah. Begitu juga sebaliknya, mereka saling membantu dan saling melindungi. Jadi percayalah kalau kau itu juga kuat."
Sarada tertegun, benar! Ayahnya dan Hokage juga sering saling melindungi dan saling membantu. Dan dia yakin kalau Ayahnya juga Hokage adalah orang-orang yang kuat.
"Benarkah?"
"Hm… kau harus percaya pada dirimu sendiri."
Sarada terdiam dan menatap safir biru Boruto dengan intens, 'Tapi aku lebih percaya padamu, Boruto.' Ucapnya dalam hati.
Dia tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih."
"Huh," Boruto mendengus saat melihat Sarada yang tersenyum dan berterima kasih terlihat sangat manis. "Kau tidak cocok bersikap manis seperti itu." lanjutnya pelan.
"Apa? siapa yang manis?"
"Tidak ada."
"Bohong, tadi kau bilang 'manis', siapa yang manis?"
"Jeruknya manis."
"Benarkah? Kau mau lagi? Akan aku kupaskan lagi."
Blush.. "Ti-tidak usah ttebasa! Aku bisa mengupas dari memakannya sendiri."
"Tidak usah malu-malu begitu kan?"
. . .
Pertengkaran kecil mereka, membuat dua orang dibalik pintu tersenyum dengan kamera ditangan. Dua orang berambut indigo.
.
.
.
END
Baiklah… disini aku buat Hinata dan Himawari jadi tukang intip. :D
Gimana menurut readers chapter ini? apakah feel BorutoSarada terasa? Atau kurang? Aku berencana membuat lanjutannya di chapter 7 atau 8 nanti. Saat mereka sudah dewasa. Karena fic ini bakal aku buat 10 chapter. Tentang Boruto dua chapter, Himawari mungkin tiga chapter, dan lainnya Naruhina.
Oh ya, tentang pertarungan tadi. Aku nggak terlalu jago buat yang begituan, jadi aku nyontek beberapa adegan saat pertarungan Naruto di episode pertarungan Sannin.
Dan… rencananya chapter depan aku mau buat tentang Himawari. Cocoknya sama siapa? Shikadai, Mitsuki, atau Inojin? Boleh kasih saran pairing atau ide cerita. Dan setiap chapter bakal tetap aku masukin romansa NaruHina sebagai pairing utama.
Oke, segitu aja. Semoga suka dan tidak mengecewakan.
Salam, Rameen

Friday, 8 July 2016

Monday, 4 July 2016

Uzumaki Family (Chapter 2)

Chapter 2
Uzumaki Family
Cooking With You By Rameen
Disclaimer By Masasi Kisimoto
[U. Naruto x H. Hinata] U. Bolt., U. Himawari
Romance dan Family
Note : OOC, Typo, Gaje, oneshot, setting cerita Naruhina masih pacaran
Pagi yang cerah menyambut hari bagi seluruh warga Negara Api. Bukan hanya Negara api, tapi seluruh bumi. Kicauan burung yang bernyanyi dan udara segar pasca hujan semalam terasa menyejukkan dan menyegarkan. Banyak yang sudah beraktifitas dirumah dan ada juga yang masih dalam misi –bagi para shinobi tentunya.
Namun tidak bagi shinobi satu ini, dia tidak ada misi dan memutuskan untuk menjalani pagi cerahnya dengan berjalan-jalan sambil mencoba beberapa makanan untuk sarapan.
"Yo Naruto!" seorang pedagang menyapanya, "Sedang jalan-jalan pagi?"
"Iya paman, berhubung tidak ada misi."
"Oh, sudah sarapan belum?"
Naruto menggeleng sambil nyengir. "Belum paman, ini rencananya mau ke Ichiraku saja buat sarapan."
"Kau suka sekali ramen ya." Naruto hanya nyengir semakin lebar karena perkataan pedagang itu, "Tapi aku punya onigiri buatan istriku. Apa kau mau mencoba?"
"Benarkah? Tapi itukan untuk paman."
"Tidak apa, aku sudah kenyang. Dia membawakannya banyak sekali tadi. Ini.." paman itu memberi sebungkus kantung berisi onigiri. "..semoga enak dan kau suka. Biasanya aku membuatnya bersama istriku, tapi tadi dia bilang kalau itu buatannya sendiri khusus untukku. Hahaha…" sepertinya pedagang itu senang sekali mendapat masakan khusus sang istri.
"Wah, arigatou paman. Sepertinya paman dan istri paman mesra sekali ya? Apa memasak bersama itu bisa jadi hal yang menyenangkan, paman?"
"Yah, begitulah. Coba saja kau masak bersama kekasihmu, pasti akan terasa semakin akrab dan menyenangkan."
"Hehe,, begitu ya. Baiklah akan aku coba nanti. Aku permisi ya paman, terima kasih onigirinya ttebayo."
"Ya sama-sama."
Naruto kembali berjalan dengan senyum senang saat dia berpikir tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk sarapan. Tak lama kemudian dia melihat kekasihnya yang seperti baru saja selesai belanja, siapa lagi kalau bukan sang sulung Hyuuga yang sudah menjadi kekasihnya sebulan ini.
"Hinata-chan.."
Gadis berambut indigo panjang itu berhenti dan menoleh. Seulas senyum hadir diwajahnya saat melihat sang pujaan hati menghampirinya. "Naruto-kun, ohayou!"
"Ohayou Hinata-chan.. hehe. Kau baru selesai belanja?" Hinata mengangguk menjawab pertanyaan Naruto. "Wah, kau rajin sekali ya. Masakanmu juga enak. Kau pasti akan jadi istri yang baik nantinya dattebayo."
Seketika wajah Hinata merona malu. Sementara Naruto yang baru menyadari ucapannya hanya tertawa canggung sambil menggaruk tengkuknya. "Eh, kau… mau memasak apa?" ujarnya mencairkan suasana.
"A-aku hanya memasak biasa saja untuk makan siang. Beberapa ikan dan udang, juga sayur."
"Oh, pasti enak ya?" Naruto menatap belanjaan Hinata penuh harap.
Hinata tersenyum melihatnya, "Naruto-kun mau mencoba masakanku nanti?" Naruto hanya tersenyum lebar, "Nanti akan kuantar ke apartemen Naruto-kun untuk makan siang."
"Ngg itu.." Naruto teringat kata-kata pedagang tadi kalau memasak bersama itu sepertinya menyenangkan. "..apa kau mau jika…"
Hinata mengerutkan keningnya penasaran akan sikap gugup Naruto. "Jika…?" tanyanya ulang meminta terusan dari kalimat pemuda pirang itu.
"Jika memasaknya di apartemenku ttebayo. Kita masak sama-sama."
"Eh?" Hinata merona karena kalau dia mau berarti mereka akan menghabiskan waktu memasak berduakan. Memang hubungan mereka sudah berjalan sebulan sejak saat dibulan waktu itu. Tapi mereka masih menjalaninya dengan malu-malu.
Belum lagi kalau ada misi yang membuat mereka jadi jarang bertemu. Tapi Hinata berpikir kalau tidak ada salahnya jika mereka menghabiskan waktu bersama saat tidak ada misi. Pelan dia mengangguk, "Baiklah. Aku mau kok memasak di apartemen Naruto-kun."
"Benarkah?" Hinata tersenyum dan mengangguk. Membuat senyum Naruto semakin lebar." Baiklah, ayo, Hinata-chan!"
. . .
Disinilah mereka sekarang, berdua didepan dapur dalam apartemen Naruto. Hinata mulai mengeluarkan belanjaannya dari keranjang dan menaruhnya ke atas meja.
"Hinata-chan, sayurnya banyak sekali. Ini apa ttebayo?"
"Itu sayur bayam Naruto. Sayur iru bagus untuk kesehatan dan pencernaan."
Naruto mengangguk puas karena kekasihnya itu juga pintar dalam hal gizi. "Jadi, apa yang bisa aku bantu?"
"Kau bisa mengupas dan memotong kentangnya?"
"Tentu saja ttebayo. Serahkan padaku!"
Limat menit kemudian, "Naruto-kun, itu untuk sup, jangan mengirisnya terlalu tipis dan kecil seperti itu."
"eh? Maaf Hinata, aku tidak tahu."
Hinata hanya tersenyum dan mengambil sebuah kentang, "Begini caranya.." dia memberi contoh untuk Naruto tapi yang diperhatikan pemuda itu justru wajahnya. "Kau bisa?" Hinata menatapnya yang membuatnya tersentak dan buru-buru melihat contoh yang diberikan Hinata.
"Oh begitu, aku mengerti." Dia kembali mengambil alih pekerjaan itu.
Kreseeekk..
Eh? Apa itu? Kresek.. Naruto terkejut dan penasaran tentang apa itu. Dia mencoba melihat dan sebungkus kantong asoy hitam bergerak kembali. Keningnya berkerut penasaran. Dia meraih kantung itu dan membukanya, seketika…
"Huuwaaa,, Hinata-chan ikannya melompaaatt…"
..klepek klepek.. ikan itu melompat-lompat karena tidak ada air.
"Naruto-kun, jangan teriak." Hinata dengan gesit mengambil ikan itu, "Ikannya memang kubeli yang masih hidup biar segar."
"Begitu?" Naruto kembali mendekat setelah tadi dia sempat mundur jauh karena tiba-tiba ikannya melompat dari dalam kantung. "Lalu bagaimana memasaknya ttebayo..?"
"Begini.." Hinata menaruh ikan itu dan mengambil anak batu dan menutus kepala ikan itu sekali dan kuat membuat ikan itu mati seketika. "..nah baru bisa dibersihkan." Hinata berujar riang tanpa menyadari Naruto yang menatap horror dirinya yang membunuh ikan dengan begitu mudahnya.
'Ugh, jangan sampai aku mencari masalah dengan Hinata.' Gumam Naruto dalam hati sembari menelan ludah.
"Naruto-kun, bisa kau potong kacang panjangnya juga? Begini caranya.." Hinata langsung memberi contoh agar Naruto tidak salah lagi.
"Yosh,, pasti akan kubereskan.." dia nyengir lebar membuat Hinata tersenyum. "Ne Hinata, bukankah ini menyenangkan?"
"Menyenangkan?"
"Iya, memasak berdua begini ternyata romantis ya. Aah, aku tidak sabar. Kalau nanti kita sudah menikah, kita bisa melakukannya setiap hari kan?" Naruto dengan santai dan lancar bicara sambil memotong kacang panjang itu.
Sementara Hinata merona mendengar lamaran tidak langsung dari kekasihnya itu. Dia tersenyum malu-malu saat juga ikut membayangkan kehidupan pernikahannya dengan Naruto yang akan romantis nantinya.
"Ugh, Hinata-chan…" Hinata menoleh saat mendengar suara erangan sakit dari Naruto.
"Naruto-kun, kau kenapa?"
"..perutku sakit. Aku ke toilet dulu ya." Naruto langsung meninggalkan pisaunya dan berlari menuju toilet. Hinata berkedip dan menggeleng melihat tingkah lucu Naruto. Dia kembali fokus pada masakannya.
Sepuluh menit kemudian Naruto kembali dan melihat kalau semua sayuran sudah selesai dipotong. "Hinata-chan, kenapa sayurannya banyak sekali.." ujarnya lirih, dia memang tidak terlalu suka sayur.
"Kan sudah aku bilang kalau sayur itu bagus untuk kesehatan dan pencernaan Naruto. Kau harus memakannya juga agar seimbang dengan makanan lainnya."
"Eh? I-iya ak-aku suka makan sayur kok.. hehe" dia waspada saat Hinata sudah mulai mengoceh dan memandangnya dengan mata yang sedikit aneh, kilasan tentang ikan saat nyawanya melayang tadi kembali berputar dengan cepat. Ditambah lagi posisi pisau yang dipegang Hinata erat.
"Aku suka makan sayuran. Ini lihat… aku suka makan wortel," grutuk grutuk, suara wortel mentah yang keras yang dikunyah membuat Hinata sedikit mengernyit, "Aku juga suka kentang.."
Dia meraih kentang dan memaksa menguyah dan menelan kentang mentah yang terasa aneh dilidahnya.
"Na-naru.."
"Tenang saja, aku juga suka kacang panjang ini…"
"Tapi itu kan –"
"…huwaa,,, pedaaasss!"
"…cabe hijau." Hinata menggaruk tengkuknya setelah melanjutkan kata-katanya yang sempat terpotong. Bukan salahnya kan, dia sudah berusaha memperingati tapi Naruto tidak mau mendengar.
Lagipula dia tidak menyangka Naruto bisa salah membedakan kacang panjang dan cabe hijau. Memang, Hinata memotong sayur-sayuran itu dengan bentuk potongan yang sama, warna sayur yang sama-sama hijau semakin memperburuk keadaan. Disamping itu, pengetahuan Naruto yang kurang terhadap sayuran juga mendukung.
Semenit kemudian setelah rasa pedas itu hilang Naruto menatap tajam setiap potong sayuran untuk melihat perbedaan satu sama lain. Dan benar saja kalau sayuran itu berbeda walau warna dan bentuk potongannya sama. Dia mengumpat kesal saat harus memakan cabe hijau yang entah kenapa sangat pedas.
"Sudahlah, lebih baik kau duduk dan menunggu saja. Biar aku yang menyelesaikannya."
"Heeeh,, mana bisa begitu. Aku sudah janji ingin membantumu, lagipula memasak bersama kan ideku."
"Tapi…"
Tok tok tok
Suara ketukan pintu memotong kata-kata Hinata –lagi. Membuat sepasang kekasih itu menoleh bingung. Naruto berjalan meninggalkan Hinata didapur.
Dia membuka pintu dan mendapati Shino yang berdiri tegap didepan pintu apartemennya. "Shino? Ada apa?"
"Hokage-sama memanggilmu."
"Kenapa?"
"Mungkin ada misi."
"Misi apa?"
"Entahlah!"
"Kenapa harus sekarang, apa tidak bisa nanti?"
"Katanya sekarang!"
"Apa kau juga ikut dalam misi ini?"
"…" Naruto mengernyit saat Shino tidak lagi menjawab, sebagai gantinya, pemuda pirang itu menatap horror puluhan serangga yang terbang dibelakang Shino. "Dipanggil Hokage. Sekarang!" mungkin Shino kesal dengan pertanyaan yang berturut-turut itu.
"I-i-iya ttebayo. A-aku mengerti." Ujarnya tergagap, jujur saja, kenapa Shino suka sekali mengancam dengan serangga? Naruto menghela nafas lega saat serangga itu menghilang dan Shino berjalan pergi. "Dia menakutkan ttebayo."
"Naruto-kun?" pemuda pirang itu menoleh saat Hinata menghampirinya. "Ada apa, itu tadi Shino kan?"
Naruto mengangguk, "Kakashi-sensei memanggilku. Mungkin ada misi."
"Kalau begitu kau harus segera pergi."
"Tapi acara memasaknya…"
Hinata tersenyum mendengar nada lucu dari Naruto, "Tidak apa, aku akan menyelesaikannya sendiri. Pergilah, siapa tahu penting."
"Hah, baiklah. Aku pergi dulu Hinata-chan." Hinata mengangguk. Naruto mulai berjalan pergi tapi dia kembali lagi.
"Kenapa, apa ada yang ketinggalan?" Lagi –Naruto mengangguk dan dengan cepat mencium kening dan pipi Hinata.
"Aku berangkat!" pemuda pirang itu tersenyum dan langsung melompat diatas atap-atap bangunan. Sementara Hinata, wajahnya memerah karena tersipu malu. Dia meraba pipinya yang tadi dicium Naruto.
Seulas senyum muncul dibibirnya, "Hati-hati, Naruto-kun." Ucapnya lirih.
. . .
Jam menunjukkan pukul 12.15 siang saat Naruto keluar dari gedung Hokage. Kakashi memintanya untuk memimpin para genin baru menangkap beruang liar yang lepas ke desa dan menyerang beberapa penduduk.
Kruuyuukk..
"Lapar.." ucapnya. Dia mendongak dan menyipit saat sinar matahari menerpa wajahnya. "Hah, ini sudah siang. Hinata pasti sudah pulang."
Dia ingat kalau Hinata memasak untuk makan siang keluarganya. Itu berarti Hinata sudah pulang kan dengan membawa masakannya untuk makan siang keluarga Hyuuga. Naruto tertunduk lesu dan berjalan menuju rumahnya. Membayangkan dia akan kembali sendiri di apaertemennya, membuat semangatnya sedikit sedih.
Setelah sampai dia segera membuka pintu apartemennya, "Tadaima.." ucapnya lesu. Memang dia biasa mengucapkan kata itu saat pulang walau dia tahu tidak ada yang menjawab.
"Okairinasai.." Hinata muncul dari arah dapur dan tersenyum, sementara Naruto tersentak melihat Hinata yang ternyata belum pulang. "Kau sudah pulang? Apa kau lapar?"
"Hinata?" gadis itu mengangkat alis bingung saat Naruto menatapnya aneh, "Kau masih disini? Belum pulang? Bukankah kau memasak itu juga untuk keluargamu?"
Hinata tersenyum dan menggeleng. "Aku tadi meminta Konohamaru untuk mengantar masakan yang sudah jadi ke rumah, aku pikir tidak masalahkan untuk menyambutmu pulang sekali-kali."
Naruto tertegun, dia merasa hatinya menghangat saat ia menyadari kalau sekarang sudah ada Hinata disisinya yang akan mengisi kekosongan dan kesepiannya selama ini.
Greb, "Eh?"
Naruto langsung memeluk Hinata erat sambil tersenyum lebar. Dalam hati dia bertanya, 'mungkin inilah rasanya memiliki keluarga.'
"Naruto-kun?"
"Terima kasih. Terima kasih Hinata, karena kau sudah hadir dalam hidupku. Terima kasih karena kau sudah mau memasakanku makanan, sudah mau menungguku pulang, sudah mau menjadi orang yang menerima segala sikapku. Terima kasih." Dia mengeratkan pelukannya.
Hinata tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca saat Naruto senang dengan apa yang dia lakukan. Dia melakukan semuanya hanya untuk Naruto. Kekasihnya yang sangat dia cintai selama bertahun-tahun. Akhirnya dia bisa menggapai cintanya.
"Tidak apa Naruto-kun."
"Aku mencintaimu Hinata, sangat mencintaimu. Aku akan segera melamarmu dan menikahimu agar kau bisa selalu ada bersamaku."
Lagi, wajah Hinata merona. Dia mengeratkan cengkramannya dijaket Naruto. "Le-lebih baik ki-kita makan dulu Naruto-kun."
Pemuda pirang itu melepaskan pelukannya dan tersenyum. "Iya, ayo!" dia menggandeng tangan kekasihnya dan berjalan menuju dapur.
Dimeja makan sudah tersaji masakan-masakan yang membuatnya tambah lapar. Mereka duduk berhadapan. Hinata mengambilkan nasi dan sayur untuk kekasihnya. "Ini.."
"Terima kasih sayang.." ucap Naruto tersenyum polos, tidak sadar kalau kata-katanya sudah membuat wajah gadis dihadapannya memerah. Mungkin dia terlalu senang dan menganggap mereka sepasang suami istri sungguhan.
Ah, mungkin lain kali mereka harus sering memasak bersama.
. . .
10 tahun kemudian…
"Mama, Himawari potong wortelnya ya?"
"Iya sayang." Hinata dan putrinya sedang memasak untuk makan malam. Gadis kecil itu sangat suka membantu Ibunya memasak dan memamerkan masakannya kepada Ayah dan Kakaknya.
"Wah,, kalian memasak apa?" Naruto dan Boruto datang.
"Papa sudah pulang.." Himawari berlari memeluk Ayahnya yang langsung diangkat Naruto ke dalam gendongannya. "Apa misinya sudah selesai?"
"Iya, papa sudah pulang. tentu saja misinya sudah selesai. Papa kan hebat!" ujarnya bangga pada diri sendiri.
"Bohong Hima, Tou-chan tertangkap jebakan musuh dan diselamatkan paman Shikamaru tadi."
"Eh,, jangan bilang-bilang dong!" Hinata dan Himawari tertawa mendengarnya. Sementara Naruto hanya memanyunkan bibirnya melihat Boruto yang tersenyum senang menjahilinya.
Laki-laki dua anak itu menurunkan putrinya dan berjalan lebih dekat kea rah dapur. Melihat sayuran dan bahan-bahan masakan yang ada diatas konter dapur. "Kalian mau memasak apa?"
"Hima mau buat sushi dan ramen."
"Wah, enak dong."
Himawari mengangguk senang. "Juga sup dan tumisan sayur."
"Yosh, kalau begitu papa yang akan buat supnya ttebayo!"
"Jangaaaaannnn!"
"Eh?" Naruto cengok saat anak dan istrinya berteriak melarangnya. Apa ada yang salah sehingga mereka melarang sampai segitunya. "Kenapa?"
"Touchan, apa kau lupa bagaimana sup yang kau buat terakhir kali saat ulang tahunku?" Naruto memiringkan kepalanya bingung. Lalu ingatannya kembali ke sebulan yang lalu.
Flashback
"Nah, sekarang kita makan. Ini sup buatan touchan untuk kita semua."
"Yey.." Borut dan Himawari berteriak senang dan langsung mencoba sup itu, tidak terkecuali Hinata. Tapi baru sedetik sup itu masuk ke dalam mulut mereka. Raut wajah yang tersiksa muncul seketika.
"Jangan pernah.." ucap Boruto membuat Naruto mengernyit bingung, "..jangan pernah buat sup lagi. Jangan pernah!"
Dia berkedip memandang anak-anaknya dan istrinya yang tersenyum terpaksa. Dia meraih sendok dan mencoba sup nya sendiri. Sedetik kemudian dia langsung meraih air putih dan meminumnya. Demi Tuhan! Rasanya sungguh hancur.
Asin, pedas, dan rasa kunyit yang menyengat yang entah kenapa masuk ke dalam sup membuatnya mual seketika. "Benar, jangan dimakan!" ucapnya lirih sambil nyengir sementara yang lain hanya geleng-geleng kepala."
Flachback off
"hehehe…" Naruto tertawa sambil menggaruk tengkuknya saat mengingat kejadian itu. "Kalian benar. Sebaiknya Ibu dan Hima saja yang memasak."
"Sebaiknya kau dan Boruto bermain saja diluar atau menonton TV. Bukankah kau juga baru pulang? atau kau mau mandi dulu Naruto-kun?" suara lembut Hinata terdengar.
"Ehm,, Boruto apa kau mau berlatih?"
"Benarkah? Aku mau." Jawab bocah pirang itu cepat. Membuat kedua orang tuanya tersenyum.
"Aku akan mengajari Boruto berlatih dulu baru setelah itu mandi." Hinata mengangguk mengiyakan. Setelah itu Naruto langsung berjalan keluar bersama putranya.
"Ayah tahu? Aku sudah bisa jurus Kage Bunshin ttebasa!"
"Benarkah? Berapa bayangan?"
Mereka menjauh sambil bercerita meninggalkan Hinata dan Himawari didapur. Himawari menatap Ibunya dan Ibunya tersenyum, membuatnya ikut tersenyum. "Sekarang kita masak lagi."
"Hum." Gadis kecil itu mengangguk riang.
.
.
.
END
Gimana chapter ini? baguskah?
Chapter depan pairing BorutoSarada.
Semoga suka.
Salam, Rameen.

Sunday, 3 July 2016

Uzumaki Family

Fanfic saya ambil dari fanfiction.net by Rameen

https://m.fanfiction.net/s/11694734/1/Uzumaki-Family

jika kalian tidak bisa membuka fafiction.net silahkan baca disini saja

Uzumaki Family
Otanjoubu omedetou Kaa-chan By Rameen
Disclaimer By Masasi Kisimoto
[U. Naruto x H. Hinata] U. Bolt., U. Himawari
Romance dan Family
Note : OOC, Typo, Gaje, oneshot dan #Hinata-Hime special untuk ulang tahun Hinata
"Tadaima.."
"Ah.. itu Oniichan.." Hinata tersenyum melihat putrinya yang langsung meloncat keluar begitu suara sang kakak terdengar.
"Okaeri Oniichan…" suara riang putrinya terdengar sampai ketempatnya. Dan tak lama kedua anaknya menghampirinya dan duduk di kanan dan kiri Hinata.
"Okaeri Boruto-kun." Hinata tersenyum sembari mengusap sayang kepala putranya. Boruto hanya nyengir atas perlakuan sang Ibu.
"Kaa-chan sedang apa?"
"Hanya membaca buku."
"Aku memainkan game Oniichan dan sudah sampai level tiga." Himawari berujar riang.
"Wah,, itu hebat Hima.." gadis kecil itu tersenyum lebar mendengar pujian kakaknya.
"Ne,, Kaa-chan.." Hinata mengalihkan pandangannya saat mendengar putranya memanggil dengan nada yang serius. "Tou-chan… bagaimana Tou-chan saat dia masih kecil dulu?"
Hinata Boruto tidak pernah bertanya apapun padanya tentang Naruto. Dulu Boruto dan Himawari selalu menghabiskan waktu dengan bermain bersamanya dan Naruto. Tapi semenjak suaminya menjadi Hokage, Boruto mulai berubah menjadi lebih dingin dan selalu mengeluh akan Ayahnya yang tidak pernah ada waktu untuknya.
Tapi sekarang Boruto sudah mulai memahami Ayahnya yang harus bekerja ekstra demi warga dan desa. Sejak peristiwa penyerangan Otsutsuki Momoshiki diujian chuunin kemarin sukses membuat Boruto menyadari betapa besar peran Ayahnya dalam keselamatan desa dan seluruh warga.
"Hm,, Tou-chan yang dulu ya?"
"Benar, Hima juga mau dengar.."
Hinata menatap anaknya bergantian lalu tersenyum. "Dulu… Touchan kalian adalah seorang anak yang selalu ceria dan tidak pernah putus asa. Dia berusaha sekuat yang dia bisa jika itu untuk menyelamatkan teman-temannya. Bagi Kaa-chan.. Touchan adalah penyemangat."
"Kata paman Sasuke,, dulu Touchan tidak bisa melakukan apa-apa. Apa itu benar Kaa-chan." Boruto menjadi penasaran akan bagaimana Ayahnya dulu sejak gurunya, Uchiha Sasuke mengatakan kalau Ayahnya adalah orang yang penuh dengan kelemahan.
"Mungkin?" Hinata menjawab ragu, karena baginya Naruto selalu bisa melakukan apapun sekalipun itu adalah hal yang mustahil. Walau semua temannya menertawakan Naruto saat masih di akademi dulu tapi bagi Hinata itu tetap luar biasa. Ah,, cinta memang buta.
"Kaa-chan, aku serius." Boruto menuntut.
"Sekarang kau sudah tahu kan kalau ada Kyuubi yang tersegel didalam tubuh Tou-chan?" Boruto mengangguk. Dia masih ingat saat dimana seekor rubah berekor sembilan keluar dari tubuh Ayahnya saat bertarung melawan Momoshiki sebelum akhirnya Naruto justru diculik Momoshiki.
"Yang Kaachan dengar, saat dulu touchan baru dilahirkan, Kyuubi menyerang desa. Dan Kakekmu yang saat itu adalah Hokage keempat mengorbankan nyawanya demi melindungi touchan dan desa. Dia menyegel Kyuubi ke dalam tubuh Touchan. Dan karena itu seluruh penduduk desa mengira kalau Touchan itu berbahaya dan akhirnya dia dijauhi serta dibenci oleh seluruh warga desa."
Himawari dan Boruto terdiam. Mereka tidak menyangka kehidupan Ayahnya dulu begitu menyedihkan. "Lalu.. bagaimana Touchan bisa jadi seperti sekarang?"
"Touchan kalian adalah orang yang pantang menyerah dan pekerja keras. Dia selalu berusaha dan berlatih agar menjadi lebih kuat dan bisa diakui oleh seluruh desa. Awalnya dia selalu menganggu penduduk desa agar setidaknya warga menyadari keberadaannya tapi seiring waktu berlalu, Touchan membuat warga desa menyadari keberadaannya dengan kekuatannya dan kepahlawanannya."
"Aku tahu, Papa menjadi pahlawan diperang terakhir. Benarkan Mama?" Hinata tersenyum dan mengangguk atas perkataan putri kecilnya.
"Touchan kalian tidak hanya pahlawan dalam perang terakhir. Sebelum itu, dia sudah mempunyai banyak teman dan menyelamatkan banyak orang dengan kebaikan hatinya dan juga kekuatannya. Bertahap, Touchan menjadi orang yang di akui dan di terima oleh semua orang."
Boruto menunduk dalam, dia masih tidak percaya akan kehidupan Ayahnya. Apa yang sudah ayahnya lewati sampai titik ini, dia masih ingin mengetahuinya. Dia berdiri dan berjalan menuju pintu. "Aku akan ke tempat Hokage."
.
Tok tok tok..
"Masuk!" pintu itu terbuka. Menunjukkan seorang pria yang duduk dibalik meja kerjanya dengan setumpuk dokumen di atas mejanya.
"Tou-chan.."
"Boruto? Ada apa?" Putranya menggeleng pelan. Dan memilih menatap wajah ayahnya sendu. Sang Hokage mengernyitkan keningnya melihat kelakuan putranya. "Kau kenapa?"
"Aku… hanya ingin melihat Tuan Hokage Ketujuh."
Naruto meletakkan dukomen yang ada ditangannya ke atas meja dan fokus melihat putranya. "Apa ada alasan lain?"
Diam. Mereka diam tanpa suara. Diruang itu hanya ada mereka berdua yang terdiam. "Aku…" menghela nafas sejenak, Boruto melanjutkan "..ingin melihat seorang anak yang dulu bukan apa-apa, sekarang menjadi seorang Hokage."
Naruto tersentak. Dia tahu kalau anaknya sedang membicarakan dirinya. Hanya saja, itu terlalu aneh. "Apa ada yang terjadi?"
"Kaa-chan bilang kalau kau dulu adalah sosok yang selalu berusaha pantang menyerah untuk mendapat pengakuan warga desa. Dan paman Sasuke bilang kalau kau dulu adalah orang yang penuh dengan kelemahan dan hebatnya tidak melakukan apa-apa."
Pandangan Naruto melembut ketika mendengar sahabat dan istrinya menggambarkan bagaimana dirinya dulu. Boruto pernah memintanya untuk bercerita tentang masa lalunya jika dia ada waktu. Tapi meski telah dua bulan sejak Boruto mulai memahami posisinya didesa, dia masih tidak ada waktu untuk sekedar duduk bercerita kepada kedua anaknya.
"Apa yang kulihat sekarang,, sulit membuatku percaya akan cerita itu. Sekarang kau seorang Hokage yang sangat kuat dan dipuja semua orang. Bagaimana mungkin masa lalumu begitu menyakitkan."
"Kau percaya dengan apa yang kau dengar?"
Boruto menatap lekat Ayahnya, "Ibu tidak mungkin berbohong dan sepertinya paman Sasuke bukan orang yang suka bercanda."
"Benar, mereka adalah tipe orang yang akan berbicara jujur. Dan apa yang kau dengar adalah kebenarannya. Seorang Hokage yang kini ada dihapanmu adalah seorang bocah nakal yang tidak bisa apa-apa dimasa lalunya."
Tatapan mereka terkunci. Sejak pengangkatan Naruto, mereka sudah sangat jarang punya waktu saling berbicara seperti ini. Dan Boruto akan mengingat setiap moment bersama Ayahnya sekarang.
"Dengarlah! Tidak ada yang mustahil. Kerja sama dan ketekunan yang selalu aku katakan bukanlah sebuah omong kosong. Kau hanya perlu berusaha sekuat yang kau bisa dan percaya pada dirimu sendiri serta orang-orang yang selalu ada untukmu. Dengan itu kau bisa meraih apa yang kau inginkan."
Naruto selalu menasehatinya dengan tegas. Dan dia selalu suka dengan cara Ayahnya. Senyum lebar tampil diwajahnya. "Ya! Aku akan mengingat pesanmu.. Touchan."
Naruto ikut tersenyum karenanya. Walau sebentar, setidaknya dia ada waktu bersama putranya. "Baiklah, itu cukup. Aku pulang dulu. Kalau memang ada waktu, pulanglah dan kita makan malam bersama dirumah."
Naruto mengangguk. Sebelum meraih pintu Boruto berbalik. "Jangan mengirim bunshin untuk makan malam!" dia mengingatkan Ayahnya. Dia masih ingat saat terakhir Naruto mengirim bunshin saat ulang tahun adiknya. Bukannya lancar tapi justru berantakan karena bunshin Naruto menghilang ketika sedang membawa kue sehingga kue itu jatuh dan… hancur.
Sang Hokage menghela nafas bersalah. "Maaf atas kejadian terakhir."
"Yah,, touchan sudah minta maafkan. Tapi kuharap Touchan tidak melupakan dan menghancurkan ulang tahun Kaachan nantinya. Jaa ne.."
Blam
Pintu tertutup, menyisakan Naruto yang menatap pintu itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Dia berkedip, ulang tahun Hinata? Benar, ulang tahun istrinya sebulan lagi. Dia menghela nafas untuk kesekian kalinya hari itu. Menatap dokumen yang menumpuk dimejanya.
'Dokumen sialan. Aku melupakan semuanya karena kalian.' Naruto membatin lirih.
"Yosh!" ucapnya semangat sedetik kemudian, "Aku akan makan malam dirumah malam ini." tangannya membentuk segel. "Kage Bunshin no Jutsu!"
Poof poof poof.. "Yosh,, kita selesaikan semua sebelum makan malam. Setuju?!"
"SETUJU!" seru Naruto-Naruto berjamaah.
.
Malam itu seperti yang diinginkan Naruto. Keluarga Uzumaki duduk dan makan malam bersama untuk yang pertama kalinya dalam dua minggu ini. Kesibukkan Naruto dua minggu ini dia bayar dengan menghabiskan waktu malam ini bersama keluarganya. Sang asisten dari klan Nara itu sudah pasti bisa diandalkan oleh sang Hokage.
Setelah makan malam, mereka duduk diruang keluarga. Menonton TV, bermain hingga bercerita banyak hal. Dari kisah Himawari tentang teman-teman barunya, pengalaman misi Boruto, sampai kisah masalalu Naruto dan Hinata.
Malam itu, Naruto kembali merasa hidup ditengah keluarganya. Sungguh, duduk sendiriran dibalik meja bertemankan dokumen yang membuat stress itu tidak pernah dia bayangkan dulu. Tapi sekarang dia mengerti, tugas Hokage bukan hanya mengandalkan kekuatan semata.
.
Naruto memasuki kamarnya setelah membacakan cerita untuk Himawari. Waktu menunjukkan pukul setengah sebelas malam dan kedua anaknya sudah tertidur sekarang. Dia menatap istrinya yang memandang langit dengan tersenyum. Selain anaknya, dia juga tidak punya waktu untuk istrinya.
'..kuharap Touchan tidak melupakan dan menghancurkan ulang tahun Kaachan nantinya.'
Kata-kata Boruto terngiang ditelinganya dan beberapa saat kemudian sebuah ide terlintas dikepalanya. Dia tersenyum dan mulai mendekati istrinya.
"Anata..?" Hinata tersentak saat sepasang lengan kekar melingkari pinggangnya. Tapi kemudian dia tersenyum. Sudah lama Naruto tidak memeluknya tiba-tiba seperti ini. "Mereka sudah tidur?" suaminya mengangguk, "Mereka sangat senang kau pulang cepat malam ini."
"Aku tahu. Maaf karena selalu sibuk." Hinata menggeleng dan tersenyum. Naruto mengeratkan pelukannya dan menaruh dagunya dibahu Hinata, "Tadi Boruto ke kantorku,"
Lagi, Hinata mengangguk, "Apa yang dia katakan?"
"Dia bilang ingin melihat Hokage yang dulunya adalah anak nakal yang tidak bisa apa-apa."
Menghela nafas dan menggenggam lengan kekar suaminya, "Dan dia mengingatkanku agar tidak melupakan dan menghancurkan ulang tahunmu nantnya."
"Dia bilang begitu?" Naruto mengangguk.
"Jadi karena itu, untuk menunjukkan kalau aku tidak lupa, aku ingin memberikan hadiah sebagai bukti."
"Hadiah?"
"Tidak hanya untukmu, tapi juga untuk mereka.." Hinata mengerutkan keningnya tidak mengerti. Naruto tersenyum jahil padanya dan selanjutnya…
"Kyaa.." dia menjerit tertahan saat Naruto menggendongnya.. "Na naruto-kun.."
"Hadiahnya…" Naruto mendekat dan berbisik, "…memberikan mereka adik." Seketika wajah Hinata memerah dan Naruto langsung membawa tubuh istrinya ke ranjang dan menindihnya.
"Na naruto-kun,, tunggu…"
"Hm..?" Naruto langsung melumat bibir Hinata lembut. Hinata pasrah dan memejamkan matanya membalas ciuman itu. Tapi ketika ciuman Naruto beralih ke lehernya, dia kembali menolak.
"Na naruto-kun… he-hentik-an.. hgg.." dia mendesah ketika Naruto menciptakan kiss mark. "Ak-akuh.. ahh.. se-sedang datang bu-bulan.."
Berhenti. Naruto langsung berhenti dan mengeram frustasi. Ayolah, jarang-jarang dia punya waktu bersama sang istri, tapi kenapa harus hancur karena kondisi yang…
"Hah.." Naruto menghela nafas dengan wajah yang masih terbenam dileher Hinata, membuat Hinata merinding, dia mengecupnya sekali dan menjauh. Berbaring disampingnya dan menarik Hinata ke pelukannya. "..aku lelah… kita tidur saja.."
"Ma-maaf.." lirih Hinata bersuara. Naruto mendongakan wajah Hinata lalu kembali mencium bibir peach itu lama.
"Tidak apa.." ucapnya tersenyum, "Oyasuminasai, Hime.. Aishiteru."
"Oyasuminasai Anata.. Aishiteru moo." Malam itu,, mereka tertidur dengan senyuman.
.
Sebulan kemudian… 27 desember
"Aku yakin menaruhnya disini tapi kenapa tidak ada?" Wanita berambut indigo sepunggung itu kebingungan mencari sesuatu yang dia yakin… hilang.
Kretek..
Dia menoleh saat mendengar suara dari arah pintu.. dia keluar dari dalam kamar mandi, "Hima?" tidak ada orang disana.
Dia berjalan menuju kamar, sreeet… dia kembali menoleh. Suara aneh itu terdengar lagi.. "Boruto-kun?" lagi tidak ada suara yang menyahut. Dia kembali berjalan menuju dapur dan terdengar derap langkah kaki dari arah depan..
"Naruto-kun?" panggilnya lagi.
Oh ayolah,, dia yakin tidak ada hantu dirumahnya. Dia bisa saja menggunakan Byakugan,, tapi rasanya aneh mengintip rumahnya sendiri dengan cakra.
Gelap, ruang makan yang menyambung dengan ruang keluarga gelap. Bukankah tadi aku sudah menyalakan lampu? batinnya. Dia meraba saklar dan begitu dia menghidupkan lampu…
"Otanjoubu Omedetou Okaa-chaaaaannn…." Suami dan anaknya berteriak riang dengan kue yang sudah tersedia dimeja makan. Dia tersenyum dan menangis akan kejutan keluarganya..
"Kalian… Arigatou…"
Dia menghambur memeluk kedua anaknya dan Naruto memeluk mereka bertiga. Dia bahkan sempat lupa kalau ini hari ulang tahun tahunnya.
"Nah,, ayo kita tiup lilinnya Mama.." Mereka duduk dikursi meja makan. Setelah menyanyi lagu selamat ulang tahun, Hinata meniup lilin kue ulang tahunnya..
"Yeeyy…" teriak suami dan anaknya.
"Ini kado dari Hima untuk Mama.."
"Terima kasih sayang…" Hinata memeluk putrinya yang duduk disampingnya.
"Ini dariku.." kado Boruto menyusul. "Ne,, tou-chan.. kau tidak lupa kado untuk kaa-chan kan?" bocah pirang itu menatap tajam Ayahnya.
"Tentu saja tidak ttebayo.. Tou-chan bahkan sudah memberikan Kaa-chan hadiah.. dan hadiahnya juga untuk kalian." Naruto tersenyum lebar. Hinata mengernyit, dia belum bilang apa-apa pada suaminyakan?
"Apa Papa..?" Himawari berseru penasaran.
Naruto mengeluarkan sesuata dari sakunya dan,, "Tadaaa…" ucapnya riang sambil menunjukkan benda kecil persegi panjang dengan dua garis merah ditengahnya, tespack.
Wajah Hinata memerah sementara kedua anaknya mengerutkan keningya bingung. "Na na naru-to-kun.. dimana kau me-mendapatkan itu?" benda itu baru saja dicarinya tadi.
"Aku menemukannya diwastafel kamar mandi.. hehe.. aku sangat senang ttebayo.." ternyata Naruto yang telah mencuri benda yang dicari Hinata.. padahal dia ingin mengatakan itu langsung pada suaminya.
"Papa… itu apa?"
"Dan.. apa kegunaannya hingga itu bisa jadi hadiah untuk kaa-chan dan kami..?"
"Eh,, kalian tidak tahu?" Naruto kaget mendengar pertanyaan anak-anaknya. Hinata menepuk kening dan menghela nafas. Tentu saja itu bukan alat yang harus diketahui anak yang baru tumbuh remajakan? "Ini artinya…"
Boruto dan Hima menunggu sementara Hinata semakin merona. "…kalian akan punya adik baru!"
Kriik kriik… hening..
Himawari dan Boruto terdiam, setelah beberapa saat Himawari memeluk Ibunya. "Benarkah? Hima akan punya adik baru?" Hinata tersenyum dan mengangguk.
"Tou-chan…" Boruto berucap pelan tapi sukses mengalihkan tatapan yang lain padanya, "…kau mesum!"
"Eh.?!"
.
.
.
END
Nonton The Movie Boruto kemarin dan sekelebat ide langsung melintas saat melihat adegan demi adegan. Aku terharu saat Sasuke bercerita tentang Naruto ke Boruto. Aku sedih saat kue Himawari hancur dan seketika itu juga aku dapat ide untuk fic ulang tahun Hinata.
Pas waktu Boruto minta ayahnya untuk sering bercerita tentang masa lalu, aku dapat ide untuk membuat cerita lain selain ulang tahun Hinata di fic ini. yah biar kesan keluarganya lebih terasa aja.
Dan aku memutuskan untuk membuat fic-fic Naruhina canon menjadi satu kategori dalam 'Uzumaki Family' termasuk fic 'Our Moments' dan 'Sasuke the Neko-chan' yang walau di fic 'Sasuke the Neko-chan' tokoh utamanya Sasuke, nggak papalah..
Fic ini juga bakalan kubuat masuk dalam kategori. Niatnya pengan buat kumpulan oneshot disini. Entar cerita tiap chapter berbeda tapi saling terhubung. Bakalan ada pairing BorutoSarada dan HimawariXBoys juga. Mungkin sampai 10 chapter nanti. Tapi bertahap tentunya.
Gimana menurut readers? Ada yang setuju dan mendukung niat saya kah?
Terakhir… Otanjoubu omedetou Hinata-hime…^^
Semoga suka.
Salam, Rameen

Saturday, 2 July 2016