Saturday, 24 September 2016

Uzumaki Family(Chapter 5)

"Naruto-kuuunn…"
Siang itu, Naruto tengah bersantai sambil menikmati secangkir kopi buatan sang istri. Dia baru saja pulang dari misi yang tidak terlalu berat. Setidaknya untuk seorang pahlawan perang ninja ke empat. Kalau biasanya dia akan bermain bersama putranya yang berusia tiga tahun, maka saat itu dia hanya bersantai karena sang putra sedang di bawa Hanabi yang ingin berlibur selama seminggu.
Sambil membaca koran, dia mengerutkan keningnya saat mendengar panggilan dari sang istri dengan nada manja. Dia suka, tapi cukup membuat trauma untuk beberapa hal. Karena itu dia hanya diam menunggu.
Tak lama, terdengar suara derap langkah kecil dari kejauhan. Dia meneguk kopinya santai untuk bersiap dengan apapun yang terjadi.
"Naruto-kun?"
Dia menoleh saat istrinya tiba dengan senyum manisnya yang terpasang di wajah cantik itu. berjalan mendekat dan duduk di sampingnya dengan sebelah tangan yang tersembunyi di balik punggung. Membuat Naruto mulai bertanya, ada apa di balik punggung itu?
"Ya Hime, ada apa?" bertanya lembut sembari menggerakkan tangannya untuk merangkul sang istri, mencoba dengan pelan untuk melihat apa yang ada di balik punggung itu.
"Naruto-kun tidak sibuk kan?"
Pria pirang itu tersenyum dan menggeleng, "Tidak, kenapa? Kau ingin sesuatu?" Uzumaki Hinata, istrinya mengangguk cepat dan antusias, membuat wanita itu tampak begitu manis. Menyelipkan rambut indigo lembut ke balik telinga, Naruto kembali bertanya dengan 'hati-hati', "Kau ingin apa?"
Set..
Gluk..
Naruto menelan ludah pelan saat Hinata mengeluarkan kamera dari balik punggungnya. Dia tidak tahu kalau mungkin Hinata punya cita-cita untuk menjadi fotographer atau tidak. Yang pasti, Hobi itu terlihat ekstream jika dalam kondisi Hinata yang sekarang.
"Ka-mera?" tanyanya sambil tersenyum kikuk. Pasalnya, sejak bulan pertama kehamilan Boruto dulu, kamera itu seolah menelan banyak 'korban'. "Kau ingin apa dengan kamera itu?"
"Aku mau liat foto kucing yang sedang mandi."
Tuh kan? Segala kucing mandilah.
"Mandi? Maksudmu kucing yang sedang membersihkan tubuhnya dengan cara menjilat seluruh tubuhnya sendiri?"
Hinata menggeleng, "Mandi Naruto-kun, tentu saja kucing yang sedang mandi dengan air."
"Kau tahu kan kalau kucing benci air?" Hinata mengangguk –lagi, "Lalu bagaimana mungkin kucing itu mandi dengan air?"
Wajah ceria Hinata tiba-tiba menekuk cemberut, kepalanya di tundukkan dan bibirnya mengerucut. Membuat Naruto mengepalkan tangannya menahan diri agar tetap tenang. Dia menghembuskan nafas dari mulut lalu tersenyum sambil meraih kamera dari tangan Hinata.
"Baiklah," jawaban singkat Naruto membuat sang istri langsung mendongak kembali "Aku akan mencari fotonya. Berapa foto yang kau inginkan?"
Senyum lebar Hinata mulai mengembang, "Sepuluh, aku ingin sepuluh foto kucing yang berbeda."
"Hahaha.." Naruto tertawa hambar, "Sepuluh ya? Baiklah. Sepuluh. Akan aku carikan fotonya."
"Yeay,, Naruto-kun baik.. aku mencintaimu.." cup.. kini giliran senyum Naruto yang mengembang karena Hinata mencium pipinya dan memeluknya erat.
"Hanya di pipi?" tanyanya kemudian, meminta lebih. Dia menarik tubuh Hinata dan melakukan apa yang dia inginkan di tempat lain.
.
.
"Puuusss… ck ck ck… puuusss…"
Sebagian penduduk yang lewat, hanya bisa tersenyum dan menggeleng melihat tingkah pahlawan desa mereka. Ada juga yang lumayan prihatin akan hal itu.
Seorang pria bersurai kuning, dengan dua bunshinnya sedang berjalan berjongkok di dekat gang kecil dan juga di pinggir tiang listrik. Satu bunshin memegang kamera, satu bunshin memegang botol isi air, dan yang asli sedang menggaruk kepalanya frustasi.
Pasalnya, sudah hampir setengah jam dia berkeliling desa untuk menangkap para kucing. Beberapa kali tertangkap, tapi sebelum sempat Naruto menyiramnya dengan air ataupun mengambil foto, para kucing itu sudah berontak yang berujung cakarnya mengenai para bunshin, dan… poof …mereka menghilang. Menyisakan ingatan dan rasa sakit pada Naruto yang asli.
"Manis… ke sini dong, aku kan cuma mau foto kamu… puuussss…" dia berjalan mundur dalam posisi jongkok karena seekor kucing menolak datang dan tetap bersembunyi di sudut dinding pembatas jalan.
Tap
Merasa ada seseorang di belakangnya, dia perlahan menoleh dan mendapati sepasang kaki berbalutkan sepatu yang dia merasa kenal. Perlahan dia mendongak dan terdiam mendapati seorang pria berambut merah dengan tatto 'Ai' di dahi menatapnya datar dan polos.
"Aaa…" sontak Naruto berdiri dan menatap kaget teman-teman yang ada di hadapannya. Ya, teman-teman. Ada Gaara, Kankurou dan Shikamaru di sana. "Ga-Gaara? Hei,, sedang apa kalian di sini ttebayo?" tanyanya canggung. Jelas canggung, karena tatapan malas Shikamaru seolah mengatakan 'kau sedang apa, bodoh?'
"Aku datang untuk membicarakan sesuatu dengan Hokage terkait satu masalah di Iwagakure." Jawab Gaara dengan wajah datarnya.
"Oh,, lalu… sejak kapan kalian di sini?"
"Cukup lama untuk melihat tingkah konyolmu barusan." Jawab Kankurou santai.
"Hehe.." Naruto tertawa hambar, dia meraih kamera dan botol air dari bunshinnya lalu membentuk segel untuk menghilangkan kedua bunshin itu.
Poof poof..
"Hinata lagi?" pertanyaan Shika membuat Naruto mengangguk, "Dia ingin apa sampai kau bertingkah konyol seperti tadi?"
"Dia ingin aku mengambil foto kucing yang sedang mandi."
.
.
Krik krik krik… hening.
Tatapan aneh Gaara dan Kankurou tidak membantu. Dan tatapan bosan Shika semakin memperburuk.
"Shikamaru, bisakah kau tolong aku? Kau kan punya jurus bayangan. Tolong tangkap kucing itu ttebayo."
"Lalu? Kau akan menyiram mereka dan mengambil fotonya?" Naruto mengangguk dan membuat Shikamaru berdecak malas. "Tidak mau!"
"Eeehh,, ayolah Shika. Hinata bisa merajuk kalau aku tidak berhasil. Aku sudah berusaha setengah jam tapi tidak ada hasil. Ayolah ttebayo.."
"Kenapa," pertanyaan Gaara membuat mereka menoleh, "Kenapa dia menginginkan hal aneh seperti itu?"
"Err.. itu.."
"Hinata-san sedang hamil.. yaa kau taulah bagaimana Temari dulu." Shikamaru menjawab dan memotong perkataan Naruto. Membuat Gaara mengangguk mengerti, dia jelas masih ingat bagaimana Temari saat sedang mengandung Shikadai.
"Shika, mau ya?"
"Tidak!"
"Kenapa tidak ke tempat penitipan hewan?" lagi –suara dari Gaara berhasil mengambil perhatian.
"Tempat penitipan hewan?"
Gaara mengangguk akan pertanyaan Naruto, "Disana biasanya banyak orang menitipkan hewan peliharaan mereka jika mereka sibuk. Dan di sana hewan mereka akan di rawat bukan, dari memberikan makanan sampai di mandikan."
"Benar, kenapa kau tidak ke sana saja?" ucapan Shikamaru yang setuju perkataan Gaara membuat Naruto mengangguk paham… kalau dia bodoh.
"hehehe,,, aku tidak kepikiran sampai ke sana.." yang lain hanya bisa tersenyum melihat tingkah Naruto. Terutama Shikamaru yang sudah hafal dengan sahabatnya itu. Naruto cenderung akan panik dan lebih sulit berpikir jika sedang melakukan apa yang Hinata inginkan di saat ngidam. Shikamaru tersenyum miris mengingat kalau dia tidak jauh beda saat Temari hamil dulu.
"Baiklah, aku akan ke sana dulu ya. Arigatou Gaara.."
Naruto langsung melangkah pergi tapi..
"Naruto." Panggilan Gaara menghentikan langkahnya dan membuatnya menoleh. "Boleh aku ikut?"
Hah,,? Naruto, Kankurou dan Shikamaru cengok mendengar permintaan sang Kazakage itu.
"Gaara? Kita harus menemui Hokage sekarang." ucap Kankurou mengingatkan.
Gaara menoleh padanya dan berkata dengan santai, "Tapi aku juga mau melihat kucing yang sedang mandi," yang lain tambah cengok melihat ekspresi Gaara yang benar-benar seperti orang penasaran. "Kau saja yang ke tempat Hokage, atau nanti saja kita ke sana setelah aku menemani Naruto ke tempat penitipan hewan itu."
"Gaara, kau yakin? Kenapa kau ingin melihat hal itu?"
Gaara menggeleng, "Entahlah, tiba-tiba aku ingin melihatnya juga."
.
.
Tap tap tap..
Langkah itu berlari cepat, tangannya memegang sebungkus buah yang berhasil dia dapatkan setelah dua jam mencari. Tepat saat melihat wanita berambut indigo yang sedang berdiri di depan toko buah, dia tersenyum dan menghampiri wanita itu.
"Hinata-neechan."
Hinata menoleh dan tersenyum manis melihat murid dan rival suaminya yang baru saja datang. "Konohamaru, apa kau mendapakannya?"
Konohamaru mengangguk senang dan lega karena berhasil mendapatkan apa yang di minta Hinata tadi. Dia menyodorkan tangannya untuk memberikan sesuatu yang dia bawa tadi. "Ini, aku mendapatkannya di desa terakhir dekat perbatasan Konoha."
Hinata meraih bungkusan itu dengan senang, mengeluarkan isinya yang ternyata anggur dan memetik satu buahnya. Lalu mengelus-eluskannya di perutnya. Membuat Konohamaru memiringkan kepalanya bingung.
"Sudah, terima kasih Konohamaru-kun." Hinata memasukan kembali anggur itu dan tersenyum pada pemuda di depannya yang menatapnya terdiam.
"Tidak di makan?" tanyanya, dan Hinata menggeleng, "Bukankah Neechan ngidam buah itu?"
Hinata tersenyum, "Kan ngidamnya cuma di elus-elus aja ke perut."
Twich.. perempatan muncul di dahi Konohamaru. Jadi, usahanya untuk berlari dan mencari buah anggur yang kebetulan kosong di desanya itu bahkan sampai ke desa terakhir dekat perbatasan Konoha dan menghabiskan waktu dua jam itu… sia-sia?
Oke, tidak sia-sia juga karena keinginan Hinata terpenuhi dan itu membuat wanita itu senang, tapi… kalau buah itu hanya 'digunakan' seperti 'tadi', rasanya…
"Hah," Konohamaru mendesah lelah karena sudah terbiasa dengan keinginan Hinata yang aneh-aneh sejak dua bulan lalu. Ya sudahlah, yang penting dia sudah melakukan yang terbaik dan sesuai dengan keinginan Hinata. "Baiklah, kalau begitu aku pulang dulu ya Neechan?"
"Eh, boleh aku minta tolong lagi?"
Pemuda itu diam berpikir, lalu mengangguk. Toh dia senang karena akan menambah keponakan dari guru merangkap rivalnya itu. "Apa?"
"Aku ingin mengundang Ino, Sakura, dan Temari untuk makan malam di rumahku nanti malam. Sekalian suami mereka juga. Apa kau bisa menyampaikannya pada mereka?"
Oh, itu tugas gampang. "Baiklah, serahkan saja padaku. Aku pergi dulu ya, Hinata-neechan."
"Arigatou."
.
.
Malamnya, Hinata masih tersenyum menatap foto-foto kucing yang ada di tangannya. Melihat itu, Naruto merasa perjuangannya tidak sia-sia. Hinata terlihat sangat senang dan itu cukup baginya. Yah, walau sedikit kejadian terjadi di tempat penitipan hewan itu.
"Naruto-kun, kenapa ada foto Gaara juga?"
Nah itu dia, tadi saat melihat para kucing di mandikan dan saat Naruto mulai mengambil gambar, Gaara tiba-tiba saja berkata 'Naruto, bisa kau mengambil fotoku juga?'
Lagi-lagi yang lainnya hanya bisa cengok melihat Gaara berfoto dengan menggendong kucing-kucing yang ada disana. Dan yah, walaupun merasa aneh, Naruto tetap mengambil fotonya.
"Itu.. tadi Gaara terlihat suka dengan kucingnya dan juga ingin berfoto. Tidak apa kan?"
"Oh," Hinata mengangguk pelan, "Tidak apa, lagipulan disini Gaara dan kucingnya terlihat sangat manis."
Kerutan muncul di dahi Naruto saat Hinata memuji Gaara sambil tersenyum senang. Apa maksudnya itu? dia... juga bisa manis kok, batinnya.
"Hinata-chan," mencoba mengalihkan perhatian sang istri, Naruto mengambil foto-foto itu perlahan dan memeluk tubuh Hinata. "Kau sangat cantik." Ucapnya lembut dan mengecup pipi Hinata, membuat wanita itu merona dan tersenyum malu-malu.
Ah, Naruto sangat suka ekspresi istrinya yang itu. Dia meraih dagu Hinata memberi kecupan kecil di bibir menggoda sang istri.
Ting tong..
Bel yang berbunyi menghentikan kegiatannya. Tapi sepertinya tidak bagi Hinata. Saat Naruto hendak beranjak membuka pintu, Hinata meraih leher Naruto dan memberikan ciuman dalam pada suaminya. Sukses membuat Naruto sedikit terkejut lalu tersenyum. Menyadari sifat Hinata yang memang suka berubah-ubah sekarang.
.
.
Ceklek..
Setelah lima menit menunggu, akhirnya para tamu itu menghembus nafas lelah karena pintu itu terbuka juga.
Naruto berkedip bingung melihat SaiIno, SasuSaku, ShikaTema bahkan Gaara dan Kankurou berdiri di depan pintu rumahnya. "Hai minna," sapanya datar, "Ada apa?"
"Maksudmu apa, tentu saja kami datang karena undangan kalian." Jawab Sakura cepat.
Dan Naruto merasa tidak membuat acara apa-apa malam itu. "Mengundang? Siapa? Acara apa?"
"Tadi Konohamaru bilang kalau Hinata mengundang kami untuk makan malam di sini."
"Oh," Naruto masih mencerna kalimat itu dengan baik, selanjutnya dia mempersilahkan para tamunya masuk. Sementara dia langsung menghampiri istrinya di dapur.
.
.
Hinata mengundang para sahabatnya untuk makan malam di kediaman Uzumaki. Itulah bentuk undangan tersirat yang di sampaikan Konohamaru. Para tamu itu yakin tidak salah dengar saat mendengar kata 'makan malam'.
Masalahnya, apa mungkin yang tersaji di atas meja cocok untuk menu makan malam di saat perut mereka kosong?
Tatapan cengok para tamu itu yang semula melihat tak percaya pada menu makan malam beralih kepada Hinata yang terlihat antusias dengan makanan yang dia sajikan. Merasa kalau Hinata tidak akan mengerti tatapan mereka, maka para tamu itu mengalihkan tatapan kepada Naruto yang sama cengoknya.
Merasa di tatap, Naruto nyengir lebar sambil menggaruk kepalanya. Dia menghadap kearah istrinya lalu berbicara dengan lembut, "Hinata-chan?"
"Hm?" wanita Uzumaki itu menoleh cepat dengan wajah riangnya.
"Err… kita… makan apa malam ini?"
"Ini," Hinata menunjuk semua makanan yang telah tersaji. "Buah dan kuah kecap pedas. Aku dengar sih namanya rujak."
Naruto berkedip dan menghembus nafas pelan, mencoba bicara lagi. "Tapi buah itu asam kan?" Hinata mengangguk, "Bukankah akan sakit perut kalau makan yang asam di malam hari di saat perut kosong?"
"Oh ya?" Hinata memiringkan kepalanya. Dia melihat para tamunya satu persatu, dan mendapati yang lainnya tersenyum seolah mendukung perkataan Naruto. Mereka butuh makanan pokok, bukan buah asam yang di sebut rujak. "Tapi aku tidak memasak yang lain. Jadi makan ini saja, dan aku sudah membuat banyak," Hinata tersenyum miring, "Harus dimakan dan di habiskan."
Ucapan memaksa itu membuat yang lain menghembus nafas berjamaah, hafal dengan sifat pemaksa Hinata yang muncul ketika sedang masa hamil. Dan kalau tidak di turuti, dia tidak akan segan menangis atau bahkan mengamuk.
Yang lain hanya saling pandang saat Hinata sudah antusias mengambil buah dan mencolekkannya ke kuah kecap pedas yang ada di depannya. Matanya memejam karena rasa buah itu yang asam. Bisa di bayangkan oleh Ino, Sakura dan Temari saat mereka juga suka makanan seperti itu dulu, tapi kalau untuk sekarang… rasanya kurang pas untuk jadi menu makan malam.
"Ayo di makan," Hinata menawarkan dan yang lain hanya mengangguk pelan. Ekspresinya berubah saat menyadari para tamunya menolak untuk makan, wajahnya menekuk dan genangan air mata mulai muncul, membuat para wanita lain kelabakan sementara yang pria mendesah kesal.
"Ini enak, cobalah!"
Sebaris kalimat dari Gaara yang memakan rujak itu seperti tanpa masalah membuat yang lain terdiam. Beda dengan Hinata yang justru tersenyum lebar. "Enak?" tanyanya dan Gaara mengangguk sambil terus makan dengan santai, "Kalau begitu makan yang banyak ya."
Hinata menyodorkan sepiring buah lagi ke hadapan Gaara. Dan dia beralih memandang yang lain. "Teman-temanku yang baik," suara Hinata mulai terasa mencekam, "Makan rujaknya atau…"
Temari, Sakura dan Ino menelan ludah dan menyerah, "Baiklah." Ucap mereka pasrah. Meraih piring di hadapan mereka masing-masing dan memaksa suami mereka untuk melakukan keinginan Hinata.
Ino memberikan suapan kepada Sai yang di sambut lelaki pucat itu dengan senyuman tapi tetap menolak suapan Ino.
Sakura menyodorkan piring ke hadapan Sasuke yang di sambut lelaki Uchiha itu dengan delikan.
Temari pun melakukan hal yang sama dan di sambut dengusan Shikamaru yang membuang muka.
Setelah satu menit, mereka memakan itu bersamaan dan ekspresi yang berbeda muncul dari setiap wajah. Termasuk Naruto dan Kankurou. Sementara Hinata dan Gaara, mereka makan dengan lahap.
.
.
Lima belas menit kemudian, para tamu mulai meringis karena sakit perut. Terang saja. Buah yang di pilih Hinata adalah buah yang sedang sangat asam dan kecap pedasnya, mungkin memakai sekilo cabe rawit yang sangat pedas. Wajar jika mereka sakit perut.
Tapi, menghormati tuan rumah. Tidak mungkin mereka langsung pulang setelah makan. Dari itulah mereka masih duduk di ruang tamu kediaman Uzumaki itu, menunggu Hinata yang sedang ke kamar mengambil sesuatu. Wanita hamil itu meminta mereka menunggu.
"Gaara," pria berambut merah itu menoleh saat kakak perempuannya memanggil. "Apa kau tidak sakit perut? Kau makan banyak sekali tadi."
Gaara menggeleng, "Tidak, rujak itu sangat enak. Mungkin besok aku mau lagi."
Ekspresi melongo dari para tamu kecuali Sasuke, membuat Gaara mengalihkan tatapannya kearah lain.
"Nah," suara riang Hinata yang baru kembali membuat mereka tersentak dan mengalihkan tatapan mereka. Melihat Hinata yang duduk di samping Naruto sambil membuka album. "Aku ada hadiah untuk kalian." Ucapnya masih sambil mencari sesuatu di dalam album foto.
"Ini dia," dia mengambil beberapa foto dan membagikannya. "Ini untuk Sakura-chan… ini untuk Temari-san… dan ini untuk Ino-chan.."
Ketiga wanita itu mengambil foto yang di sodorkan dan melihatnya, sedetik kemudian… "Hahaha…" …mereka tertawa antara lucu dan menahan sakit perut. Membuat suami mereka mengerutkan alis bingung.
Sadar jika suami mereka penasaran, ketiga wanita itu memperlihatkan foto yang mereka pegang.
Dan Sasuke langsung memejamkan matanya menahan diri,
Shikamaru berdecak dan berusaha merebut foto itu dari Temari tapi tidak berhasil,
sementara Sai hanya tersenyum miris kepada istrinya dengan tangan yang juga berusaha menggapai foto itu.
Foto Shikamaru, Sasuke dan Sai yang sedang memakai bando telinga kucing berwarna pink, berekspresi kesal yang justru membuat mereka terlihat manis di foto itu. Foto yang Hinata koleksi saat dia sedang hamil Boruto dulu.
Bahkan bando yang mirip juga ada di tangan Hinata sekarang, bando yang mirip tapi bukan bandonya yang dulu. Hinata sempat menangis seharian saat Sasuke mengembalikan bando yang berbeda padanya karena bandonya yang asli sudah patah belah tiga tiga tahun yang lalu. Membuat Naruto menyalahkan Sasuke seharian pula akan hal itu. Alhasil, pria Uchiha itu stress sampai membatalkan pertemuannya dengan Haruno Kizashi.
"Terima kasih Hinata-chan, aku akan menyimpannya dengan baik." Ucap Sakura dengan riangnya.
"Itu harus segera di lenyapkan, bukan di simpan." Desis Sasuke pelan, jelas dia tidak ingin sampai terdengar wanita Uzumaki yang sedang dalam masa 'gawat' itu.
"Benar Sakura. Aku akan menunjukkannya kepada Shikadai kalau dia sudah besar. Jadi dia tahu kalau Ayahnya sangat manis." Temari menambahkan.
"Tentu saja aku manis. Aku juga bisa jadi 'anak baik' jika kau sampai menyimpan foto itu." jawab Shika dengan nada setengah mengancam. Oh Shika, seperti kau bisa menang saja dari Temari.
Naruto dan Kankurou terkekeh mendengar dan melihat teman-temannya. Sementara Gaara hanya diam tanpa suara. Hinata yang melihat Gaara diam pun tersenyum tipis sambil mempersiapkan kamera dan bando yang tadi dia bawa.
"Gaara-kun.."
Set
Semua kepala dan mata beralih ke Hinata saat panggilan dengan nada 'awas' itu kembali terdengar. Tapi sepertinya ketakutan yang lain tidak di rasakan oleh Gaara, sehingga dia berdeham pelan sebagai jawaban.
"Apa kau… juga mau di foto?" ucap Hinata sambil mengangkat kamera dan bando.
Naruto menelan ludah. Hei, tidak masalah jika yang lain. Tapi Gaara itu seorang Kazekage, walau status mereka teman tetap saja itu bukan hal yang bagus.
"Ng Hi-Hinata-chan…" Naruto menyela cepat. "Jangan Gaara ya, dia kan Kazekage."
Hinata berkedip dua kali, "Memang kenapa kalau dia Kazekage, aku kan cuma menawarkan foto."
Yang lain menggelengkan kepala melihat Hinata yang benar-benar tidak mengenal sekitarnya saat sedang ngidam. Harus di turuti atau jerit tangis akan terdengar.
"Hinata, yang lain saja ya.." Naruto masih membujuk, tapi Hinata menolak dan tetap menyodorkan bando di tangannya pada Gaara walau terus di halangi Naruto. "Sayang, dengar dulu…"
"Baiklah."
"Eh?"
Seolah berulang, hal yang tak terduga terus terjadi. Gaara meraih bando itu dan segera memakainya. Membuat Sakura dan Ino menggigit bibir menahan teriakan akan makhluk manis di depan mereka. Kalau dulu mereka langsung teriak saat melihat Sasuke memakai bando itu karena mereka masih single, tapi sekarang, jelas mereka sadar kalau suami mereka sedang ada di samping mereka.
"Kyaaa… Gaara-kun kereeennn…" justru Hinata yang berteriak antusias dan segera mengangkat kameranya, membuat Naruto cemberut karena merasa kalau dari tadi Hinata terlalu over terhadap Gaara. Memuji Gaara, menyodorkan buah lebih banyak ke Gaara, dan yang jelas, Naruto tidak suka jika Hinata lebih perhatian kearah Gaara.
.
.
Naruto menghembus nafas lega setelah semua tamunya pulang. Dia membaringkan dirinya di ranjang sambil menunggu Hinata yang sedang berada di kamar mandi. Pria itu tersenyum saat melihat semua foto yang Hinata kumpulkan saat dia hamil Boruto dulu. Entah foto seperti apa yang akan di koleksi Hinata di kehamilannya kali ini.
Memikirkan hal itu, membuat Naruto merindukan putranya, padahal baru saja kemarin Boruto pergi dengan Hanabi. Dia menaruh album itu di nakas samping tempat tidurnya lalu memikirkan seperti apa anaknya yang kedua ini. Dia juga memikirkan kenapa sifat Hinata bisa berubah 180 derajat setiap kali dia mengandung.
Dan yang tidak ketinggalan, pria itu juga memikirkan kelakuan Gaara hari ini. Perasaannya saja atau Gaara juga terlihat seperti ngidam? Kazekage itu seolah juga menginginkan apapun yang jadi keinginan Hinata.
"Naruto-kun?" panggilan Hinata membuat pemikirannya terputus. Naruto menoleh dan tersenyum melihat Hinata yang membaringkan diri di sampingnya. "Kau memikirkan apa?"
Naruto menggeleng dan menarik Hinata ke pelukannya. Ah, Naruto sungguh mencintai wanita itu. "Aku hanya memikirkan bagaimana anak kita nanti. Dia akan mirip denganmu atau denganku?"
Hinata tersenyum dan membalas pelukan suaminya. "Karena Boruto sudah sangat mirip denganmu, bagaimana kalau anak kedua kita mirip denganku?"
"Begitu? Tapi aku juga mau dia mirip denganku ttebayo!"
"Baiklah," Hinata mendongak dan menatap wajah sang suami yang juga menatapnya. Tangannya terangkat membelai mata Naruto, "Matamu indah, aku suka jika anak kita memiliki mata yang sama sepertimu."
"Matamu juga indah, Hime."
Hinata tersenyum dan mengecup pipi Naruto singkat. "Tapi aku ingin anak kita punya mata biru seperti ini.." ucap Hinata tetap bertahan dengan keinginannya.
"Baiklah. Matanya biru." Putus Naruto mengalah.
"Hm.." wanita itu berpikir lagi. "Aku ingin dia juga memiliki tanda lahir yang sama sepertimu." Hinata mengelus garis tiga yang ada di pipi Naruto. "Menurutku akan tambah manis."
Naruto mengangguk, "Baiklah, mata biru dan tanda lahir di pipi." Putusnya lagi mengikuti keinginan Hinata.
"Rambut indigo." Seru Hinata selanjutnya. "Seperti rambutku.."
Naruto berkedip, mencoba membayangkan seperti apa anaknya nanti. Rambut indigo, mata biru dan tanda lahir di pipi. Itu akan benar-benar menunjukkan keturunan dari seorang Naruto dan Hinata. Pemikiran itu membuat Naruto tertawa senang.
"Ya, aku setuju. Akan jelas terlihat kalau dia adalah anak kita."
Wajah Hinata merona mendengar ucapan Naruto. Anak mereka, buah cinta mereka. Wanita itu mengangguk dan tersenyum lebar. Dia membalas pelukan suaminya saat pelukan itu semakin mengerat.
"Aku mencintaimu, Hinata."
"Aku juga mencintaimu, Naruto."
Senyum lebar terpampang di wajah Naruto. Dia mengangkat dagu istrinya dan mengecup lembut bibir itu. Dari tatapannya, Hinata tahu apa yang di inginkan suaminya, dan langsung bertindak lebih dulu untuk memulai.
.
.
Tuk tuk tuk…
Jari telunjuk Naruto mengetuk meja makan dengan kesal. Wajahnya kusut sambil memandang Hinata yang makan ramen buatan Gaara dengan lahap.
Makan ramen? Buatan Gaara? Bukankah mereka tadi akan melakukan hal lain di tempat tidur?
Hal itulah yang masih tidak di percaya oleh Naruto. Tadi, saat baru lima menit kegiatan mereka, tiba-tiba saja bel rumah berbunyi, menimbulkan tanda tanya dan kekesalan bagi pria pirang itu.
Dan saat dia membuka pintu, Gaara berdiri di hadapannya dengan wajah datar sambil berkata, 'Aku tiba-tiba ingin menginap di sini.' Saat Naruto masih terdiam bingung, Hinata langsung dengan senang hati mempersilahkan Gaara masuk dan menunjukkan kamar tamu.
Tak cukup sampai di situ. Belum semenit mereka kembali ke kamar, tiba-tiba saja Hinata ingin minum susu dan hanya ingin susu buatan Gaara.
Terpaksa Naruto mengganggu Gaara dan meminta tolong, tanpa dua kali Gaara langsung mengangguk dan melakukannya. Dia tidak membuat segelas susu tapi dua gelas, satu untuk Hinata dan satu di minumnya sendiri. Membuat Naruto berpikir, apa Gaara memang selalu minum susu sebelum tidur?
Setelah meminum susu dan kembali ke kamar masing-masing, Hinata kembali merasa ingin makan ramen, buatan Gaara.
Dan di sinilah dia sekarang. Duduk di meja makan dengan wajah menekuk sambil memandang malas kearah dua manusia yang makan ramen dengan lahap di hadapannya. Dia yang sangat suka ramen saja tiba-tiba mual melihat makanan itu, tapi kenapa Hinata dan Gaara justru seperti orang kelaparan?
"Gaara, kau suka ramen?" tak tahan, akhirnya dia bertanya.
"Entahlah, tiba-tiba aku ingin memakannya."
Alis Naruto mengerut bingung akan jawaban itu. "Sebenarnya ada apa denganmu Gaara? Hari ini kau seperti wanita ngidam." Ucapnya ketus. Membuat Hinata dan Gaara menatapnya dan berhenti makan.
"Naruto-kun, kenapa kau berbicara begitu?"
"Memang benar, dia menginginkan semua hal yang kau inginkan. Seperti orang ngidam, padahal yang hamil bukan dia." Naruto tanpa sadar mengungkapkan kekesalannya yang entah kenapa sulit di tahan.
"Kau kelihatan kesal." Ucap Gaara menyimpulkan. "Apa kau tidak suka aku menginap di sini?"
"Bukan itu maksudku," Naruto menjawab cepat, dia menghela nafas menahan diri. "Aku… hanya heran.. kenapa kau… aneh?"
Gaara dan Hinata mengernyit bingung akan perkataan Naruto. Begitu pula pria pirang itu, dia juga bingung akan perkataannya sendiri.
"Sudahlah," ucapnya pelan, "Aku mau tidur."
Hinata menatap sendu suaminya, bingung kenapa Naruto jadi kesal. Meneguk minumannya satu kali, dia berdiri. "Baiklah, ayo kita tidur." Ajaknya dan Naruto ikut berdiri. "Kami duluan Gaara-kun."
Pria berambut merah itu hanya mengangguk dan melihat kepergian sahabatnya dengan wajah datar.
"Hari ini kau seperti wanita ngidam."
Gaara menunduk mengingat perkataan Naruto. Sesungguhnya dia sendiri tidak mengerti kenapa dia seperti itu. Dia hanya merasa menginginkan sesuatu dan harus terpenuhi. Bahkan tadi dia sempat berdebat dengan Kankurou yang tidak setuju dia menginap di rumah Uzumaki.
Kata Kankurou, tidak baik menginap di rumah orang apalagi sampai mengganggu malam-malam. Mengabaikan semua itu, Gaara tetap nekat datang dan menginap di sana. Begitupun dengan susu dan ramen yang dia buat. Dia merasa seseorang membuatnya menginginkan semua itu. Tapi dia tidak tahu siapa?
.
.
Sudah setengah jam Hinata menatap punggung Naruto yang berbaring membelakanginya. Dia tahu Naruto belum tidur dan dia juga tidak bisa tidur. Dia merasa harus minta maaf walau tidak mengerti apa salahnya.
"Naruto-kun?"
"Tidurlah, ini sudah malam."
Hinata menggigit bibirnya mendengar jawaban dingin dari Naruto. "Naruto-kun.." dia memanggil lagi.
"…"
"…"
"Kenapa?" akhirnya Naruto berbalik dan bertanya. "Kau mau apa?"
Hinata ragu untuk menyebutkan keinginannya tapi… "Aku,… mau makan rujak lagi."
"Rujak?" Hinata mengangguk, "Kau ingin aku mengambilkannya atau harus membangunkan Gaara lagi?" ucapan menyindir itu membuat mata Hinata berkaca-kaca. Wanita itu menginginkan Gaara yang mengambilnya tapi dia takut Naruto akan marah.
Diamnya Hinata membuat Naruto menghembus nafas kasar, "Kau ingin aku membangunkan Gaara lagi kan?"
Hinata mengangguk pelan tanpa melihat, Naruto langsung mendudukan dirinya dan mengacak rambutnya kesal. "Demi Tuhan, kau kenapa Hinata? Kenapa dari tadi kau hanya ingin apapun yang di buat Gaara? Aku juga bisa membuatkan semua itu untukmu."
Hinata tersentak karena suara Naruto yang meninggi, dia ikut mendudukan dirinya dan menundukkan kepalanya. Membuat Naruto sedikit geram karena hal itu. Selama pernikahan mereka, dia tidak pernah merasa sekesal itu pada Hinata.
"Kenapa kau diam? Apa kau… dan Gaara…"
Hinata mendongak dan menatap Naruto yang memutus perkataannya, air mata itu mengalir saat melihat kecurigaan di mata safir Naruto. "Apa maksudmu Naruto-kun? Kau menuduhku selingkuh?"
Naruto tersentak akan perkataan Hinata. Tidak, bukan itu maksudnya. "Hina—"
"Naruto-kun jahat."
Hinata langsung berdiri dan keluar dari kamar.
"Hinata." Menghela nafas, Naruto segera mengejar belahan jiwanya. Kenapa semua jadi rumit?
.
.
"Hinata-chan.."
"Hiks… hiks…"
Naruto duduk berlutut di hadapan Hinata yang duduk di sofa ruang keluarga. Dia masih membujuk sang istri agar mau memaafkannya. Dia menyesal telah lepas kendali dan marah-marah seperti tadi.
"Hinata-chan, aku minta maaf. Aku menyesal. Maaf sayang.." dia menggenggam erat tangan Hinata. Wanita itu menolak untuk menatapnya dan lebih memilih menundukkan kepalanya. "Sayang…"
"Naru hiks.. Naruto-kun jahat… hiks… Naruto-kun menuduhku."
"Tidak!" Naruto menangkup pipi istrinya, membuat wanita itu menatapnya. "Aku tidak pernah berpikiran seperti itu, maafkan aku. Aku hanya merasa… sedikit…" dia harus mengatakan apa? "Itu… aku hanya merasa kalau aku bisa melakukan apa yang kau inginkan. Tidak perlu mengganggu Gaara."
Hinata menghentikan tangisnya dan menatap Naruto dengan wajah cemberut. "Aku minta maaf, Hinata. Aku menyesal, maafkan aku."
Tangan tan itu mengerak mengusap pipi istrinya yang basah. Mengecup hangat kening Hinata sebagai tanda permintaan maaf yang tulus.
"Maaf ya?"
"A-aku maafkan," ucap Hinata pelan sambil menatap suaminya, "Tapi ada syaratnya."
Naruto tersenyum, "Apa? apa syaratnya? Kau boleh meminta apa saja, sayang."
"Cium aku."
.
"Hah?" Naruto cengok mendengar permintaan itu, dia tidak salah dengarkan?
"Cium aku dulu, baru aku maafkan." Hinata menunjuk bibirnya dengan telunjuk, "Di sini.." lanjutnya pelan.
1… 2… 3…
Naruto tersenyum lebar setelah mencerna keinginan istrinya. Dia berdiri dan membawa Hinata ke dalam gendongannya, membuat wanita itu terpekik.
Naruto menyeringai dan berbisik, "Di kamar saja, sekalian kita lanjutnya yang tadi."
Wajah Hinata memerah mendengar itu, dia mengeratkan pegangannya saat Naruto mulai melangkah kembali ke kamar.
Blam… Naruto tidak akan membiarkan ada yang mengganggunya lagi.
Lima menit kemudian, Gaara keluar dari kamarnya dan menatap sekeliling rumah. Selanjutnya dia melangkah ke dapur untuk mencari sesuatu yang ingin dia makan.
Rujak.

Thursday, 22 September 2016

Uzumaki Family Times *englishlanguage

Chapter 1: Teen Wolf Fascination (Naruhina)
Hinata Uzumaki lay on her bed, next to her husband who was in fact, wide awake. Unlike Hinata, who was fast asleep. Naruto looked over at his wife, admiring her beauty and fascinated by her beautiful indigo hair spilling over her shoulders and the pillow. He lightly grazed her cheek and kissed her temple, getting up due to an idea that filled his mind. Naruto got up and slowly creeped over to his children's rooms, he knew they were getting older, Boruto was already 15, while Himawari was only 13. Himawari was still in the academy, while Boruto was Already a shinobi, although Naruto hated the fact that he had to send his own children on missions, he hated it when he had to send his wife on one, mostly because he absolutely sucked at being a father in his opinion, but to Hinata and Himawari, they thought he was doing perfect. Boruto? Not so much. He loved his dad deep down, but would never admit it. He was mad, and a little jealous that his dad considered the whole village to be his kids, instead of just him and Himawari. This ran through everyone's mind as they were all asleep, except Naruto. Naruto smiled, and made his way out to Ino's flower shop, picking up some rose petals, good thing only Sai was there, he didn't have time to hear Ino talk. As Naruto rushed back home, he quietly walked in to see that everyone was still asleep. Naruto carefully went to wake up Himawari and Boruto, and sent them off to the academy. Then Naruto set his plan into motion. He took the rose petals and sprinkled them onto his and Hinata's bed, and into the dining room, where he had cereal and orange juice laid out. He had Netflix ready and a pile of blankets, to have a Teen Wolf marathon, which he knew was Hinata's favorite show, although he hated when she would fawn over the men's abs and then he would then tickle her to death. He had food set on the coffee table and tissues, mostly for Hinata on the sad parts, and had the windows protected for the cockblocker parts. When he felt satisfied, he woke up Hinata. "Hime, it's time to wake up." Hinata's beautiful lavender eyes fluttered open and her small, kissable lips formed into a smile. "Good Morning Hime." She sat up, kissed Naruto, and walked out into the living room, a smile forming on Naruto's face. When he met Hinata's side at the end of the hallway, her face was a mix of surprise and happiness. "Naruto, did you do this?" He nodded, very proud, and laughed when she gasped at the sight of Teen Wolf. "Naruto. Couch. Now." He looked to Hinata, then the cereal. "But Hime, what about-"
"We will eat it out here." Naruto's eyebrows raised. "Woah, this is new. I think I like this new Hinata." Hinata rolled her eyes. "Yeah, Yeah. Just don't talk during the show." Hinata grabbed her cereal, and Naruto grabbed his, and set it on the table next to Hinata's as he snuggled into the blanket with her. Before they started the marathon, Sakura, Ino, and Ten-Ten busted in. "WE heard you were having a teen wolf marathon so, we are here for that." Said Ino as they all plopped next to me and Hinata, some on the couch, some on the floor. Throughout the day, you could hear angry girls and laughter coming from the Uzumaki household. When Boruto and Himawari came home, Himawari plopped down, mesmerized by Stiles and all things about him, whereas Boruto, said ew and went to be emo in his room. Then, weirdly, Sarada slipped in, stole Boruto's shoe, and walked out sniffing it. Sakura sat there, completely weirded out by her daughter's antics as everyone looked to her. "Okay, I don't know what the actual fuck that was but, let's just, pretend it never happened." Sakura said, trying to shake off her daughters randomness. "Yeah, that's kind of impossible." Said Hinata, as Ino struggled to put her hand over her mouth, while her eyes were still on the screen. "Shhhhhhhhhhhhhh Stiles is saying something romantic to Derek!" Hinata's eyes darted to the screen. "Really!?"
" Naw, I just said that so you would shut up." Hinata looked to Ino as if to say 'I will murder you in your sleep' and dangerously walked back to my side, silently plotting revenge. And for the rest of the night, everyone was on edge, and on watch for the dangerously armed Uzumaki women.
So guys, what do you think of the first chapter? Comment and follow, this will be continued if it gets enough reviews just please, no hate.

Wednesday, 14 September 2016

Uzumaki Family (Chapter 4)

Note : OOC / Canon / Typo / NaruHina slight ShikaHima / Judul dan isi nggak nyambung
Konoha. Nama salah satu desa yang ada di Negara Api. Desa yang terasa sejuk karena pepohonan dan juga udara yang tidak terlalu panas seperti di Suna, ataupun tidak terlalu dingin dan basah seperti di Ame. Sebagian penduduknya adalah seorang ninja/shinobi. Jadi tidak heran jika banyak anak-anak kecil yang sudah mahir menggunakan cakra dan senjata di sana.
Begitupula dengan seorang bocah laki-laki berambut pirang yang sekarang sedang berlatih di tanah lapang dekat hutan. Tangannya dengan cepat membentuk segel sehingga mengeluarkan bulatan biru yang terasa berputar. Kadang pula tangannya mengambil shuriken lalu dengan cepat dan tepat melemparnya kearah target di pohon.
Bocah laki-laki itu serius berlatih hingga tidak tahu atau bahkan tidak pernah tahu jika ada yang sering mengawasinya dari jarak yang cukup terjangkau tapi tak terlihat. Seorang gadis seumuran yang bersembunyi di balik pohon terlihat serius memperhatikan bocah laki-laki itu.
Seperti anak laki-laki itu yang tidak sadar atas kehadirannya, gadis itu juga tidak menyadari dua orang yang kini sudah berada di belakangnya dan ikut mengintip. "Lihat apa?" tanya seseorang yang ada di belakang gadis itu.
"Itu…" jari telunjuk gadis itu menunjuk kearah anak laki-laki yang sedang berlatih rasengan.
"Wah,, Oniichan hebat.. dia sudah pandai mengembangkan rasengannya." Satu orang yang lain juga bersuara.
Gadis itu mengangguk, "Iya,, dia memang semakin hebat ak—" gadis itu terdiam dan memutus sendiri omongannya, berkedip bingung dan berpikir kalau dia tadi hanya sendirian, lalu siapa yang berbicara di belakangnya?
Dia berbalik dan hampir terjungkal ke belakang saat mendapati dua perempuan berbeda usia menatapnya dan tersenyum. "Bi-bibi Hina-ta? Hi-mawari? Sejak kapan ka-lian di sini?" tanyanya tergagap.
"Cukup lama untuk mendengar Sarada-nee memuji Boruto-nii tadi." Seorang gadis kecil berambut indigo pendek menjawab santai sambil tersenyum. Padahal jawaban polosnya bisa membuat lawan bicaranya merona malu.
"Oh,, itu…"
Hinata tersenyum melihat Sarada yang salah tingkah karena tertangkap basah sedang memperhatikan Boruto dari jauh. Dia berpikir, kalau dulu dia juga tertangkap basah saat mengintip Naruto, mungkin dia akan langsung pingsan di tempat. Kenyataan kalau Boruto mirip dengan Naruto dulu membuatnya tersenyum senang.
"Sarada-chan, kau tidak berlatih?"
"Aku berlatih kok," gadis Uchiha itu menjawab cepat, "Err.. aku berlatih… memeriksa isi pohon."
Krik krik krik…
Hinata melirik, apa ada serangga Shino yang lewat?
Sedangkan Sarada mengigit bibirnya karena menyadari kalau alasannya sungguh payah.
"Kalau begitu, boleh Bibi minta tolong?" Sarada mengangguk pelan, "Berhubung kau berlatih di dekat Boruto berlatih, Bibi minta tolong berikan bekal ini padanya. Kami harus segera ke pasar jadi tidak bisa menunggu, dan rasanya tidak enak kalau harus mengganggunya berlatih. Kau mau kan?"
Sarada mengangguk dan tersenyum sambil meraih kotak bekal yang di sodorkan oleh Hinata. "Aku akan memberikannya saat dia selesai berlatih."
"Terima kasih Sarada-chan. Kau baik sekali. Kami pergi dulu ya.."
"Jaa Neechan…"
"Jaa…"
. . .
Hinata dan Himawari berjalan berdua setelah memberikan bekal Boruto pada Sarada. Hinata tahu jika Sarada semakin ingin dekat dengan Boruto setelah kejadian di hutan bulan lalu. Dan dia mengerti tentang itu, bagaimanapun, dia pernah mengalami hal yang sama.
"Mama, kapan Hima masuk akademi?"
"Hima mau masuk akademi?" gadis kecil itu mengangguk, "Ehm,, mungkin tahun depan."
"Apa di akademi menyenangkan?"
"Tentu saja," Hinata menjawab cepat "Di akademi nanti, Hima bisa mendapat teman baru yang lebih banyak. Hima juga bisa belajar banyak jurus baru."
"Wah, Hima tidak sabar mau masuk akademi." Hinata hanya tersenyum melihat antusias putrinya…
Bruk brukk..
Mereka menoleh saat terdengar suara ada benda yang jatuh, dan saat mereka menoleh. Terlihatlah oleh mereka seorang anak laki-laki yang sedang berdecak kesal karena jeruk yang dia bawa jatuh lantaran plastiknya sobek.
"Shikadai-kun, kau kenapa?" Hinata bertanya pelan sambil mulai membantu memunguti jeruk yang ada di dekat kakinya, begitu pula Himawari.
"Ah, Bibi Hinata. Plastiknya sobek jadi semuanya jatuh. Hah, lagipula kenapa Ibu harus menyuruhku sih. Merepotkan." Bocah Nara itu menggerutu.
Sukses membuat Hinata tersenyum karena jelas, gaya bocah itu mirip dengan Ayahnya. Sementara Hima hanya diam dan menatap Shikadai dengan wajah polosnya.
"Ya sudah, Bibi coba meminta plastic baru dari toko lain, tunggulah di sini." Hinata segera berjalan pergi meninggalkan kedua bocah di sana yang masih memunguti jeruk di tanah.
"Ini.." Shikadai menoleh saat Hima memberikan jeruk yang gadis itu kumpulkan padanya. "Aku yang ambil, Niichan yang pegang jeruknya." Lanjut gadis kecil itu.
"Eh? Tidak usah, kita tunggu Bibi Hinata saja."
Himawari tersenyum dan tetap keras kepala mengumpulkan jeruk-jeruk itu lebih dulu. Dan entah kenapa Shikadai terdiam saat melihat senyum manis gadis itu. ugh, suasana terasa jadi merepotkan baginya.
"Nah," akhirnya kehadiran Hinata bisa membantu, "Ini plastiknya, sekarang masukkan ke sini." Mereka bertiga memunguti jeruk itu dan langsung memasukannya ke dalam plastic yang di bawa Hinata.
"Terima kasih Bibi,, Himawari."
"Hu-um." Himawari mengangguk dan tersenyum lagi. Membuat Shikadai menunduk tiba-tiba. "Lain kali hati-hati Niichan."
"Ya sudah, kami pergi dulu ya. Shikadai-kun."
Bocah Nara itu hanya mengangguk pelan saat kedua perempuan itu melangkah pergi. Setelah beberapa saat dia menghembus nafas lega. Sial,, sejak kapan dia jadi bersikap seperti orang pemalu begini?
"Ck, merepotkan!"
. . .
Hari itu… tim InoShikaCho dan tim BoruSaraMitsu berlatih bersama. Mereka kadang melakukan sparring berpasangan atau saling bertarung dengan kerja sama. Kadang pula mereka berlatih sendiri.
Seperti sekarang. Sarada terlihat tengah sparring dengan Chocho. Sementara Mitsuki dan Inojin berlatih sendiri dengan jurus mereka masing-masing, begitupula dengan Boruto. Sedangkan satu orang lagi, berdiri dan menatap malas teman-temannya, sedetik kemudian, dia akan menguap lebar.
"Oi, kalau mau tidur di rumah."
"Berisik. Justru kalau Ibuku ada, aku tidak akan bisa tidur disiang hari." Boruto hanya menggeleng sedangkan Mitsuki tersenyum. Mereka sudah terbiasa dengan sikap teman satu kelas mereka itu.
"Onii-chan, aku bawakan bekal."
Teriakan seorang gadis kecil yang baru datang, sontak membuat ke enam shinobi pemula itu menoleh. "Iya, tunggulah di sana. Sebentar lagi." Teriak Boruto menjawab.
Gadis kecil itu menurut dan berjalan menuju pinggir lapangan, duduk di sebuah tempat duduk yang terbuat dari semen yang cukup lebar. Dia menaruh bekal yang dia bawa disampingnya dan mulai menyajikan makanan itu tapi masih dengan tutupnya agar makanan itu tidak terbuka.
Lima belas menit kemudian, ke enam shinobi pemula itu selesai berlatih dan menghampirinya. "Maaf membuatmu menunggu Hima."
"Tidak apa." Boruto tersenyum dengan jawaban adiknya, baru saja dia akan duduk disamping adiknya sebelum Mitsuki dan Inojin lebih dulu duduk di samping kiri kanan Himawari. Sukses membuat bibir Boruto maju dengan wajah menekuk. Akhirnya dia duduk disamping Shikadai.
Mereka mulai membuka bekal masing-masing, tapi Inojin terlihat masih sibuk dengan gulungan ninja dan juga kuasnya, menggambar sesuatu. Merasa penasaran, Himawari yang duduk di sampingnya mencoba mengintip apa yang di gambar Inojin. "Kenapa?" gadis kecil itu tersentak saat Inojin bertanya tiba-tiba.
Hima hanya menggeleng pelan, "Kau mau tahu apa yang aku gambar?" tanya Inojin lagi, dan gadis itu mengangguk. "Baiklah, tunggu sebentar!" bocah laki-laki berambut pirang itu menyimpan kuasnya dan membentuk segel, "Ninpo choju giga.." ucapnya dan seketika seekor kelinci melompat dari kertas itu menuju pangkuan Hima.
"Wah,, lucunya.." Inojin tersenyum lebar mendengar teriakan girang Himawari tentang kelinci tinta yang dia buat. Begitupun yang lain, mereka ikut tersenyum. Tapi tidak dengan dua orang yang berada di sisi lain tempat duduk itu.
Yang satu bocah Nara yang menatap itu dengan pandangan malas, dan yang satu sulung Uzumaki yang menatap itu dengan wajah kesal. "Inojin, kita sedang makan. Bagaimana jika jurusmu itu terlepas dan tintanya mengenai makanan?" bentak Boruto sinis, dia merasa kesal jika ada orang lain yang mendekati adiknya. Biasalah, sister complex.
Inojin menghela nafas dan kembali memasukan kelinci itu ke dalam gulungan ninjanya, membuat Himawari menatap kecewa. Raut kecewa itu tertangkap oleh Shikadai, tapi sebelum bocah Nara itu berkata apa-apa, Mitsuki lebih dulu menghibur gadis kecil itu. "Sudah tidak usah sedih," ucap Mitsuki yang berada di sisi lain Hima, dia menyumpit satu sushi dan mengerahkannya ke mulut Himawari. "Cobalah, ini enak."
Himawari dengan senang hati menerima suapan Mitsuki. "Enakkan? Siapa yang membuatnya?"
"Yang membuatnya Ibu tapi aku yang membantunya." Hima menjawab bangga.
"Wah, kau pasti bisa menjadi istri yang baik nanti."
Cukup! Kekesalan Boruto mencapai ubun-ubun. Kenapa kedua temannya itu tiba-tiba merayu adiknya sih? "Hima, pindah ke sini." Boruto dengan suara yang meninggi menyuruh Hima pindah untuk duduk di sampingnya. Membuat Shikadai melirik dan bergeser sedikit seolah memberi ruang di sana.
Gadis kecil yang cantik itu menurut saja keinginan kakaknya. Dia berdiri dan pindah tempat duduk di samping kakaknya. Boruto segera mengambil beberapa makanan dan memberikannya pada Hima. "Makanlah ini." ucapnya dengan suara yang kembali normal. Sanggup membuat yang lain menatapnya tertegun. Mereka baru tahu jika Boruto sangat perhatian pada sang adiknya tercinta.
Sambil makan, obrolan di antara mereka mengalir. Entah itu tentang misi, latihan, ataupun beberapa trik menggunakan senjata. Sementara Hima yang tidak mengerti hanya diam. Gadis kecil itu melirik Shikadai yang duduk di sampingnya dan meraih sebuah jeruk lalu menyodorkannya pada bocah Nara itu.
"Apa?" tanya Shikadai santai.
"Kemarin Niichan bawa jeruk banyak sekali, pasti Niichan suka jerukkan? Ini untuk Niichan."
Boruto melirik tajam Shikadai yang menerima jeruk pemberian Himawari dengan malas. Berpikir kalau mungkin Shikadai tidak cukup berbahaya jika di dekat adiknya, jadi dia membiarkannya saja.
Setelah mereka selesai makan, Shikadai lebih dulu berdiri "Aku pulang duluan ya."
"Latihan kita belum selesai."
"Kalian saja yang menyelesaikannya. Aku mau tidur. Hoaaahhmm.." bocah berambut nanas itu berjalan pergi tanpa menghiraukan panggilan teman-temannya.
"Niichan, aku pulang dulu ya." Himawari juga pamit setelah selesai membereskan tempat bekal tadi.
"Ya, hati-hati. Terima kasih Hima." Gadis itu tersenyum dan mengangguk lalu melambaikan tangannya pada semua orang yang ada di sana sebelum melangkah pergi.
. . .
Gadis berambut indigo itu berjalan sendiri melewati jalanan di desa. Tersenyum ramah jika ada yang menyapa. Entah apa yang membuatnya terlihat begitu senang hari itu. Yang jelas dia merasa ingin selalu tersenyum, berpikir mungkin dia akan sering mengantar bekal untuk kakaknya disaat kakaknya itu sedang berlatih.
Tap.
Langkahnya terhenti saat melihat seseorang yang dia kenal sedang berjalan sendiri dengan menggendong seekor kelinci. Dia berjalan menghampiri orang itu, "Shikadai-nii?"
Shikadai berhenti dan menoleh, terdiam mendapati Himawari yang menyapanya dengan tersenyum. Dia tidak mengerti, sejak kapan seorang Nara Shikadai merasa senang kala melihat senyum manis gadis itu? "Hn." Jawabnya singkat.
"Niichan disini? kupikir Niichan sudah pulang." gadis itu bicara lagi, mata safirnya melirik kearah kelinci yang masih diam di pelukan Shikadai. "Kelinci siapa itu?"
"Kelinci liar mungkin, yang jelas aku menemukannya disana tadi," Shikadai menunjuk suatu tempat dimana dia menemukan kelinci itu, "Dia terlihat kelaparan jadi aku ingin membawanya pulang."
Himawari berkedip bingung, tempat yang ditunjuk Shikadai itu adalah pasar. Bukankah tadi Shikadai bilang itu kelinci liar? Seharusnya kelinci liar ada di hutan bukit belakang sekolah, bukannya jalan-jalan di pasar?
"Kenapa kelinci liar bisa sampai di pasar?"
"Mungkin dia sedang cari suasana baru dan tiba-tiba kesasar." Jawab Shikadai masih dengan santai. Tidak mungkin dia berkata jujur jika dia berlari dengan cepat menuju hutan dan menangkap kelinci itu dengan jurus bayangannya karena tadi melihat Himawari sangat suka dengan kelinci. Karena itulah dia lebih dulu pamit tadi.
Himawari mengangguk pelan. "Kau mau?" tanyanya kemudian yang mengundang tatapan tidak mengerti Himawari, "Apa kau mau merawat kelinci ini? aku ingat Ibu tidak terlalu suka hewan seperti ini. Jadi.. ya.. kau bisa merawatnya." Bocah laki-laki itu bicara sambil mengalihkan tatapannya.
"Benarkah kelincinya boleh untukku?" Shikadai mengangguk dan itu membuat senyum Hima melebar, "Arigatou Niichan, aku mau merawatnya."
O-oh, wajah Shikadai terasa menghangat melihat wajah gembira gadis itu.
. . .
Himawari tersenyum sambil mengelus kelinci dalam pelukannya, dan senyumnya makin melebar saat mendengar suara Ayahnya saat dia memasuki rumah. Dia segera berlari untuk bertemu sang Ayah, tapi langkahnya terhenti saat melihat Ayah dan Ibunya sedang berbicara di dapur. Terlihat Ibunya sedang memberikan sebuah kue coklat kepada Ayahnya. Dia yakin itu kue coklat yang tadi dibuat Ibunya.
Dia memperhatikan kedua orang tuanya beberapa saat sebelum akhirnya berpaling saat kedua orang tuanya hampir berciuman. Dia memikirkan sesuatu dan segera berlari ke kamarnya, kakinya sempat tersandung sehingga dia hampir jatuh. "Aduh!" dia meringis pelan tapi untung tidak jatuh dan dia berlari lagi.
. . .
Siang itu, Naruto kembali ke rumah untuk mengambil satu berkas yang tertinggal. Tapi sebelum dia menuju kamarnya, dia lebih tertarik untuk menghampiri sang istri yang tengah berdiri di konter dapur dan sedang melakukan sesuatu.
Dia tahu jika tidak ada orang lain di rumah itu selain mereka berdua, dari itu pria pirang itu mendekat dan segera memeluk sang istri dari belakang. Sempat membuat sang istri terkaget tapi kemudian tersenyum.
Sang istri yang berambut indigo itu berbalik dengan kue coklat di tangannya. "Tada.. ini kue coklat untuk Naruto-kun."
Naruto tersenyum dan mencium pipi gembil Hinata sekilas, membuat wanita itu merona malu. "Aku mencintaimu Hinata-chan."
"Aku juga mencintaimu Naruto-kun. Happy Valentine."
Naruto terdiam dan berkedip, "Hah? Happy… apa?"
"Happy valentine Naruto-kun. Hari ini 14 Februari, makanya aku memberikan coklat ini khusus untukmu. Biasanya di hari valentine seorang perempuan akan memberikan coklat dan kado pada kekasih atau orang yang dia cintai."
"Hm," Naruto mengangguk dan mencicip sedikit kue coklat itu. "Ini enak. Terima kasih ttebayo. Happy Vatin juga Hinata-chan.."
"Happy Valentine, bukan Happy Vatin.."
"Ya.. begitulah.. hehehe.." Hinata hanya menghela nafas melihat kelakukan suaminya. Dan wanita itu menutup matanya saat Naruto mendekat untuk menciumnya. Tapi…
"Aduh!"
…sebuah suara menggagalkan aksi itu. Membuat mereka menoleh dan berkedip karena tidak melihat apapun.
Mereka kembali berpandangan dan mengangkat bahu sebelum Naruto kembali mendekat dan…
"Ayah, Ibu, Hima pergi dulu."
…teriakan itu kembali menggagalkan aksi Naruto.
Hinata berkedip bingung. "Kapan Himawari pulang?"
. . .
Sore itu, Shikadai tidak pernah menyangka akan kembali bertemu dengan gadis kecil yang sering membuatnya gugup seketika. Apalagi saat gadis itu memberinya sebungkus coklat dan mengucapkan 'Happy Valentine.'
Demi Kami-sama. Dia bahkan baru mendengar ada hari yang di sebut Valentine, walau dia beberapa kali mendengar Chocho yang ribut tentang memberi coklat untuk seorang pria tampan nantinya.
"Untukku?" tanyanya ragu.
Himawari mengangguk, "Tadi aku lihat Mama kasih kue coklat ke Papa, dan Mama bilang ini hari Valentine dimana seorang perempuan kasih coklat untuk orang lain." Gadis itu berbicara lancar, walau dia memotong kata-kata Ibunya yang bilang kalau coklat itu di berikan pada orang yang dia sayang.
Dia tidak tahu dia sayang atau tidak. Tapi Himawari tiba-tiba merasa ingin memberi Shikadai coklat saat melihat kelinci pemberian Shikadai. Setelah sempat mengintip Ayah dan Ibunya tadi, dia langsung berlari ke kamar untuk mengambil uang sakunya dan segera berlari keluar untuk membeli coklat. Lalu setelah itu, dia langsung menemui Shikadai.
*Anak-anak, tidak akan mengerti tentang apa perasaan mereka. Yang mereka tahu, mereka ingin melakukan apa yang mereka pikirkan akan membuat orang lain senang.*
. . .
14 Februari, biasa di sebut sebagai Valentine Day. Di Jepang, hari itu biasanya menjadi hari untuk para gadis memberikan coklat kepada orang yang dia cintai atau sebagai simbol pernyataan cinta.
14 Maret, biasa di sebut sebagai White Day. Di Jepang, hari itu biasanya menjadi hari dimana para pria yang menerima hadiah Valentin balas memberikan hadiah kepada perempuan yang memberinya hadiah ketika valentine.
.
.
Dan di hari white day itu, Boruto hampir jantungan saat memasuki kamar Himawari. Dia melihat seekor kelinci dalam kandang yang berada di samping meja adiknya dengan label 'Kelinci dari Shikadai-nii' di bagian pintu kandangnya.
Saat safirnya melirik kearah meja, dia melihat sebuah kado yang bertuliskan 'Hadiah White Day dari Shikadai-nii' di bagian depan bungkus kado itu. Geser sedikit, dia melihat catatan yang bertulis 'Hari minggu, pergi makan berdua dengan Shikadai-nii.'
Tangannya terkepal dan dia mengacak surai pirangnya. Merasa lengah dan tertipu oleh sikap santai Shikadai. Dia berpikir adiknya akan aman jika dekat dengan bocah Nara itu, tapi ternyata… bocah Nara itu lebih berbahaya dari perkiraannya.
"Arrghh… kusooo! Kau harus menjelaskan semua ini padaku, Shikadai!"
.
.
.
END
Sedikit susah untuk menulis kisah romansa anak kecil sehingga hanya inilah jadinya. Gimana pendapat readers, baguskah? Semoga suka.. :D
Chapter depan, kembali pairing NaruHina dengan setting saat Hinata hamil Himawari. Yah, bisa di baca sebagai sequel 'Sasuke the Neko-chaan.' Hanya saja, kalau disana korbannya cuma Sasuke, maka dichapter depan korbannya…
Oke cukup segini aja.. terakhir…

Tuesday, 6 September 2016

How long has it been? *englishlanguage

Hinata was relaxing in her bed. Boruto was out on a mission and Himawari was sleeping at her friends house so Hinata took the time to clean the entire house from top to bottom.
She loved her children with all her heart but they completely destroyed her house on a daily basis. Especially Boruto, even though he sincerely tried not to. He was just like a typhoon of mud every day.
After cleaning the entire house, of which she even got ahold of the kids' rooms, she took a long bath and even read her book while relaxing. Then she was in bed, with one of her Naruto's shirts on, finishing her book.
When Naruto had first offered her to wear his shirts to sleep, she declined. Surely her beasts were too big and they would ruin his shirts. Her night gown was two sizes too big around her waist because she'd rather her breasts be comfortable. Her overly large bust already caused her neck and back to hurt, she didn't need the boobs themselves to hurt from being squeezed.
However, Naruto just laughed at her and shoved the shirt over her head. To her utter and complete surprise, the shirt fit loosely. Her breasts were comfortable covered, as was her backside.
When she looked up at Naruto, she realized why. His chest was so incredibly wide. Not compared to his best friend, who was lean and somewhat lanky. Naruto was six foot three of nothing but pure power.
She loved him to death.
A slight movement caught her eye and she looked up. Naruto was standing in the doorway, watching her read. Their bed was pointed toward the door. Something about being able to attack first. Naruto let her have free reign on what she wanted the house to look like but he adjusted the furniture here and there to make it easier if someone were to ever attack them.
Hinata though he was too paranoid but he should be, after everything he's been through.
"Naruto?" Hinata took in his tired blue eyes, and exhausted face.
"Where is Himawari?" Hinata knew that Naruto kept one eye on Boruto at all times, even when he was so busy with work that he had to actually sleep at his office. Naruto knew where Boruto was at all times and Hinata kept the same watch over Hinamori. They worked as a team.
"Sleeping at a friends house." Hinata said kindly.
"I guess that's why the house smells so lemony fresh." He tossed her a tired grin.
She giggled, before she smiled lovingly at her husband, "Why don't you go take a shower, Naruto? Then we can go to sleep. You're off tomorrow, right?"
He nodded, slowly moving toward the bathroom that is connected to their room. He grabbed his robe on the way.
Hinata was nearing the end of her book. The couple in the book finally get married and they were in a hotel room in France for their honeymoon. Naruto walked back in the room as Hinata was reading their love making scene.
"You readin' one of your pervy books again, Hina?"
Naruto's voice made her jump and she blushed, sending him a playful glare before going back to her book. She would just finish up the last few pages and then set it down.
Everything was quiet for a moment, however, Hinata didn't notice because she was enamored with her book.
"How long has it been since we made love, Hina?" Naruto's voice was deep and it made Hinata's body heat.
She looked at him, really trying to remember and couldn't, "Um, I don't know."
Naruto sighed, and suddenly the exhaustion in his face changed to hunger. He watched her, "Here I have one of the sexiest kunoichi's in the leaf village and I've been completely ignoring you." He stalked his way toward her.
Hinata blushed seven shades of crimson, "N-Naruto it's not that big of a deal."
His palms laid flat on the end of their bed where her feet were. Her legs were bare, she was only wearing his shirt and her panties, after all, so everything remained uncovered except for right before her upper thighs.
"Yes it is." Naruto watched her with intense blue eyes, "I heard one of the younger ninja's talking about you today. They saw you come in with my lunch and flirted with you. Apparently, you were so focused on coming to clean the house that you completely ignored them."
Hinata faintly remembered a man trying to ask her for Raman but, as her husband said, she was coming home to clean. Hinata blushed deeper, "W-well yes, but he was just a kid, Naruto—"
"I'm know." Naruto continued to watch her, "But then he made the comment that you were way too sexy to be a house wife, and I have to say I agree." Hinata tried to say something but Naruto continued, "Then he said that I'm probably not fucking you right, which is when he realized I was standing behind him. He's right though." Naruto's large hand grasped her ankle and he kissed the inside of it, "I haven't been. Put your book down, Hina."
She closed the book and set it on her nightstand, next to her lamp, the only light in the room. Naruto kissed her ankle again, then began to work his way down her leg. Kissing gently and occasionally skimming his teeth over her smooth leg. When he reached her thigh, Hinata began to feel his tongue tracing the area that he bit.
"Na-Naruto—" she tried to catch his attention.
"Shhhhh, Hina." His voice was soft but so deep. His fluffy black robe was soft as she curled her other leg around his body. Both of his large hands skimmed the outside of her thighs as Naruto continued his onslaught of kisses, bites and licks, but to her other thigh this time.
The junction between her legs was getting more and more soaked the longer Naruto teased her. Finally, he spread her legs all the way apart.
"A thong, Hina?" Naruto's eyes met hers, "Where you hoping for something?"
Hinata blushed and bit her lip, "Um, m-maybe."
Naruto grinned, obviously delighted that she wanted to make love as well, "I'm happy to make you happy, Hina." With that, Naruto tugged on the thong and it disintegrated in his hands.
Hinata doesn't complain, she bought cotton underwear just for that reason. It was cheap and when her and her husband actually do have sex, he destroyed her underwear every time. No use in spending an obscene amount of money on some lacy underwear that is going to be destroyed anyway.
"Mmmmm." Naruto hummed low in his throat as he took in Hinata. Then, with out any warning, he attacked her.
Hinata shrieked as her clit was sucked in to Naruto's mouth with no mercy. They'd been married for so long that Naruto just knew exactly how to get Hinata off.
And he did it well.
"Naruto!" Hinata screamed as Naruto buried himself even deeper in to her pussy. Hinata's breathing was labored as Naruto made her body climb up high. He spread her thighs as far as they will go, and considering Hinata was pretty limber, that's pretty damn far.
Her legs began to shake as he brought her to the edge. Then he eased a finger in to her and groaned when he realized just how wet she was. That's what threw Hinata off of the edge and in to the abyss. She screamed as she came, shaking violently as Naruto prolonged her climax.
When she regain her ability to think, Naruto was kissing her neck gently. Her arms instinctively wrapped around him and she buried her hands in his incredibly soft hair.
"Good lord." Hinata mumbled, causing Naruto to laugh in to her neck.
"I missed you." Naruto ground his hips in to her center, causing electric shocks to travel up and down her legs as his erection ground against her clit.
"I missed you too." Hinata mumbled. She locked her legs around his waist and flipped him on to his back.
Blonde eyebrows shot up in surprise and then the Hokage was chuckling at his wife, "Princess Hinata, what would your father think?"
Hinata blushed, "That I'm doing my wifely duty by pleasing my husband." Slowly, Hinata untied the stash on his robe, which she pulled open after flinging the stash across the clean room.
The brunette beauty leaned down and kissed the center of his wide chest.
"Wifely duty, huh?" Naruto's voice was strained. Grey eyes glanced up to see intense blue eyes watching her, "Don't you think— ugh."
The grunt that came out of the Hokage was one full of surprise and pleasure as his wife practically swallowed his manhood hole.
"Good lord Hinata." Naruto groaned, his hand on her head as she released him and engulfed him once more. Her tongue swirled around his head before engulfing his penis once again. "Hina—stop—I'm going too—"
Hot, warm, and wet. He shot in to her mouth quickly and copiously.
Hinata pulled off of his penis with a pop, licking her lips as she tucked her hair behind her ear innocently.
She smiled, a job well done.
Naruto's bright blue eyes met hers as he came down from his orgasm. He smiled at her crookedly, "I love you."
She giggled and opened her mouth to say it back but Naruto flipped her on to her back. She squeaked when he bit her on her shoulder hard and didn't even have time to say anything before Naruto inserted himself in one swift, smooth motion.
Hinata cried out. It had been a while since they had sex so Naruto slowly began to slide in and out of his hot wife while she adjusted to his length. As soon as Hinata moaned and arches her back, Naruto began his assault.
The two of them had never really spoken about rough sex or otherwise, but that's exactly what they had. Rough, nearly bruising sex. Naruto was a jinjuriki after all, he was incredibly strong. Hinata was the almighty Princess Hyuga. Her family was known for being strong.
Which is why Naruto flipped her on to all fours and pounded her face in to her pillow. Hinata cried, "Naruto!"
Naruto could feel her insides quivering, so he tugged her back against his chest, still pounding away at her, and bit her neck while swirling his finger around her engorged clit.
Hinata screamed when she came, clenching the Hokage's dick so hard that Naruto grunted when he released inside of her. His hands traveled down her lean body and he held her hips to him as he emptied himself inside of his sexy wife.
Hinata fell forward, face first in to her pillow, her breathing labored. Naruto pulled out of her gently, before laying down beside her and pulling her to him. He rested his forehead against hers as her eyes opened to watch him.
"I love you, Hina." Naruto grinned at her.
She blushed, "I love you too Naruto, but I can't believe you only had sex with me because one of your subordinates said something about me being good looking." She rolled her eyes.
Naruto laughed, "Hina, he said you were hot, which you are. Everyone knows it. It's why Sakura invited you with her to go shopping for medical supplies. More people are worried about how to speak to the incredibly hot girl than how to speak to Mrs. Uchiha."
"Really?" Hinata is surprised.
Naruto nodded, kissing her forehead, "It's no secret that you're hot, but that's okay. I'm the only one that gets to have you."
Hinata giggled, blushing, "You're right." She leaned up and kissed his lips, before turning over on her side. Naruto pulled his wife to his chest and sighed, content to fall asleep and now exhausted to his bones.

Secret Divorce Chapter 2 (Puzzle~Begin) *bahasaindonesia

Tokyo City, Uzumaki's House
Tuesday, 06 September 2016 / 08.00
...
Di bawah pohon sakura yang sedang berguguran, terlihat sepasang insan manusia yang mulai hari ini, dan detik ini juga telah meresmikan hubungan mereka, meresmikan ikatan cinta suci mereka berdua dengan ikatan yang lebih tinggi derajatnya, meresmikan perasaan kasih sayang mereka dengan ikatan yang merupakan batas akhir dari segala bentuk hubungan yang ada didunia ini— ikatan Pernikahan.
Ratusan kelopak bunga Sakura yang tertiup angin semakin menambah kesan pada prosesi pengucapan janji suci mereka berdua, janji suci untuk selalu bersama walau apapun yang terjadi nanti, berjanji untuk saling mencintai dalam suka maupun duka.
Naruto memandang calon istrinya—bukan, bukan calon lagi, sekarang gadis yang ada dihadapannya ini telah menjadi istrinya, pasangan sah nya.
Sekarang Naruto telah resmi memiliki wanita ini seutuhnya, menjadikannya sebagai teman untuk menghabiskan sisa hidupnya, menjadikannya pasangan dalam mencurahkan segala bentuk kasih sayangnya, menjadikannya sebagai Ibu dari anak-anaknya nanti, dan menjadikan dirinya sebagai satu-satunya wanita yang ia cintai, sebagai satu-satunya wanita yang dapat memiliki hatinya, hanya dia—Hinata Uzumaki, Istrinya.
Naruto memandangi istrinya yang terlihat begitu cantik hari ini di hari pernikahannya, tentu saja semua perempuan akan terlihat cantik di hari pernikahannya, hanya saja istrinya dengan kimono putihnya dan juga bunga merah yang tersemat di surai indigonya, serta tidak lupa dengan senyum lembutnya diselingi rona merah malu-malu di kedua pipi tembem istrinya, membuat istrinya lebih—arrggh! Ingin sekali rasanya Naruto mendekap erat tubuh mungil istrinya lalu membawanya pergi dan mengabaikan acara pernikahan ini.
Kheh! Naruto terkekeh dengan isi pikirannya sendiri, 'menculik istrinya sendiri di hari pernikahannya sendiri'. Apa otaknya sudah mulai kehilangan kewarasan. Hmm— Sepertinya memang benar apa kata kebanyakan orang, 'jika didekat seseorang yang kau cintai, kita tidak akan bisa bersikap wajar. isi otak dan tingkah laku selalu tidak bisa sinkron'.
Hah~ entah harus berapa kali Naruto mengucap rasa syukurnya karena dapat menjadikan Hinata sebagai istrinya, manusia dengan seribu kekurangan seperti dirinya yang dicintai wanita dengan hati sebening kaca seperti itu, sungguh dirinya merasa tak pantas, bahkan untuk bermimpi pun tidak layak. Jikapun ini mimpi pastilah ini merupakan mimpi paling indah selama hidupnya.
Bagi Naruto, Tidak ada yang lebih membuatnya bahagia selain melihat senyuman lembut wanita yang ada dihadapannya ini, wajah bahagia istrinya yang sedang tersenyum tulus didepannya ini seolah menghipnotisnya untuk ikut membalas senyum lembut istrinya.
Naruto pun membalas senyum istrinya dengan lebih melebarkan lagi bibirnya yang memang sudah sedari tadi tersenyum bahagia seakan jika dipaksakan lebar senyumnya itu bisa membuat bibirnya sobek.
Tak mengapa jikapun bibir ini harus sobek hanya untuk membalas senyum lembut istrinya, ia sudah bertekad jika senyuman itu, jika wajah bahagia istrinya adalah aset berharga dalam hidupnya.
Naruto berjanji pada dirinya sendiri, ia akan selalu menjaga senyuman itu, senyuman yang akan selalu menghiasi wajah cantik istrinya, dan hanya akan ada wajah bahagia yang istrinya tunjukan selama ia hidup didunia ini.
. ... .
KRRIIINGG !
Suara berisik dari jam alarm yang berbunyi membuat seorang pria dengan surai kuning keemasan terbangun dari tidurnya, mengerjapkan kelopak matanya dan menampilkan sepasang iris blue shappire nya yang menawan.
"Hah~ mimpi itu lagi." Gumam Naruto pelan.
Naruto tidak mengerti kenapa dirinya selalu bermimpi tentang hari pernikahannya, seakan-akan mimpi itu menegaskan pada Naruto jika ini bukanlah mimpi, ini nyata. Benar-benar kenyataan. Kau sudah menikah dengan Hinata, dan kalian sudah dikaruniai seorang putra. Kau sudah tidak sendiri lagi, dan kau tidak akan kesepian lagi, kau sudah memiliki Keluarga.
Yaa—benar sekali, keluarganya sungguh nyata, bukan mimpi. Mungkin dulu baginya sebuah keluarga dan kebersamaan adalah mimpi baginya, ia bukan siapa-siapa. Hanya seorang bocah terlantar yatim piatu. Tidak ada yang peduli dengannya, tidak ada yang berharga baginya, tidak ada yang penting baginya.
Tapi—itu dulu, sekarang—ia sudah mempunyai keluarga, ia tak akan kesepian seperti dulu, rumahnya tak akan sepi seperti dulu. Sekarang ada istrinya yang akan selalu menemaninya, Hinatanya. Terlebih sekarang ia sudah mempunyai seorang putra, Boruto. Benar sekali—sekarang rumahnya akan selalu terasa ramai, Hinatanya sudah memberikan dia sebuah keluarga baru, keluarga yang sangat berharga, keluarga yang harus ia jaga dan ia lindungi apapun resikonya.
Sebuah Keluarga, adalah impiannya yang terpendam.
. ... .
Naruto terbangun dari tidurnya, meraih jam alarm yang berada di nakas meja samping tempat tidurnya dan mematikan jam alarm yang sudah lancang mengganggu tidurnya. "Siapa sih yang memasang jam alarm ini?" gerutu Naruto karena merasa terganggu dengan suara alarm tersebut.
"Jam 8 pagi." Gumam Naruto,
Naruto mengacak-acak rambutnya yang terasa gatal dan bergerak-gerak tidak nyaman di tempat tidurnya karena merasakan tubuhnya yang lengket.
Ah! Naruto ingat jika semalam ia melakukannya dengan istrinya, pantas saja tubuhnya terasa lengket dan bau, hah~ semalam istrinya benar-benar bersemangat sekali sampai mereka berdua lupa waktu, Naruto terkekeh mengingat kejadian semalam.
"hmm— Dimana, Hinata-chan ?" gumam Naruto bertanya pada dirinya sendiri setelah melihat istrinya tidak ada disampingnya di tempat tidur.
Ah! Mungkin ia sedang membersihkan diri di kamar mandi, tentu saja dengan tubuh yang lengket oleh keringat membuat tubuhnya terasa tidak nyaman.
Naruto pun melangkahkan kakinya ke kamar mandi di kamarnya.
CEKLEEK!
Membuka pintu kamar mandi dikamarnya, dan tidak menemukan istrinya disini.
"Hmm~ mungkin sedang bermain-main dengan Boruto ?" gumam Naruto pada dirinya sendiri setelah tidak menemukan keberadaan istrinya di kamar mandi.
"Atau sedang memasak didapur ."
Naruto pun memutuskan untuk mandi dan membersihkan dirinya terlebih dahulu, sebelum menyusul istrinya didapur. Hell yeah— Tentu saja jika ia langsung menghampiri istrinya di dapur dengan keadaan seperti ini, dengan kondisi tubuhnya yang telanjang bulat hanya tertutup selimut serta bau dan badan lengket di sekujur tubuhnya, mungkin Naruto akan langsung didepak Hinata dengan wajan penggorengan atau malah lebih buruk— ronde tambahan di pagi hari.
. ... .
*Secret Divorce*
. ... .
Tap Tapp!
Sekarang Naruto sedang menuruni anak tangga dirumahnya, setelah ia sebelumnya membersihkan diri terlebih dulu dikamar mandi, dan berpakaian santai dengan sandal rumahan.
Berjalan menuju ke dapur dirumahnya, mencari keberadaan Hinata.
"Hinata-chan ." panggil Naruto sebelum ia sampai di dapur, tetapi tidak menemukan istri disana.
Naruto melangkahkan kakinya ke meja makan tepat disamping dapur, tetapi tetap tak menemukan keberadaan istri atau anaknya disana.
Naruto berlari keatas lagi menuju kamar anaknya.
CKLEK!
Membuka pintu sebuah kamar dengan tulisan 'Boruto Uzumaki' di depan pintu kamarnya. Nihil, ia tetap tak menemukan keberadaan Hinata ataupun Boruto dikamar anaknya.
'Dimana dia, apa ia sedang pergi keluar ?' tanya Naruto dalam hati, Naruto merasa aneh karena Hinata memang jarang pergi keluar rumah, istrinya itu memang tidak hobi menghabiskan waktunya diluar rumah seperti kebanyakan perempuan. Hinata lebih memilih menghabiskan waktunya sebagai ibu rumah tangga setelah menikah terlebih setelah ia memiliki seorang anak.
Jikapun ia ingin pergi tidak biasanya Hinata pergi dan tidak memberinya kabar atau setidaknya ijin dulu kepadanya sebelum ia pergi keluar.
'Mungkin di taman belakang rumah.' batin Naruto, lalu melangkahkan kakinya ke taman rumahnya.
BRESS BRES!
Ternyata diluar sedang turun hujan lebat, sepertinya tidak mungkin Hinata ada di taman karena sedang turun hujan, Naruto pun kembali melangkahkan kakinya kembali kedalam rumah.
Rumahnya terlihat sangat sepi, Bahkan Naruto tidak merasakan hawa kehidupan sama sekali dirumahnya, dapur di rumahnya yang masih tetap bersih tidak ada bekas seperti orang selesai memasak, meja makan yang kosong tidak ada makanan sama sekali.
"Hinata, kau ada dimana sayang ." panggil Naruto dengan sedikit berteriak, dan mencari keberadaan istrinya di setiap penjuru ruangan rumahnya. Ruang keluarga, ruang makan, kamar tamu, kamar mandi, ruang kerjanya—tunggu! "Apa ini ?" tanya Naruto yang melihat amplop map coklat yang tertutup di ruang kerjanya.
Naruto mengambil Map Coklat tersebut, mengeluarkan sebuah 'form paper' dari map coklat.
Naruto membelalakan matanya setelah melihat isi 'paper' yang ada ditangannya. "Surat Kesepakatan Cerai !" gumam Naruto.

...
Surat Kesepakatan Cerai
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya:
Hinata Uzumaki, umur 27 tahun sebagai pihak pertama.
Naruto Uzumaki, umur 27 tahun sebagai pihak kedua.
...
...
Adapun kesepakatan bersama antara pihak pertama dan pihak kedua yang diajukan adalah : untuk Berpisah dan memutuskan hubungan dalam berumah tangga dengan Perceraian.
...
...
Adapun ketetapan yang telah disepakati bersama:
Menetapkan hak asuh anak kandung yang bernama Boruto Uzumaki diantara pihak pertama, Uzumaki Hinata sebagai Ibu kandung dan pihak kedua, Uzumaki Naruto sebagai Ayah kandung, dibawah asuhan pihak pertama, Hinata Uzumaki sampai anak tersebut dewasa atau mandiri.
...
...
Kesepakatan ini tidak mengikat orang lain.
Demikian surat kesepakatan ini kami buat atas dasar bersama dengan pikiran sehat, tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.
...

"apa-apaan ini !" gumam Naruto dengan gigi yang bergemerutuk dan meremas paper ditangannya menahan amarah.
Pandangan netra Naruto terasa kosong setelah membaca paper yang ada ditangannya, ia tidak percaya dengan apa yang ada di tangannya ini. Ia tidak percaya dengan semua ini, istrinya, Hinata meminta untuk bercerai dengannya, Hinata mengirimkan surat kesepatan cerai yang sudah ditanda tangani oleh Hinata.
"Kenapa ?" gumam Naruto pelan dengan pikiran yang melayang. setahu dirinya, ia tidak pernah berbuat salah atau membuat istrinya itu marah. Bahkan kehidupan rumah tangganya itu menurutnya baik-baik saja dan tidak pernah ada pertengkaran sama sekali.
Lalu kenapa ?
Hanya Satu pertanyaan yang muncul dikepala Naruto, kenapa? Kenapa Hinata menggugat cerai dirinya, setidaknya jika ada masalah mungkin bisa diselesaikan dengan cara lain, bukannya malah mengirimkan dia surat gugatan cerai untuk segera ia tanda tangani, tidak seperti ini. Ia butuh penjelasan.
Selain itu dimana ia? Dimana Hinata.
"Apa ia sedang pergi ?" gumam Naruto seraya bangkit dari tempat duduk diruang kerjanya dan mengambil ponselnya lalu menghubungi Hinata.
Tut Tut.. TUT
Ponsel Hinata tidak aktif, Panggilan Naruto tidak tersambung. Naruto menekan tombol 'call' mencoba untuk menghubungi Hinata kembali.
Nihil, ponsel Hinata tidak aktif. "ck! Sial !" decak Naruto kesal, disaat seperti ini kenapa ponsel Hinata tidak aktif.
"Ck! Pergi kemana sih dia ."
. ... .
Naruto mengulurkan tangannya dan menekan tombol power CPU, untuk menghidupkan Komputer di ruang kerjanya.
Memilah menu yang tampil di layar monitor yang ada dihadapannya.
Klik!
'CCTV Record'
Naruto penasaran, Jika Hinata memang pergi keluar mungkin ia akan terlihat di kamera CCTV yang ada di halaman depan pintu gerbangnya.
Rekaman pukul 05.00
BRESS BRES!
Terlihat dilayar monitornya, jika dari jam lima pagi, hujan lebat sudah mengguyur dirumahnya.
"Apa mungkin, ia pergi disaat hujan lebat seperti ini ." gumam Naruto pada dirinya sendiri.
Naruto mempercepat rekamannya, jam 06, Tidak ada tanda. Jam 07, tidak ada tanda. Jam 07.10. Naruto mulai menegakkan badannya dan mempertajam penglihatannya di layar monitor, terlihat disana Hinata sedang berdiri di depan pintu gerbang rumahnya dengan membawa payung yang melindunginya dari hujan.
Hinata terlihat seperti sedang menunggu seseorang, Naruto penasaran apa yang sedang ia tunggu atau siapa yang Hinata tunggu ?
CKIITT
Terlihat dilayar monitornya, Sebuah mobil 'Jeep Rubicon' berhenti didepan rumahnya, pengemudi mobil tersebut turun dan menghampiri Hinata yang sedang berdiri didepan pintu gerbang rumahnya.
Naruto melebarkan matanya, pengemudi mobil 'Jeep Rubicon' itu seorang pria, terlihat jelas sepatunya 'Vantopel' dan celana panjang 'katun hitam', pria tersebut menghampiri Hinata dan sedikit berbincang-bincang dengannya, lalu Hinata masuk kedalam mobil tersebut diikuti pria tadi.
Mobil tersebut pun pergi meninggalkan rumahnya, rekaman selanjutnya hanya ada hujan deras yang mengguyur jalanan rumah.
"hahah.. haa~ " Naruto hanya tertawa hambar setelah melihat hasil rekaman di CCTV nya.
Memangnya apa yang aneh dengan rekaman tadi? Hinata hanya sedang pergi keluar. Yaa—pergi dengan seorang pria terlebih setelah ia meninggalkan surat cerai? Apanya yang aneh?
PRAANKK!
Naruto dengan brutal memukul layar monitor yang ada didepannya hingga hancur berlubang, dan terdengar suara yang cukup memekakan telinga terdengar saat benturan antara kulit dan perangkat elektronik tak terelakan.
Tess tes..
Terlihat Darah mengalir dari kepalan tangannya akibat benturan dengan perangkat keras terlebih itu adalah kaca, benda tajam. Tess! Darahnya terus menetes ke lantai rumahnya, mengotori lantainya yang awalnya berwarna putih kini mulai berubah warna.
"hahaha~ BRENGSEEEK ! " murka Naruto dengan berteriak keras.
...
*Secret Divorce*
. ... .

Konoha City
Wednesday, 07 September 2016 / 05.50 (Now)
...
(NARUTO p.o.v)
Aku mengernyit heran, Dia melihatku dengan mata yang menyala marah dengan gigi yang bergemerutuk, serta ekspresi wajah yang seakan-akan seperti ingin membunuhku.
"Kau"
"BREEENGSEK !"
Aku terkaget karena tiba-tiba, wanita yang berada didepanku ini meneriakiku.
Hikss Hiks..
"BRENGSEEEK !"
Wanita ini tetap saja meneriaki ku dengan kata-kata 'Brengsek' di sela-sela tangisnya.
Kanapa ia meneriaki ku seperti itu? Tunggu—kami berdua berada pada sebuah kamar tidur, dengan sprei dan selimut yang terlihat berantakan, dan jadi benar darah yang aku lihat itu—darah tanda kesucian seorang gadis, darah perawan.
Aku mulai takut dengan isi pikiranku sendiri, ini tidak seperti yang aku pikirkan bukan?
"Kau— memperkosaku !"
Hikss hikss
Damn! Jadi benar, aku sudah memperkosanya. Brengsek! Apa yang sudah aku lakukan !.
Tapi bagaimana bisa? Kenapa aku bisa berakhir diranjang bersama dengan orang lain? Kenapa aku tidak ingat sama sekali. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku tidak bisa mengingat apapun?
Satu-satunya hal yang aku ingat adalah istriku yang pergi dari rumah dengan seorang pria, dan juga surat cerai yang diajukan istriku, Hinata.
Apa yang terjadi denganku? Apa yang terjadi dengan Hinata? Kenapa tiba-tiba ia menggugat cerai? Ini benar-benar tidak masuk akal?
"Laki-laki Brengsek. K-kau mengkhianati istrimu, Brengsek."
Hikss Hiks..
"K-kau mengkhianati Hinata. Da-dan A-aku mengkhianati Hinata, a-aku mengkhianati sahabatku, Hikss~ ." ucap wanita berambut pirang disampingku ini masih dengan menangis sesenggukan.
"Shion, a-aku sungguh minta maaf. Sungguh akupun tidak tahu kenapa aku bisa melakukan ini."
Entah apa yang terjadi denganku, tapi aku berani jamin jika aku bukan pria brengsek seperti yang ia teriakan padaku. Aku bahkan tidak pernah menyentuh wanita manapun selain istriku sendiri.
Naruto berani jamin jika hanya istrinya—Hinata yang pernah menjamah tubuhnya. Naruto berani menjamin jika ia bukanlah seperti orang kaya kebanyakan, yang mampir ke klub malam hanya sekedar untuk mencari kepuasan sesaat, cih- bahkan ia merasa jijik jika melihat para wanita jalang yang menjajakan lekukan tubuhnya. Ia bisa buktikan jika dirinya bukan pria bejat seperti itu.
Tapi— percuma omongan jaminan semua itu! apa yang terjadi sekarang ini? Apa yang terjadi dengan diriku? Aku bahkan merasa seperti lebih rendah dari orang brengsek manapun! Aku sampah! Aku memperkosa! Merebut kesucian seorang perempuan. Terlebih ia adalah gadis yang sangat baik, meski aku tak mengenalnya dekat, ia adalah sahabat istriku, Miko Shion.
"Kau pikir dengan ucapan maaf semuanya akan kembali seperti semula. Brengsekk!" ucap Shion lantang.
Aku tahu—hanya dengan ucapan maaf tentu semuanya tidak akan kembali seperti semula, kenyataanya aku sudah mengambil paksa kesuciaannya. Meski itu diluar akal sehatku.
"Kau benar-benar Brengsek. Kau mengkhianati istrimu, kau menyelingkuhi Hinata." Ucap shion dengan urat disekitar wajahnya, tanda jika ia sangat marah.
Hahaha~ entah kenapa aku malah tertawa sendu dengan ucapan Shion, mengkhianati istriku—katanya ?
Sebenarnya siapa yang berkhianat disini? Istriku atau Aku? Hinata atau aku?
Tapi—kenyataannya aku memang mengkhianati istriku. Aku mengkhianati Hinata. Dilihat dari sudut pandang manapun, Aku sudah mengkhianati istriku. Aku benar-benar bajingan Brengsek!
...
*Secret Divorce*

. ... .
Tokyo City, Nagajima Street
Tuesday, 06 September 2016 / 08.30
...
BRESS Bres KRIT Kritt !
Terdengar Suara hujan yang membentur sebuah kaca mobil, dan suara Wiper, yang menyeka kaca mobil dari rintik rintik hujan agar pandangan pengemudi mobil tidak terhalang dari jalan.
Terlihat dua orang yang berbeda gender didalam mobil 'Jeep Rubicon' , sang pria yang sedang mengemudi mobil dengan pandangan fokus kearah jalan dan sang wanita yang sedang melamun memandang rintik-rintik hujan yang berjatuhan kaca pintu samping mobil.
"Hinata." Panggil seorang pria pada penumpang mobil, seorang wanita yang ada disebelahnya.
Hinata menolehkan kepalanya mengarah ke pengemudi mobil disebelahnya, seolah bertanya 'Apa' ?